Tuesday, December 23, 2014

TAK SEJALAN


 By Nurrahma Dewi

Cuaca cerah siang sama sekali tak menggubrik hatiku. Senyuman sang mentari dan awan tak bisa menghampiri diriku yang hampa. Aku masih saja tertegun di depan batu nisan. Hembusan angin sesekali menjatuhkan rambutku yang semakin panjang semenjak saat itu, dan tentu saja tak kuurus lagi.
“ah…semua itu takkan kembali.” Kenangku.
Tiba-tiba seseorang memanggilku.
“Alif ada telpon dari Ibumu.”
“baik, saya akan ke sana.” Jawabku sesegera mungkin dan meninggalkan peristirahatan terakhir dirinya.
“bu, Alif pergi cari kerja dulu.” Pamitku pada ibu yang sudah memasuki usia tuanya.
“jangan terlalu dipaksakan anakku.”
“tidak apa-apa, bu. Tidak selamanya ALif menggantungkan  hidup ALif pada ibu. Sekarang sudah saatnya Alif membalas jasa-jasa ibu.”
Ibu Halimah adalah ibu angkatku dinegeri Minangkabau ini. Orang tuaku sendiri sudah lama menghadap sang Khalik. Separuh hidupku ditanggung ibu Halimah. Hanya beliau satu-satunya yang mau mengurusku. Sementara keluargaku yang lain, jauh dari harapan. Jangankan untuk mengurusiku, memandangku saja tidak mau.
“ibu masih mampu mengurusimu, nak.” Lanjutnya
“Alif tahu, bu. Namun tak selamanya hal itu akan terjadi.” Balasku sambil meyakinkan ibu. Setelah itu aku pun bergegas mencari pekerjaan. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, tak ada satu pun yang menerimaku. Aku hampir saja berputus asa. Tiba-tiba pada suatu hari ibu mengajukan hal yang sama sekali tak terpikirkan olehku.
“Alif, kemarin orang tua Friska datang kesini.”
“hah? Mereka mau apa, bu?” tanyaku penasaran
“kamu kan tahu kalau Friska orang yang terpandang didesa kita, selain itu, dia juga anak yang baik dan berbakti kepda kedua orang tuanya.” Jelas ibu panjang lebar.
“maksud ibu apa?”
“mereka mau meminang kamu, nak.”
“apa?” jawabku seraya tak percaya.
            Sungguh aku tak pernah memikirkan hal itu. Dinegeri ini, hal meminang hanyalah hal biasa, tak memandang bulu mau mulai dari mana. Aku benar-benar terkejut dan tak mampu berujar lebih lanjut. Aku tahu benar kalu ibu menyuruhku untuk menerima pinangan itu, karena ibu tak mau lagi melihatku seorang diri. Namun, hal itu tak bisa kuterima begitu saja. Perkara pernikahan bukan hal sepele. Ini menyangkut kehidupan seumur hidup.
“bu, Alif sangat mengerti keadaannya. Namun, biarkan Alif untuk berpikir terlebih dahulu, bu.” Kataku untuk menenangkan perasaan ibu.
Setelah berhari-hari, akhirnya aku membulatkan tekad untuk menolak pinangan karena masih ingin menghidupi keluargaku dengan usahaku dan menunda perkawinan untuk terlebih dahulu.
“bu, Alif sangat mengerti persaan ibu. Namun, Alif akan mencari cara lain untuk memperbaiki perekonomian kita, bu. Lagian, Alif belum mau menikah,bu. Biarlah Alif cari pekerjaan dulu. Setelah baru Alif akan memenuhi keinginan ibu.”
“lakulan apa yang kau mau, Lif. Yang terpenting sekarang, kamu mersa bahagia dan mendapat berkah yang di ridhoi-Nya, tanpa paksaan apapun.” Balas ibu dedngan mata yang berkaca-kaca.
            Akupun pergi kedaerah yang tak pernah sekalipun ku kunjungi sebelumnya. Keluarga, satu orang pun tak punya. Hanya bermodal nekat ku menuju kota Jakarta ini. Namun, rupanya, Allah menunjukkanku jalan kebaikan. Seorang paman yang berhati baik mau menumpangiku tempat tinggal, dengan syarat mau menutupi kekurangan karyawan dipabrik yang beliau kelola. Akupun memulai aktivitas sebagai karyawan pabrik semen.
“nak Alif rajin ya.” Goda Pak Makmur, teman sekerjaku.
“ah, biasa saja, pak.” jawabku sambil malu-malu.
“oh ya, katanya kamu dari Sumbar ya? Kok mau jauh-jauh datang kesini hanya untuk kerja sebagai buruh semen?”
“mau menbantu keluarga,pak.”
“ngomong-ngomong, istrinya gimana nih sekarang?” ejek Pak Makmur.
“saya belum beristri, pak” jawablku seadanya.
“serius? Bapak tidak percaya kalau dik Alif belum beristri. Padahal dik Alif ganteng loh.”
Aku hanya tersenyum mendengar pyujian dari pak Makmur. Bukannya aku tak mau menikah, namun bagiku yang terpenting sekarang adalah mebuat ibu di kampung kembali tersenyum dan memperbaiki masalah ekonomi keluarga dikampung..
            Suatu hari, aku pergi kepasar karena pada saat itu kebetulan kami libur. Jadi, aku pun menyempatkan diri untuk pergi ke pasar. Pada saat memasuki sebuah toko, tanpa sengaja aku menyenggol bahu seorang perempuan. Sesegera mungkin aku minta maaf dan membantunya memunguti barang belanjaannya yang jatuh.
“maaf, aku tak sengaja.” Kataku dengan rasa bersalah yang amat sangat sambil memunguti barang-barangnya.
“tidak apa-apa. Kalau begitu saya permisi ya?” jawabnya seraya meninggalkanku. Namun belum sempat dia pergi aku menghadangnya terlebih dahulu.
“ada apa, mas?” katanya seraya terkejut melihat tindakanku.
“maaf, nama adik siapa ya?”
Dia tak menjawab pertanyaanku, melainkan berlalu di depanku seraya tersenyum simpul padaku. Aku yang berdiri kaku hanya melongo menyaksikan tindakannya itu. Semenjak saat itulah, aku semakin penasaran dengan perempuan itu. Aku pun memberanikan diri untuk menanyakan identitasnya kepada pak Makmur.
“ooo…namanya sukma, Lif. Memangnya ada apa? Kamu suka? Menurut bapak janganlah, Lif. Dia itu anak konglomerat. Orang tuanya sudah menjodohkan anaknya. Mereka ndak bakal mau sama rakyat jelata kayak kita ini.” Jelas pak Makmur panjang lebar.
“bapak ini bagaiman? Alif Cuma ingin tahu saja kok, pak.” jawabku untuk menutupi perasaanku yang sudah duluan terbaca. Namun, rupanya aku samasekali tak bisa mengingkari perasaan itu.
            Semenjak itu, aku kerapkali mencari sukma di sela-sela libur. Rupanya, sukma pun merespon dengan sangat baik. Sejak itu, aku pun mulai dekat denganya. Namun, aku tetap tak bisa mengungkapkan perasaanku. Sampai pada suatu hari aku dihampiri secara tiba-tiba oleh seorang bapak yang tak kukenal.
“Mana yang bernama Alif Darma?” bentak bapak tersebut.
“saya, pak.” jawabku takut-takut.
“kamu jangan pernah sekali-kali mendekati putriku.”
Maksud bapak?”
“jangan berpura-pura bodoh kamu. Sukma itu sudah bertunangan dan kamu hanya akan menjadi benalu dalam ikatan pertunangan Sukma dan Dirto.”
“saya tidak mempunyai hubungan khusus dengan Sukma, pak”
“aku tak butuh jawabanmu. Saat ini Sukma akan melakukan persiapan pernikahannya dengna Dirto. Jadi, selama itu juga kau jangan mendekati Sukma.” Katanya seraya menunjuk-nunjuk muka Alif. “kamu itu anak jelata. Orang seperti kamu tak dibutuhkan dalam keluarga kami.”
            Semenjak itu, Alif tak pernah lagi menemui Sukma. Disisi lain, Sukma merasa heran, kenapa tiba-tiba Alif menjauhinya. Sukma samasekali tidak tahu kalau ayahnya telah mengancam Alif jikalau dia tetap berani menemui Sukam, maka hidupnya akan dihancurkan.
            Awalnya, Alif merasa biasa-biasa saja, namun semakin dia menahan perasaannya semakin sulit dia melupakan Sukma. Maka beberapa jam sebelum pernikahan Sukma, Alif nekat menemui Sukma dan mengajaknya kabur.
“aku tidak bisa melakukan itu semua, Lif. Aku tak bisa pergi tanpa restu orang tua.” Balas Sukma dengan nada sedih.
“kita bisa mengatsi semua itu, kalau kita saling percaya.”
“tapi…”
“ahhh…mengapa perbedaan status selalu menjadi kendala. Aku tidak habis pikir, kau juga termasuk di dalamnya, Sukma.”
“bukan maksudku seperti itu, Lif. Tapi, sebagai anak aku tidak ingin mengecewakan orang tua, aku  tak mau jadi anak durhaka.”
“oohh…jadi kau memilih siapa sekarang?”
            Tanpa jawaban, Sukma berlalu meninggalkan Alif dengan senyuman yang telah dibasahi airmata.