Wednesday, March 20, 2019

Berbagi Kebahagiaan Ala Candra

Tentang rezeki, semua sudah diatur Yang Maha Kuasa. Bukankah semua yang kita peroleh pada dasarnya akan kembali kepada-Nya? Bukankah apa yang kita peroleh sekiranya jua dari Dia yang Maha Pemberi? Kenapa harus ragu ketika menitipkan sebagian yang kita miliki untuk memberikan secercah kebahagiaan kepada orang-orang yang membutuhkannya. Kendati demikian, berbagi pun tidak harus melalui benda, bahkan sekedar sapaan dan senyum sudah termasuk berbagi kepada sesama.
Janji-Nya selalu pasti atas hamba-Nya yang tulus untuk berbagi dengan sesama makhluk-Nya. Halau kegundahan dan keresehan akan pemikiran bahwa semua yang diberi akan mengurangi yang telah dimilki. Sungguh pemikiran yang salah. Percaya dan yakini bahwa Dia akan selalu mencukupkan dan bahkan akan Dia tambahkan atas apa-apa yang telah kita slaurkan. Kenapa takut untuk berbagi?
Aku pernah menyaksikan ketulusan saudaraku untuk berbagi kebahagiaan dengan saudaranya yang lain. Kejadian ini sekitar tahun 2017, sebut saja namanya Candra. Dia sosok yang cukup dekat denganku. Maklum, kami dulunya satu almamater saat kuliah. Hanya saja, dia lebih memilih untuk menjalankan bisnis, sementara diriku lebih memfokuskan diri untuk lanjut sekolah. Setelah sekian lama tidak berkomunikasi, tetiba dia mengirimiku pesan terkait rencana dia untuk melakukan kegiatan sosial bersamaku dan beberapa rekanku. Maka pertemuan pun kami lakukan.
“Dekat rumahku ada panti asuhan. Aku sudah berkunjung kesana. Rupanya disana tidak ada kakak asuh yang jaga panti tersebut. Aku pribadi sudah jumpa pemilik panti dan pengurus panti tersebut. Kami bincang-bincang terkait kondisi panti dan lain-lain. Trus, aku berniat untuk bantu adek-adek disana belajar dan lain-lain. Nah, kalau sendiri, aku tidak sanggup. Makanya, aku butuh bantuan teman-teman untuk membantu proses pendidikan dan belajar adik-adik disana. Tapi, jujur saja, kegiatan ini hanya amal sahaja. Teman-teman tidak akan mendapatkan pembayaran apa-apa atas apa yang teman-teman lakukan. Semua murni dari ketulusan teman-teman. Aku pun melakukan ini pure untuk membantu adik-adik disana.”
Aku kagum akan niatnya yang begitu luar biasa. Perlu diketahui bahwa dia merupakan laki-laki yang berbeda keyakinan dengan kami. Namun, ketulusan hatinya sungguh menggerakkan hatiku untuk ikut andil dalam kegiatan tersebut. Maka, kami pun mulai menjalankan rencana tersebut dimulai dengan perkenalan bersama pengurus panti serta adik-adik panti tersebut. Total adik-adik panti hanya sebanyak 8 orang. Rerata kelas II sampai V SD. Oleh karena itu, awalnya kami pikir cukup mudah untuk mendidik dan membimbing mereka.
Pemikiran tersebut akhirnya terbantahkan. Mereka sungguh riweh dan kami kewalahan mendidik mereka. Kami memutuskan untuk memulai dengan mengajarkan terkait tata krama kepada mereka. Sembari belajar, selalu tanamkan ilmu-ilmu terkait tata krama kepada mereka. Maklum saja, komunikasi mereka masih sangat kacau. Sehingga kerapkali mereka menyamakan untuk semua usia dalam hal komunikasi. Kami pun hanya bisa geleng-geleng atas kelakuan mereka.
Pembelajaran berikutnya terkait kewajiban sebagai seorang wanita karena kebetulan semua adik-adik di panti perempuan. Candra sangat setuju saat salah seorang rekan menyarankan agar adik-adik menjaga auratnya saat bertemu lawan jenis. Sejak hari itu mereka pun diajarkan untuk membiasakan diri menjaga auratnya. Apakah semua berjalan lancar? Tentu tidak. Meski demikian, semua butuh proses. Kami pun menikmati semua itu sembari berbagi kebahagiaan bersama mereka.
Aku sungguh salut dengan kepedulian Candra akan masa depan mereka. Pernah dia menghampiriku yang kala itu sedang mengajari adik-adik mengerjakan pekerjaan rumah mereka.
“Wi, menurutku adik-adik ini juga harus diajari untuk ibadah seperti yang kalian lakukan. Jangan asal-asalan kalau soal ibadah. Nanti, kalau kalian butuh apa-apa, aku meyanggupi untuk memenuhinya.”
Semenjak itu, aku dan rekanku membiasakan adik-adik untuk shalat berjamaah, tak lupa membaca Al-Qur’an selepas shalat. Memang, mereka sudah dianjurkan untuk shalat jamaah sebelum kami datang, namun masih tetap perlu pembiasaan. Apalagi perkara soal di awal waktu. Walau kadang ada dari mereka yang ogah-ogahan untuk melakukan semua itu. Namun, kesabaran kami selalu ditempa untuk mengajak mereka melakukannya. Lagi. Semua butuh proses agar mereka terbiasa.
Rupanya kepedulian Candra terhadap pendidikan mereka tidak setengah-setengah. Dia bahkan rela membuatkan mereka sebuah buku sejenis laporan harian untuk meninjau progres pembelajaran mereka. Selanjutnya dia menemui guru wali kelas mereka untuk terus memantau serta mengisi buku laporan tersebut sebagai bahan evaluasi. Setiap ujian, Candra akan melakukan pemeriksaan akan hasil akhir mereka. Gunanya, untuk melihat kelebihan dan kelemahan mereka dalam segi pembelajaran.
Candra mungkin seperti bapak bagi mereka. Walau seringkali Candra memarahi dan menasehati mereka, namun kedatangan Candra selalu dinanti oleh mereka. Mungkin. Mungkin ada sebagian dari mereka yang tidak menyukai Candra karena sikap tegasnya si Candra. Aku pun sering mengingatkan agar Candra tidak terlalu keras kepada mereka karena mungkin terkadang mereka yang tidak akan paham maksud perlakuan Candra tersebut. Dia menerima saranku. Jujur, kadang aku takut jika pada akhirnya mereka malah takut akan perlakuan Candra. Satu hal, meski sedemikian pedulinya Candra kepada mereka, Candra tidak pernah memanjakan mereka.
“Hidup di masa depan itu keras. Kalau saat ini mereka selalu mendapatkan apa yang didapatkan, maka mereka pasti akan manja dan tergantung terus kepada orang lain. Mereka tidak akan mau berusaha untuk meraih apa yang menjadi hak mereka. Aku nggak mau mereka loyo menjalani kehidupan ini. Kalau masanya senang-senang atau liburan, ayuk aku bawa mereka main. Kalau masanya serius menghadapinya ujian, ya musti belajar.”
Benar adanya. Candra memberikan reward kepada mereka yang berhak mendapatkannya. Walau mungkin terkesan tidak adil. Tapi Candra selalu berharap itu menjadi motivasi mereka untuk lebih giat dalam belajar. Menurutku cara Candra cukup unik saat memberikan reward. Pernah suatu ketika dia membawa serta mereka semua ke Gramedia. Adik-adik tidak tahu maksud Candra membawa mereka kesana, namun mereka tampak senang pergi “main”. Yup, bagi mereka keluar panti berarti main atau jalan-jalan. Nah, rupanya saat disana Candra mengizinkan adik-adik yang meraih nilai bagus saat ujian untuk mengambil buku dan peralatan tulis yang disukai. Sementara adik-adik lain hanya memperoleh buku saja.
Bagiku, apa yang dilakukan Candra sungguh menakjubkan. Dia tidak pernah memikirkan berapa banyak pengeluarannya. Dia tidak memikirkan hal tersebut. Ketulusannya untuk membantu adik-adik tersebut sungguh menginspirasi. Baginya, menebar kebaikan serta melihat senyum kebahagiaan dari adik-adik sudah mewakili apa yang diharapkannya. Mungkin, kisah Candra tidak sebesar kisah saudara lain yang perjuangannya lebih besar. Namun, setidaknya hal ini menjadikanku untuk lebih peka akan sekeliling bahwa masih banyak orang yang membutuhkan bantuan pemikiran atau sekedar waktu berbagi cerita.
Namun, jika sekiranya kita tidak memiliki waktu luang yang cukup untuk bercengkerama atau berbagi dengan saudara-saudara kita yang lain, maka bisa kita salurkan dengan berbagai lembaga yang nantinya mampu mewakili niat baik kita. Saat ini, sudah begitu banyak lembaga sosial yang tujuannya berbagi kebaikan dengan sesama. Salah satunya adalah dompet dhuafa. Bagi teman-teman yang berminat bisa mengunjungi link donasi.dompetdhuafa.org atau www.dompetdhuafa.org.

"Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Jangan Takut Berbagi yang diselenggarakan Dompet Dhuafa."



Sunday, March 17, 2019

Pemberontakan Batin : Soal Rasa


Kebodohanku adalah mengagumi seseorang yang belum pantas kukagumi. Berlebihan mengaguminya hingga tanpa sadar rasa lain pun tumbuh. Perlahan tapi pasti telah merasuki relung hati terdalam. Usahaku untuk menepisnya pun sia-sia. Karena rasa itu menghujam terlalu dalam hingga berat untuk melepasnya. Aku tak ingin pasrah begitu sahaja, namun lagi-lagi semua berontak. Dilema menghantuiku.

“Dia ini baik, aku sudah tahu bagaimana dia bersikap, bagaimana dia memperlakukanku. Aku tahu semua itu. Ditambah lagi, dia sudah mengaji.”
“Namun, kau tahu bukan jika itu salah?”
“Sadarlah diri ini. Aku telah belajar akan semua itu. Namun harus bagaimana kubertindak?”
“Lepaskan atau kekecewaan yang akan diperoleh?”
“Mudah mengatakannya. Tapi begitu sulit untuk terlepas dari kungkungan perasaan ini. Butuh waktu untuk menetralisir perasaanku. Sulit rasanya jika memulai dengan yang baru jika hatiku telah terpantri kepadanya”
“Minta dia untuk menghalalkanmu.”
“Sudah kulakukan. Namun, ada yang belum bisa kami lewati.”

Pernah merasakan pemberotakan batin seperti itu?
Aku pernah.
Dulu, aku mengenal seseorang yang tampak baik. Bahkan dia memang berniat serius. Tentu aku menanggapi dengan baik iktikad baiknya. Namun, cara yang kami lakukan salah. Walau raga tiada pernah bersua, komunikasi via dunia maya tetap terjalin bahkan tak ubahnya dengan orang yang layaknya sedang kasmaran. Tenang, niat baik dia tetap ada. Hanya saja, Allah tidak ridho dengan cara ini. Hingga perjalanan menuju kesana sungguh sulit hingga akhirnya aku menerima kenyataan "Maaf, aku mengundurkan diri atas apa yang pernah kukatakan sebelumnya."

Dari situ aku belajar bahwa tidaklah boleh kita mengagumi seseorang secara berlebihan. Karena setan begitu bahagia dan senang saat hati kita terbuai akan kebahagiaan semu tersebut. Tanpa kita sadari, malaikat geleng-geleng kepala akan perlakuan kita yang demikian.
Apa guna kita mengaji jika iman kita tak bertambah?
Jangan siakan perjuangan langkah kaki kita untuk meraih ridho-Nya.
Jangan siakan niat kita untuk tetap istiqomah.
Jangan siakan semua ilmu yang telah diserap.

Tahukah? Perasaan itu semua merupakan ujian dari-Nya. Akankah berpaling hingga menjadi munafik atau mampu menghalau dan menjaganya.

Pilihan ada pada dirimu.
Mari, kita berjuang.