Wednesday, October 9, 2019

Akhirnya Wisuda

Semua kisah yang Allah ciptakan selalu indah. InsyaAllah. Walau, perjalanan menuji kesana sungguh (kadang) musti menempuh jurang kekecewaan, kesedihan dan air mata. Namun, tak jarang jua kisah bahagia Dia titipkan. Toh hidup tak melulu perkara yang sedih sahaja. 

Sebagai mahasiswa tingkat akhir, baru kali ini merasakan betapa beratnya jadi mahasiswa. Beberapa drama musti dilewati duli sebelum sah menggunakan toga. Namun, lagi-lagi drama itu berakhir indah saat perjalanan proses bimbingan (kali kedua dengan dosen pembimbing yang berbeda) dijalani. Layaknya macet-macetan dijalan, eh pas dah sampai jalan tol, waaaw alhamdulillh bebas hambatan. Walhamdulillah :)

Nah, drama paling miris saat pengajuan wisuda ada juga nih. Apa ya?

......

Salah satu berkas yang harus diurus untuk sebagai syarat wisuda adalah tesis yang telah dijilid dan ditandatangani ketua program pascasarjana. Nah, kesialan pertama terletak pada salahnya jilidnya yang dicetak pihak percetakan. Apes banget musti ganti lagi :" oh money ku.

Kesialan kedua. Terjadinya peralihan ketua program pascasarjana yang lama ke yang baru. Otomatis semua kebijakan berubah. Termasuk prosedur penyusunan tesis. Tesis saya pun sebenarnya sudah masuk periode yang baru jika disesuaikan dengan SK jadwal ujian tesis. Jadi bagaimana? Bersiteganglah dengan pihak pascasarjana bahwa pada dasarnya kami mahasiswa lama tidak mengetahui perubahan kebijakan tersebut. Padahal, tesis sudah dicetak. Mustahil dirombak lagi semua penyusunan/isinya. 

Kesialan ketiga. Perkara di atas, atas bantuan Allah SWT semua terlewati. Akhirnya tesis sudah memasuki ruangan pak ketua pascasarjana untuk selanjutnya ditandatangani. Apes lagi. Entah bapak itu sibuk atau bagaimana, sudah lebih dari 3 minggu, tesis masih juga belum tertandatangani. Padahal (kabarnya) waktu wisuda makin dekat. 

Namun, (kembali) Allah Maha Baik. Walau seribet untuk proses mendaftar wisuda. Alhamdulillah waktu/durasi pendaftaran diperpanjang. Alhasil kami tetap bisa mendaftar tepat waktu.

Finally, 24 Juli 2019. Nurrahma Dewi kembali wisuda untuk kedua kalinya. Nah, wisuda ini ada seorang laki-laki yang ikut serta. Tenang, dia sudah dikenalkan secara resmi ke keluarga kok. Sayangnya, saat itu kami belum halal :').

Monday, October 7, 2019

Welcome Back

Hi.. Setelah 6 bulan vakum. Finally kembali lagi. Kalau dipikir-pikir, ngapain aja ya selama 6 bulan terakhir?

Well, saya akan menceritakan beberapa peristiwa yang telah berlalu. Nah, ada beberapa poin. Kira-kira apa aja? Tunggu sahaja postingan selanjutnya.

See you :*

Wednesday, March 20, 2019

Berbagi Kebahagiaan Ala Candra

Tentang rezeki, semua sudah diatur Yang Maha Kuasa. Bukankah semua yang kita peroleh pada dasarnya akan kembali kepada-Nya? Bukankah apa yang kita peroleh sekiranya jua dari Dia yang Maha Pemberi? Kenapa harus ragu ketika menitipkan sebagian yang kita miliki untuk memberikan secercah kebahagiaan kepada orang-orang yang membutuhkannya. Kendati demikian, berbagi pun tidak harus melalui benda, bahkan sekedar sapaan dan senyum sudah termasuk berbagi kepada sesama.
Janji-Nya selalu pasti atas hamba-Nya yang tulus untuk berbagi dengan sesama makhluk-Nya. Halau kegundahan dan keresehan akan pemikiran bahwa semua yang diberi akan mengurangi yang telah dimilki. Sungguh pemikiran yang salah. Percaya dan yakini bahwa Dia akan selalu mencukupkan dan bahkan akan Dia tambahkan atas apa-apa yang telah kita slaurkan. Kenapa takut untuk berbagi?
Aku pernah menyaksikan ketulusan saudaraku untuk berbagi kebahagiaan dengan saudaranya yang lain. Kejadian ini sekitar tahun 2017, sebut saja namanya Candra. Dia sosok yang cukup dekat denganku. Maklum, kami dulunya satu almamater saat kuliah. Hanya saja, dia lebih memilih untuk menjalankan bisnis, sementara diriku lebih memfokuskan diri untuk lanjut sekolah. Setelah sekian lama tidak berkomunikasi, tetiba dia mengirimiku pesan terkait rencana dia untuk melakukan kegiatan sosial bersamaku dan beberapa rekanku. Maka pertemuan pun kami lakukan.
“Dekat rumahku ada panti asuhan. Aku sudah berkunjung kesana. Rupanya disana tidak ada kakak asuh yang jaga panti tersebut. Aku pribadi sudah jumpa pemilik panti dan pengurus panti tersebut. Kami bincang-bincang terkait kondisi panti dan lain-lain. Trus, aku berniat untuk bantu adek-adek disana belajar dan lain-lain. Nah, kalau sendiri, aku tidak sanggup. Makanya, aku butuh bantuan teman-teman untuk membantu proses pendidikan dan belajar adik-adik disana. Tapi, jujur saja, kegiatan ini hanya amal sahaja. Teman-teman tidak akan mendapatkan pembayaran apa-apa atas apa yang teman-teman lakukan. Semua murni dari ketulusan teman-teman. Aku pun melakukan ini pure untuk membantu adik-adik disana.”
Aku kagum akan niatnya yang begitu luar biasa. Perlu diketahui bahwa dia merupakan laki-laki yang berbeda keyakinan dengan kami. Namun, ketulusan hatinya sungguh menggerakkan hatiku untuk ikut andil dalam kegiatan tersebut. Maka, kami pun mulai menjalankan rencana tersebut dimulai dengan perkenalan bersama pengurus panti serta adik-adik panti tersebut. Total adik-adik panti hanya sebanyak 8 orang. Rerata kelas II sampai V SD. Oleh karena itu, awalnya kami pikir cukup mudah untuk mendidik dan membimbing mereka.
Pemikiran tersebut akhirnya terbantahkan. Mereka sungguh riweh dan kami kewalahan mendidik mereka. Kami memutuskan untuk memulai dengan mengajarkan terkait tata krama kepada mereka. Sembari belajar, selalu tanamkan ilmu-ilmu terkait tata krama kepada mereka. Maklum saja, komunikasi mereka masih sangat kacau. Sehingga kerapkali mereka menyamakan untuk semua usia dalam hal komunikasi. Kami pun hanya bisa geleng-geleng atas kelakuan mereka.
Pembelajaran berikutnya terkait kewajiban sebagai seorang wanita karena kebetulan semua adik-adik di panti perempuan. Candra sangat setuju saat salah seorang rekan menyarankan agar adik-adik menjaga auratnya saat bertemu lawan jenis. Sejak hari itu mereka pun diajarkan untuk membiasakan diri menjaga auratnya. Apakah semua berjalan lancar? Tentu tidak. Meski demikian, semua butuh proses. Kami pun menikmati semua itu sembari berbagi kebahagiaan bersama mereka.
Aku sungguh salut dengan kepedulian Candra akan masa depan mereka. Pernah dia menghampiriku yang kala itu sedang mengajari adik-adik mengerjakan pekerjaan rumah mereka.
“Wi, menurutku adik-adik ini juga harus diajari untuk ibadah seperti yang kalian lakukan. Jangan asal-asalan kalau soal ibadah. Nanti, kalau kalian butuh apa-apa, aku meyanggupi untuk memenuhinya.”
Semenjak itu, aku dan rekanku membiasakan adik-adik untuk shalat berjamaah, tak lupa membaca Al-Qur’an selepas shalat. Memang, mereka sudah dianjurkan untuk shalat jamaah sebelum kami datang, namun masih tetap perlu pembiasaan. Apalagi perkara soal di awal waktu. Walau kadang ada dari mereka yang ogah-ogahan untuk melakukan semua itu. Namun, kesabaran kami selalu ditempa untuk mengajak mereka melakukannya. Lagi. Semua butuh proses agar mereka terbiasa.
Rupanya kepedulian Candra terhadap pendidikan mereka tidak setengah-setengah. Dia bahkan rela membuatkan mereka sebuah buku sejenis laporan harian untuk meninjau progres pembelajaran mereka. Selanjutnya dia menemui guru wali kelas mereka untuk terus memantau serta mengisi buku laporan tersebut sebagai bahan evaluasi. Setiap ujian, Candra akan melakukan pemeriksaan akan hasil akhir mereka. Gunanya, untuk melihat kelebihan dan kelemahan mereka dalam segi pembelajaran.
Candra mungkin seperti bapak bagi mereka. Walau seringkali Candra memarahi dan menasehati mereka, namun kedatangan Candra selalu dinanti oleh mereka. Mungkin. Mungkin ada sebagian dari mereka yang tidak menyukai Candra karena sikap tegasnya si Candra. Aku pun sering mengingatkan agar Candra tidak terlalu keras kepada mereka karena mungkin terkadang mereka yang tidak akan paham maksud perlakuan Candra tersebut. Dia menerima saranku. Jujur, kadang aku takut jika pada akhirnya mereka malah takut akan perlakuan Candra. Satu hal, meski sedemikian pedulinya Candra kepada mereka, Candra tidak pernah memanjakan mereka.
“Hidup di masa depan itu keras. Kalau saat ini mereka selalu mendapatkan apa yang didapatkan, maka mereka pasti akan manja dan tergantung terus kepada orang lain. Mereka tidak akan mau berusaha untuk meraih apa yang menjadi hak mereka. Aku nggak mau mereka loyo menjalani kehidupan ini. Kalau masanya senang-senang atau liburan, ayuk aku bawa mereka main. Kalau masanya serius menghadapinya ujian, ya musti belajar.”
Benar adanya. Candra memberikan reward kepada mereka yang berhak mendapatkannya. Walau mungkin terkesan tidak adil. Tapi Candra selalu berharap itu menjadi motivasi mereka untuk lebih giat dalam belajar. Menurutku cara Candra cukup unik saat memberikan reward. Pernah suatu ketika dia membawa serta mereka semua ke Gramedia. Adik-adik tidak tahu maksud Candra membawa mereka kesana, namun mereka tampak senang pergi “main”. Yup, bagi mereka keluar panti berarti main atau jalan-jalan. Nah, rupanya saat disana Candra mengizinkan adik-adik yang meraih nilai bagus saat ujian untuk mengambil buku dan peralatan tulis yang disukai. Sementara adik-adik lain hanya memperoleh buku saja.
Bagiku, apa yang dilakukan Candra sungguh menakjubkan. Dia tidak pernah memikirkan berapa banyak pengeluarannya. Dia tidak memikirkan hal tersebut. Ketulusannya untuk membantu adik-adik tersebut sungguh menginspirasi. Baginya, menebar kebaikan serta melihat senyum kebahagiaan dari adik-adik sudah mewakili apa yang diharapkannya. Mungkin, kisah Candra tidak sebesar kisah saudara lain yang perjuangannya lebih besar. Namun, setidaknya hal ini menjadikanku untuk lebih peka akan sekeliling bahwa masih banyak orang yang membutuhkan bantuan pemikiran atau sekedar waktu berbagi cerita.
Namun, jika sekiranya kita tidak memiliki waktu luang yang cukup untuk bercengkerama atau berbagi dengan saudara-saudara kita yang lain, maka bisa kita salurkan dengan berbagai lembaga yang nantinya mampu mewakili niat baik kita. Saat ini, sudah begitu banyak lembaga sosial yang tujuannya berbagi kebaikan dengan sesama. Salah satunya adalah dompet dhuafa. Bagi teman-teman yang berminat bisa mengunjungi link donasi.dompetdhuafa.org atau www.dompetdhuafa.org.

"Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Jangan Takut Berbagi yang diselenggarakan Dompet Dhuafa."



Sunday, March 17, 2019

Pemberontakan Batin : Soal Rasa


Kebodohanku adalah mengagumi seseorang yang belum pantas kukagumi. Berlebihan mengaguminya hingga tanpa sadar rasa lain pun tumbuh. Perlahan tapi pasti telah merasuki relung hati terdalam. Usahaku untuk menepisnya pun sia-sia. Karena rasa itu menghujam terlalu dalam hingga berat untuk melepasnya. Aku tak ingin pasrah begitu sahaja, namun lagi-lagi semua berontak. Dilema menghantuiku.

“Dia ini baik, aku sudah tahu bagaimana dia bersikap, bagaimana dia memperlakukanku. Aku tahu semua itu. Ditambah lagi, dia sudah mengaji.”
“Namun, kau tahu bukan jika itu salah?”
“Sadarlah diri ini. Aku telah belajar akan semua itu. Namun harus bagaimana kubertindak?”
“Lepaskan atau kekecewaan yang akan diperoleh?”
“Mudah mengatakannya. Tapi begitu sulit untuk terlepas dari kungkungan perasaan ini. Butuh waktu untuk menetralisir perasaanku. Sulit rasanya jika memulai dengan yang baru jika hatiku telah terpantri kepadanya”
“Minta dia untuk menghalalkanmu.”
“Sudah kulakukan. Namun, ada yang belum bisa kami lewati.”

Pernah merasakan pemberotakan batin seperti itu?
Aku pernah.
Dulu, aku mengenal seseorang yang tampak baik. Bahkan dia memang berniat serius. Tentu aku menanggapi dengan baik iktikad baiknya. Namun, cara yang kami lakukan salah. Walau raga tiada pernah bersua, komunikasi via dunia maya tetap terjalin bahkan tak ubahnya dengan orang yang layaknya sedang kasmaran. Tenang, niat baik dia tetap ada. Hanya saja, Allah tidak ridho dengan cara ini. Hingga perjalanan menuju kesana sungguh sulit hingga akhirnya aku menerima kenyataan "Maaf, aku mengundurkan diri atas apa yang pernah kukatakan sebelumnya."

Dari situ aku belajar bahwa tidaklah boleh kita mengagumi seseorang secara berlebihan. Karena setan begitu bahagia dan senang saat hati kita terbuai akan kebahagiaan semu tersebut. Tanpa kita sadari, malaikat geleng-geleng kepala akan perlakuan kita yang demikian.
Apa guna kita mengaji jika iman kita tak bertambah?
Jangan siakan perjuangan langkah kaki kita untuk meraih ridho-Nya.
Jangan siakan niat kita untuk tetap istiqomah.
Jangan siakan semua ilmu yang telah diserap.

Tahukah? Perasaan itu semua merupakan ujian dari-Nya. Akankah berpaling hingga menjadi munafik atau mampu menghalau dan menjaganya.

Pilihan ada pada dirimu.
Mari, kita berjuang.

Monday, February 25, 2019

Cerita Tentang Ayah



Malam itu, ketika hendak merebahkan tubuh setelah beraktivitas seharian, tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah buku kecil yang terselip di antara buku kuliah. Dengan langkah gontai, kuraih buku tersebut.. Seketika saja ingatanku melayang ke kisah yang sekiranya sudah sangat lama berlalu. Lembaran ingatan mengenai sosok ayah yang kusayangi. He is my real first love ever.
Bagiku, dulu ayah merupakan sosok yang tegas dan suka melarang ketika aku menginginkan ini-itu. Beliau selalu ingin menjaga anak-anaknya agar kami tidak salah arah. Dulu saat masih SD, disaat siang hari adalah waktu bermain, ayah malah memasukkan kami ke sekolah agama (MDA). Aku tidak protes namun hatiku merasa kesal dengan tindakan ayah tersebut. Padahal, tidak ada satupun temanku memasuki sekolah tersebut, sehingga kami harus melewati dua desa menuju sekolah tersebut. Selain itu, ayah juga seringkali marah kami ketika rasa malas untuk belajar mengaji menghampiri. Begitu pula dengan privat bahasa inggris yang ayah atur tepat pada hari Minggu. Kami benar-benar kesal tapi tetap menjalaninya demi memenuhi harapan ayah.

Dulu, aku selalu menggerutu saat kupikir ayah terlalu overprotective. Ayah selalu memutuskan sendiri tanpa bertanya terlebih dahulu kepada kami. Sehingga seringkali kesalahpahaman menghampiri. Namun, bukankah dulu aku terlalu kecil untuk memahami tindakan ayah tersebut? Rupanya Allah SWT sudah mengatur semua skenario tersebut. Benar adanya jika setiap kisah menyimpan banyak makna.

Seiring waktu, semua baru kupahami. Mungkin, dulu hatiku terlalu kaku untuk memahami kasih sayang ayah. Mungkin, dulu aku terlalu enggan untuk mengakuinya. Mungkin, dulu aku terlalu acuh untuk menerima perhatian ayah. Itulah perkara dulu yang menghiasa hatiku.

Setelah beranjak dewasa, kusadari bahwa kasih sayang yang ayah berikan mungkin tidak senyata yang ibu beri. Beliau kerapkali menunjukkannya dengan cara yang berbeda. Maka, jika bercerita tentang kebaikan ayah, tidak cukup dengan untaian 100 atau bahkan ribuan kalimat. Sebagus apapun kalimat yang kususun, tidak akan mencerminkan kebaikan mereka -ayah dan ibu- sesungguhnya kepada kami.

Kusadari bahwa ayah adalah laki-laki yang sangat perhatian kepada ibu dan anak-anaknya. Mungkin, aku yang dulu tidak akan pernah menyadarinya. Namun, seiring waktu kutahu bahwa ayah sangat menyayangi kami.

Pernah suatu ketika, aku berniat membeli sesuatu namun hanya sepintas kuutarakan. Kebetulan saat itu si bungsu ingin ke pasar, maka akupun ikut serta. Ketika keperluan si bungsu sudah terpenuhi, ayah tak langsung memutar balik arah motornya. Beliau malah mengajakku untuk membeli apa yang kubutuhkan. Beliau bahkan rela mengunjungi beberapa toko agar aku menemukan harga yang cocok. Mungkin sudah 5-6 toko telah kami kunjungi.

Begitu pula saat penyakit bell’s pansy menyerangku. Beliau tidak pernah bosan untuk menanyakan kesehatan walau via telepon karena pendidikan mengharuskanku untuk merantau. Beliau senantiasa menasehatiku ketika kegalauan menghampiri hatiku. Kalimatnya memang selalu singkat, akan tetapi selalu menenangkan.

Kusadari bahwa ayah merupakan sosok yang takkan pernah mengeluh. Beliau pekerja keras hingga mampu menyekolahkanku sampai pascasarjana dan adikku yang jurusan kedokteran. Ayah kerapkali marah ketika perihal biaya kurisaukan.

Kusadari bahwa ayah adalah sosok yang kurang peka. Unik memang. Ketidak-pekaan ayah baru kusadari setelah beranjak dewasa. Ayah butuh penjelasan, bukan dimengerti. Sekiranya itulah kalimat yang tepat untuk menggambarkannya.

“Ayah, Ai pengen bikin passport.”
“Wah, bagus itu.”

Sekiranya hanya kalimat itu yang beliau sampaikan. Padahal aku sangat berharap ayah menimpali pertanyaan mengenai “Berapa uang yang Ai butuhkan?”

Mungkin, saat ini aku sangat beruntung karena memiliki superhero like him. Aku tak bisa membayangkan ketika pulang kampung, tidak ada ayah yang menyambutku, tidak ada yang mendengar kisahku, tidak ada ayah yang selalu menemaniku kemana-mana, tidak ada ayah yang berusaha memenuhi semua keinginanku, tidak ada ayah yang mengisi rumah dengan suara lantangnya. Jujur, aku benar-benar belum siap menerima itu semua.

Ayah, aku masih butuh ayah untuk selalu menasehati dan memotivasiku dikala kegagalan menghampirku. Ayah, aku masih butuh ayah yang selalu memanjakan kami, anak-anakmu. Ayah, jika suatu saat ada laki-laki yang menghiasi hari-hariku, percayalah bahwa cintaku kepada ayah tidakkan pernah hilang. Bahkan, ayah akan selalu menjadi nomor satu dihatiku. Sejauh apapun jarak yang kelak memisahkan kita, percayalah bahwa ayah akan selalu kurindukan dan kukenang.

Konsisten itu sulit. Begitu pula istiqomah

Setiap manusia selalu memiliki rencana. Apapun itu, baik dari rencana kecil hingga rencana besar sekalipun. Suatu rencana terkadang bahkan secara tanpa sengaja malah berhubungan dengan harapan atau malah angan-angan. 

"Aku udah beli buku planning diary nih. Pasti nanti aku bakal lebih teratur hidupnya. Semua rencana akan tersusun dengan baik"

Niatnya demikian, namun kenyataan berkata tidak.

Kadangkala, kita hanya fokus pada niat yang begitu membara ataupun rencana yang begitu banyak. Benar. Tak dipungkiri. Namun, semangat itu biasanya hanya muncul diawal-awal sahaja. Bahkan parahnya, kembali surut sesaat semua action belum dimulai. Huhu sedih.

Aku pun kadang demikian. Memikirkan akan seperti ini, seperti ini, namun akhirnya zonk, non sense. 

Lantas, kemana semangat tersebut?

Membiasakan kebiasaan butuh usaha keras, pemaksaan dan kerjasama yang baik antara pikiran dan tubuh. Tidak akan terlaksana dengan baik disaat hanya satu pihak yang bekerja. Makanya, saat niat sudah terkumpul, paksa tubuhmu untuk langsung mengeksekusinya secara langsung. Jangan ditunda. Sebab penundaan hanya akan menghalangi niat tersebut terealisasi.

Begitu pula saat mencoba istiqomah. 

Maka, percayalah, konsisten dan istiqomah akan kau jemput.

Jangan biarkan kebiasaan yang kau ikuti, lawan dan biarkan kebiasaan yang mengikutimu.

Tuesday, February 12, 2019

Wanita karir atau ibu rumah tangga?

Mungkin, secara fitrahnya wanita alangkah lebih bagus dirumah sahaja. Mendidik, merawat, melayani dan melakukan peran seorang istri merangkap ibu lainnya. Sungguh mulia. Tiada yang kira bahwa betapa hebatnya kekuatan seorang wanita yang mampu menuntaskan semua tanggung jawab tersebut.

Namun, disatu sisi, ada wanita yang lebih memilih untuk berkarir, mencapai impian, merangkap sebagai istri. Wanita yang demikian sungguh jua perkasa. Betapa menakjubkan dikala mereka mampu memanajemen waktu dengan sangat super antara pekerjaan, anak dan suami :").

Adakah yang salah dengan pilihan setelah menikah?

"Ish, kok dia mau ya kerja. Emang mau buat duit tersebut? Kan istri tu bagusnya dirumah aja."

"Ish, kok dia mau ya berdiam dirumah aja. Gak bosan apa berkutat dibidang itu-itu aja."

Pertanyaan yang sederhana, namun sering terngiang ditelinga.

Shalehah, hidup itu pilihan. Apapun pilihan, mungkin yang terbaik, asal memenuhi syaratnya. 

Apa itu?

Ridho suami. 

Sekarang, mau renungi. Jika memilih berkarir, apa yang kau kejar hingga memilih pilihan ini? Apa yang kau harapkan? Remember dear, kita selaku wanita bukan tulang punggung keluarga. Suamilah yang wajib menafkahi. Jika sekiranya kita memilih berkarir, maka aturlah niat lillahi ta'ala.

Jika memilih berdiam dirumah, maka hargailah pilihan mereka yang demikian. Sesungguhnya telah banyak pertimbangan yang dilakukan. Berhari-hari mengadu kepada-Nya, hingga akhirnya memutuskan untuk menjadi homemaker sejati di istananya. :'"

Jadi, apapun pilihannya, jangan pernah berprasangka buruk akan keputusannya. Kita tiada pernah tau, pertimbangan apa yang telah diperbuatnya. :"

Terakhir, kamu milih apa?

Thursday, January 31, 2019

Bimbang

Dalam hidup pastikan dirasakan setiap rasa yang menjalar dihati. Risau, galau, kecewa semuanya berkecamuk. Tak menutup kemungkinan kebimbangan pun menghampiri. Saat itulah, momen yang tepat untuk melakukan pemilihan.

Keputusan harus diambil.

Saat jiwamu bimbang, cek ricek semua hal sebelum memgambil keputusan. 

Apakah telah dilihat segala sisi yang ada?

Jangan sampai, saat keputusan telah ditetapkan, namun rupanya menyisakan penyesalan. Jangan sampai.

Maka, selalu sertakan DIA yang Maha Agung untuk memberikan petunjuk kepadamu. Apapun kerisauan yang dilanda, ungkapkan. Tiada yang akan tau betapa risau hatimu untuk untuk memilih kecuali DIA.

Jangan malu jika kau pada akhirnya harus menangis terisak-isak layaknya bocah. 

Jangan minder jika pada suatu waktu Allah masih belum jua memberikan jawaban.

Apapun urusanmu, akan kau tempuh jalan keluarnya. 

Jawaban yang kau nanti akan kau genggam pada waktu yang tepat. 

Sekarang, digaris finish ini tanyakan kembali kehatimu, apa pilihanmu? 

Akan kau dapatkan kemana hatimu akam condong.

Saturday, January 5, 2019

Perkara "Kapan...?"

Pertanyaan kapan terlalu sering dipakai akhir-akhir ini. 

Kapan selesai kuliah?

Kapan kerja?

Kapan nikah?

Kapan punya anak?

Kapan punya cucu?

Dan kapan lainnya.

Kadang, agak heran dengan manusia yang terlalu mudah mengucapkan pertanyaan tersebut. Apakah hal itu berarti aku tak pernah bertanya demikian.

Oh bukan. Aku hanya manusia biasa. Tentu, sebelum negara api menyerang, pertanyaan ini kerap jua kuutarakan kepada orang-orang. Terutama pertanyaaan terkait "Kapan wisuda?"

Tapi Allah Maha Baik. Dia ingin aku pun merasakan apa yang orang lain rasakan saat pertanyaan itu diajukan. Maka, dunia pun berputar saat pertanyaan "Kapan wisuda" mengarah kepadaku yang belum tamat jua untuk menyelesaikan pendidikan S2 ku. 

Dulu, ada seorang senior yang selalu menjawab "Mohon doanya dipermudah Allah" saat pertanyaan kapan menghantam dirinya. Aneh dan lebay menurutku saat beliau menjawab demikian. Namun,m sekarang kusadari bahwa itu salah satu trik untuk menguatkan sekaligus sebagai doa.

Benarkan?

Coba deh.

Sederhananya, daripada bertanya kapan, mending doakan saja. Gampangkan. ^^

Drama Dunia Tesis Last Part

Setelah kisah yang lumayan bikin sedih banget, saya mencoba untuk pulihkan hati dan pikiran. Butuh waktu untuk kembali bangkit. Mewek mah tidak. Cuman serinf melamun dan menerawang jauh aja.

Minggu berikutnya saya urus semua berkas pengalihan dosen pembimbing. Dan mencoba mengajukan pada pembimbing lain. Allah Maha besar. Alhamdulillah pembimbing berikut langsung acc penelitian saya.

Kisah setelah itu sungguh drama yang romantis. Tatkala pesimis pernah hinggap, sekejap langsung dibuyarkan dengan kisah yang indah setelahnya. Sungguh tiada terduga, Allah berikan kemudahan setelah perjalanan panjang yang saya alami.

Skenario kesalahan pada SK pembimbing rupanya juga menjadi kisah yang sudah Allah siapkan sehingga proses pengalihan pembimbing tidak memakan waktu yang lama untuk penerbitan SK yang baru.

_____

Skenario yang Allah berikan memang selalu indah walau awalnya harus melewati kekecewaan, kesedihan, dan semua perasaan negatif lainnya. Namun selalu percaya bahwa Allah sayang kita maka tiada yang tak bahagia jika kita selalu berprasangka baik, bersabar dan ikhlas menjalaninya.

Semua akan indah pada waktunya. Dan ini benar adanya pada drama per-tesis-an ini. Hihi

Sampai jumpa ^^

Friday, January 4, 2019

Drama Dunia Tesis Part III

Kala itu, sangat sangat down. Bahkan, saat pulang pun saya putuskan untuk tidur dan trauma untuk membuka lembaran penelitian. Cukup lama untuk bangkit kembali. Hingga harus dipaksa agar waktu tak berlalu begitu saja.

"Sepertinya harus kembangkan penelitiannya namun masih tetap menggunakan alat ukur yang lama"

Akhirnya semua waktu digunakan untuk searching penelitian terkait apakah bisa dikembangkan atau tidak. Cari dan cari. Alhamdulillah wa syukurillah. Semua sudah ditemukan dan siap dicetak sebagai bukti kepada buk Ani.
______

Pertemuan kembali berlangsung.

"Menurut ibuk ini tidak bisa."

Penolakan kembali. Namun, tetap dicoba untuk menjelaskannya kepada beliau.

"Buk, kebetulan saya menemukan penelitian yang hampir sama. Alat ujinya menggunakan yang saya gunakan. Model penelitiannya juga hampir sama."

Ibuk masih tetap gigih tidak menyanggupinya.

"Kemarin ada mahasiswa bimbingan ibuk menggunakan cara ini. Salah besar saat ujian tesis. Makanya ibuk tidak mau lagi."

"Iya buk. Saya sudah baca penelitian mahasiswa yang bersangkutan. Namun,  memang terjadi kesalahan dengan penelitiannya. Sementara saya tidak demikian buk, saya..."

Belum selesai disampaikan argumen pembelaan, sang ibuk malah memotong pembicaraan saya dan berujar "Kamu itu ngeyel"

Saya hanya bisa pasrah.

"Kalau kamu bisa membuktikan dengan menanyakan langsung ke peneliti yang pernah meneliti ini, maka akan saya terima."

Kebetulan bukti yang tadi saya sertakan, beliau pernah meneliti yang sama dan malah menerbitkan buku juga. Maka, tak pikir panjang saya langsung mengirimi beliau email dan jawabannya tak terduga.

"Bisa kok."

Sekiranya itu jawabannya yang singkat.

Pertemuan berikutnya tentu penuh semangat karena peneliti menyatakan bisa. Namun sayang semua sirna.

"Kenapa bisa. Maaf ya, ibuk nggak bisa lagi membimbing kamu. Maaf, kamu agak ngeyel."

Penolakan terberat dan terbesar.

Kenapa saya dikatakan ngeyel? 
Karena saya tidak mau menuruti kemauan beliau. Jujur, sebenarnya tidak berat untuk mengubah konsep penelitian. Hanya saja waktu yang ada sangat singkat mengingat sebentar lagi akan dilakukan pembayaran SPP. Maka saya putuskan untuk tetap mempertahankan penelitian yang ada dengan metode sederhana. Tapi, mungkin sang ibuk kurang puas jika hanya penelitian sederhana. 

Jika kembali meninjau perjuangan menemui beliau, ceritanya hanyalah seperkian kecil skenario yang saya hadapi. 

Skenario sang ibuk yang tak bisa ditelfon.

Skenario sang ibuk yang tak pernah membalas pesan saya.

Skenario sang ibuk yang berujar "Maaf, kita tidak pernah bikin janji". Walah, menghubungi ibuk saja saya sulit.

Skenario penolakan.

Finally, inilah saatnya untuk menyerah meluluhkan hati beliau. Maka, saya putuskan untuk mengganti pembimbing.

Thursday, January 3, 2019

Drama Dunia Tesis Part II

Baiklah, kali ini akan saya ceritakan proses bimbingan yang saya jalani bersama buk Ani.
______

Proses bimbingan berlangsung kurang lebih 1.5 bulan lamanya bersama beliau. Awalnya, saya menjumpai sang dosen saat beliau selesai menguji mahasiswa yang ujian proposal.

"Maaf buk, gimana ya saya bisa menjumpai ibuk untuk pertemuan selanjutnya?"

"Cek jadwal saya. Saya kurang suka dihubungi. Cukup liat jadwal ujian dan ngajar saja."

Saya pun menyanggupi keputusan sang ibuk. Pertemuan selanjutnya gagal maning dikarenakan beliau tidak datang sama sekali sesuai jadwal. Alhasil pulang tanpa apa-apa.

Pertemuan berikutnya, hampir sama. Lagi-lagi beliau tidak datang. Rasa khawatir mulai menghampiri mengingat waktu semakin sempit menuju pendaftaran ujian proposal.

Bersyukur, pertemuan ketiga sang ibuk bisa ditemui walay harus menunggu hampir 2 jam. Tak masalah karena penantian ini berarti.

"Kamu penelitiannya seperti apa? Silakan ceritakan. Nanti, kalau sudah oke, kita percepat saja agar kamu bisa segera seminar proposal."

Semangat mulai muncul saat itu. Sifat optimis juga demikian. Maka, saya pun semangat untuk menceritakan penelitian yang akan dilakukan. Nah, saat penutupan, tiba-tiba sang ibuk merasa ada yang jangan pada alat uji penelitian saya. Beliau ragu bahwa alat uji ini bisa digunakan.

Saat saya membaca kembali, benar rupanya. Alat uji ini kurang cocok dengan penelitian saya. Kesalahan ini terjadi lantaran saya kurang memahami proses metodologi penelitian secara utuh.

"Kamu gak bisa nih uji pake ini."

"Kalau seandainya saya gunakan alat uji yang sederhana, bagaimana buk?"

"Ooh gak bisa menggunakan yang kamu maksud."

Entah gimana, saya keukeh berargumen bahwa alat uji sederhana yang dimaksud mampu memecahkan persoalan penelitian saya.

"Tetap tidak bisa saya terima. Kamu harus tahu bahwa penelitian kamu ini sangat sederhana. Kalau bisa, pakai alat uji yang agak beda. Kamu itu s2. Bukan s1 lagi."

Agak terpukul dan terhenyuh mendengar pernyataan sang ibuk. Bahkan, beliau memastikan juga kepada dosen yang lain terkait penelitian saya.

"Oalah, ini yang kemarin mau bimbingan sama saya ya? Maaf ya, saya gak bisa karena penelitian kamu gak menarik."

Sedih banget mendengar pernyataan dosen tersebut. Iya. Beliaulah yang awalnya saya minati untuk dijadikan pembimbing.

Baiklah, segitu dulu... Nantikan gimana kelanjutan ceritanya ~~~