KATA
PENGANTAR
Segala puji dan syukur kita panjatkan kepada Tuhan YME. Diantara sekian
banyak nikmat Tuhan YME yang membawa kita dari kegelapan ke dimensi terang yang memberi hikmah dan
yang paling bermanfaat bagi seluruh umat manusia, sehingga oleh karenanya kami
dapat menyelesaikan tugas akhir mata kuliah Bisnis Internasional ini dengan
baik dan tepat waktu.
Dalam proses penyusunan tugas ini kami menjumpai hambatan, namun berkat
dukungan materil dari berbagai pihak, akhirnya kami dapat menyelesaikan tugas
ini dengan cukup baik, oleh karena itu melalui kesempatan ini kami menyampaikan
terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak terkait yang
telah membantu terselesaikannya tugas ini.
Segala sesuatu yang salah datangnya hanya dari manusia dan seluruh hal yang
benar datangnya hanya dari agama berkat adanya nikmat iman dari Tuhan YME, meski begitu tentu
tugas ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu segala saran dan kritik
yang membangun dari semua pihak sangat kami harapkan demi perbaikan pada tugas
selanjutnya. Harapan kami semoga tugas ini bermanfaat khususnya bagi kami dan
bagi pembaca lain pada umumnya.
Pekanbaru,
27 Mei 2014
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Achmad
Suparman menyatakan Globalisasi adalah suatu proses menjadikan sesuatu (benda
atau perilaku) sebagai ciri dari setiap individu di dunia ini tanpa dibatasi
oleh wilayah. Sebenarnya, globalisasi belum memiliki definisi yang pasti karena
mencakup banyak aspek dan kekompleksan sifatnya, sehingga bergantung dari sisi
mana orang melihatnya. Sebagai bukti, ada yang menyebut globalisasi di bidang
budaya atau di bidang ekonomi, atau di bidang informasi dan sebagainya. Dalam
perkembangannya, disamping memberikan manfaat bagi perekonomian suatu negara
ternyata perusahaan multinasional juga turut berperan sebagai penghambat karena
dampak negatif yang ditimbulkannya. Terlepas dari perdebatan mana yang lebih
dominan, manfaat atau kerugiannya, yang pasti harus dipikirkan bersama
cara-cara untuk menanggulangi dampak negatif dari adanya perusahaan
multinasional.
Dewasa ini pertumbuhan Perusahaan Multinasional (Multinational
Corporations) semakin berkembang pesat. Eksistensi Multinational
Corporations sendiri sudah ada sejak lama, bahkan sejak sebelum Perang
Dunia I dimulai. Sejak awal kehadirannya, hingga pertengahan tahun
1980an MNC sudah tumbuh berkali-kali lipat lebih cepat dibandingkan
pertumbuhan perdagangan dunia. MNC
atau multinational corporation atau di dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai
perusahaan multinasional adalah salah satunya. Adanya perjanjian kerjasama
secara global untuk mengadakan daerah pasar bebas (AFTA) mendorong banyak pihak
eksternal atau yang dalam hal ini adalah Multi-National
Corporations (MNCs) untuk berinvestasi ke negara-negara berkembang yang
memiliki kelebihan dalam aspek Sumber Daya Manusia dan bahan baku yang mudah di
dapatkan pada kawasan Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Akan tetapi dengan
kehadiran MNCs di Indonesia, tidak serta merta hanya membawa dampak yang
positif.
Berbagai macam dampak negatif turut serta hadir sebagai
konsekuen-si kehadiran MNCs tersebut, baik pada dimensi pekerja maupun pada dimensi
lingku-ngan hidup serta dengan kehadiran MNCs, tidak berarti negara berkembang
dengan otomatis akan mendapatkan keuntungan di segala dimensi, akan tetapi ada
dimensi lain yang justru tereksploitasi, seperti pada dimensi SDM dan
lingkungan hidup. Berkembangnya Perusahaan Multi Nasional disuatu Negara
sangatlah berpengaruh terhadap Ekonomi Negara itu sendiri dimana pengangguran
akan berkurang sehingga pendapatan Negara itu sendiri otomatis akan bertambah.
Dalam rangka membantu perubahan terhadap Negara khususnya Indonesia
perkembangan perusahaan multi Nasional merupakan prioritas utama dalam
pembangunan negara maka pembangunan ini memerlukan konsep yang sangat bagus
agar tujuan-tujuan tercapai semua. Dengan demikian unsur pemerintahan merupakan
hal yang penting sebelum mengarah kepada perusahaan itu sendiri. Dalam
perkembangannya, disamping memberikan manfaat bagi perekonomian suatu negara
ternyata perusahaan multinasional juga turut berperan sebagai penghambat karena
dampak negatif yang ditimbulkannya. Terlepas dari perdebatan mana yang lebih
dominan, manfaat atau kerugiannya, yang pasti harus dipikirkan bersama
cara-cara untuk menanggulangi dampak negatif dari adanya perusahaan
multinasional.
Persaingan bisnis makanan ketat di Indonesia
begitu juga dalam bisnis makanan seperti donut. Hal ini ditandai dengan semakin
banyaknya bermunculan merek-merek donat yang ada di Indonesia sehingga konsumen
diadapkan pada pilihan merek yang beraneka ragam. Seperti Dunkin’s Donuts, J.CO Donut, Krispy Kreme, I-Crave, dan sebagainya.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas
dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah
sejarah Dunkin’s Donuts?
2.
Bagaimanakah
masuknya Dunkin’s Donust ke Indonesia?
3.
Apa
isu yang berkaitan dengan Dunkin’s Donuts
di Indonesia?
4.
Apa
sajakah pengaruh masuknya Dunkin’s Donuts
ke Indonesia?
5.
Apa sajakah dampak kehadiran Dunkin’s Donuts terhadap pertumbuhan dan perkembangan usaha lokal?
6.
Bagaimanakah
penanggulangan atas dampak kehadiran Dunkin’s
Donuts ke Indonesia?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk
mengetahui sejarah Dunkin’s Donuts.
2.
Untuk
mengetahui bagaimana masuknya Dunkin’s
Donuts ke Indonesia.
3.
Untuk
mengetahui isu yang berkaitan dengan Dunkin’s
Donuts di Indonesia.
4.
Untuk
mengetahui apa saja pengaruh masuknya Dunkin’s
Donuts ke Indonesia.
5.
Untuk
mengetahui dampak dari kehadiran Dunkin’s
Donuts ke Indonesia.
6.
Untuk
mengetahui bagaimana cara penanggulangan atas dampak kehadiran Dunkin’s Donuts ke Indonesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah
Dunkin’s Donuts
Eksistensi Perusahaan Multinasional
semakin berkembang pesat di berbagai negara yang bergerak di segala bidang.
Salah satunya adalah perusahaan multinasional yang bergerak di bidang kafe yang
menyediakan makanan lezat yaitu Dunkin
Donut’s atau yang lebih dikenal dengan sebutan ’DD’. Dunkin’Donuts
pada mulanya tumbuh dan berkembang di kota Boston, Amerika Serikat pada tahun
1940 (dengan nama awal Open Kettle). Kemudian perusahaan ini terus tumbuh dan
berkembang hingga akhirnya pada tahun 1970, Dunkin’Donuts
telah berhasil menjadi perusahaan dengan merek internasional. Kemudian pada
tahun 1983 perusahaan Dunkin’Donuts
dibeli oleh Domecq Sekutu (Allied Domecq) yang juga
membawahi Togo’s dan Baskin Robins. Di
bawah Allied Domecq, perluasan pasar Dunkin’Donuts secara internasional
semakin diintensifkan. Hingga akhirnya gerai Dunkin’Donuts tersebar tidak hanya di benua Amerika saja, tetapi
juga meluas ke benua-benua seperti Eropa dan Asia.
Sejak tahun 1970 Dunkin Donut’s menjadi merek internasional dengan reputasi yang
sangat luar biasa dalam kualitas dan pelayanan. Dunkin Donut’s mempunyai lebih dari 5000 tempat penjualan di
Amerika dan 41 negara di seluruh indonesia, salah satunya adalah di Indonesia. Dunkin Donut’s itu sendiri pertama kali
berdiri di Indonesia pada tahun 1985, yang berlokasi di jalan Hayam Wuruk No.9
Jakarta Pusat. Perusahaan yang membeli franchise Dunkin Donut’s tersebut adalah PT. DUNKINDO LESTARI. Perusahaan ini
merupakan badan usaha swata nasional yang bergerak dibidang jasa pada jenis
usaha makanan cepat saji.
Sementara sejarah dari sosok pendirinya,
yaitu William Rosenberg, adalah bermula ketika ia terpaksa berhenti sekolah
untuk membantu kedua orang tuanya. Dia bekerja di “Western Union” hanya sebentar
lalu dia bekerja sebagai penjual di “Jack & Jill Ice Cream, dalam waktu 4
tahun dia bisa menjadi manajer penjualan untuk distribusi ke restaurant dan
lembaga-lembaga.
Dia mengumpulkan 2500 dolar dan memulai
usahanya yang bergerak dibidang Industri Jasa Hidangan. Yang dijualnya adalah
sandwich dan hidangan makan siang untuk pekerja pabrik di daerah Boston dan
sekitarnya. Usaha Industri Jasa Hidangan ini meluas cepat mencapai 140 truk
namun segera menyurut pada akhir tahun 1940an.
Pada tahun 1950 membuka “The Open Kettle”
lalu diganti nama menjadi “Dunkin’ Donuts” yang diambil nama dari komedi lama
“Red Skelton”. Dan tahun 1963, William Rosenberg mengalihkan jabatannya CEO
kepada putranya yang bernama “Robert”.
Di tahun 1963 mempunyai 100 toko yang menghasilkan
100 juta dolar. Dunkin’ Donuts lalu menjual sahamnya kepada masyarakat tahun
1968 yang pada saat itu telah mempunyai 334 toko menjadi 700 toko dalam waktu 3
tahun. Dengan strateginya yang agresif dalam memperluas dia mampu mencapai 90
juta dolar tahun 1970 dan tahun 1971 mencapai 950.000 dolar, tahun 1972 mampu
mencapai 120 juta dolar. Pada tahun 1973 menghadapi menurunan sehingga dia
harus menjual 56 toko dan perusahaan merugi hingga 1,7 juta dolar. Itu menurun
hingga 12% dari semua toko Dunkin’ Donuts.

Dunkin’ Donuts ingin memperluasnya dengan
melakukan analisa pasar. Pendapatan semakin lama semakin meningkat mencapai
10-15%. Perusahaan ini menetapkan pandangannya
dalam membangun dan mempertahankan staf perusahaan yang paling stabil dan
efektif dalam industri ini dan perusahaan ini menyadari bahwa usaha tanpa staf
perusahaan yang stabil dan efektif maka tidak akan bisa maju malahan akan
menghadapi ancaman.
-
Mengambil
ahli pesaing yang ada dan mengubah toko mereke menjadi toko Dunkin’ Donuts.
Pada tahun 1991 pesaing Dawn Donuts di Timur
telah di gulung. 59 toko dibeli dan diubah namanya menjadi Dunkin’ Donuts dan
Mister Donut juga diambil alih. Lebih dari 28 juta dolar dihabiskan untuk
mengambil alih 550 toko Mister Donut dari perusahaan Internasional Multifood.
-
Menemukan
daerah yang baru dan menguntungkan.
Salah satunya adalah usaha toko mini, usaha
toko mini ini dibuka disekitar stasiun kereta api, terminal bus, bandar udara. Lalu
daerah selanjutnya adalah pompa bensin, pompa bensin Exxon, Citgo, Shell, dan
Amoco adalah pompa bensin yang sudah bekerja sama dengan Dunkin’ Donuts. Dunkin’
Donuts sudah mempunyai ratusan tempat sampai 1995. Dunkin’ Donuts tidak hanya
di dalam negri saja namun sudah keluar negri dari Brazil sampai ke Arab Saudi,
selain itu Allied sudah mempersiapkan 4 tempat baru yaitu :
- Amerika
- Eropa Barat
- Inggris Raya
- Bagian Dunia Lainnya.
650 tempat berhasil menghasilkan 220 juta
dolar. Usaha ini juga sedang diperluas ke Spanyol, Korea dan Inggris. Perhitungan
terakhir pada tanggal 29 Februari 1993 menghasilkan 1,35 milyar dolar dari 3000
tempat penjualan dalam negri. Tahun 1992 memperoleh 1,22 milyar dolar dan 1,03
milyar dolar berasal dari dalam negri.
Dunkin’ Donuts selalu mengutamakan
kualitasnya dan setiap anggota selalu bekerja sama untuk membangun Dunkin’
Donuts menjadi tambah berkembang. Dunkin’ Donuts mampu menyediakan pasokan
tepat waktu. Setiap manager bertanggung jawab atas pengembangan, pengemasan,
penelitian pasar, penetapan harga, dan penyediaan bahan.
Ketiga golongan produk lainnya adalah donat,
cairan termasuk kopi, dan sop serta bakaran termasuk sandwich. Dunkin’ Donuts
tidak sepenuhnya sesuai dengan keinginan para konsumen, apalagi macam rasanya
tidak mempunyai variasi maka peminatnya berkurang. Para pelanggan menginginkan
makanan lebih bergizi dan sehat. Penjualan Dunkin’ Donuts dilakukan di arena
penjualan setempat. Mc Donald’s dan Burger King juga memasuki perang makanan
pagi / siang, sehingga mengancam Dunkin’ Donuts akan mengalami kebangkrutan.
Dengan Dunkin’ Donuts mengeluarkan produk
yang lebih beragam. Dunkin’ Donuts telah mengalami proses pembelajaran dari
perluasan usahanya dalam tahun 60an, masalah berat telah dipecahkan oleh
perusahaan yaitu dengan meningkatkan penjualan tanpa terlalu memperluas usaha
dan mampu memasuki pesaingan di pasaran.
Dengan banyaknya pesaing di pasaran Dunkin’
Donuts mengurangi waktu usahanya, dan Dunkin’ Donuts juga mengeluarkan produk
menarik untuk pelanggan. Dunkin’ Donuts juga mampu meyakini pelanggan bahwa
Dunkin’ Donuts tidak hanya membuat donut namun menyediakan sandwich dan sop.
Dalam pandangan yang sederhana, waralaba
adalah inti mutlak dari kewirausahaan dan perusahaan bebas, dan tidak diragukan
lagi menjadi faktor ekonomi paling dinamik di dunia kini. ( William Rosenberg,
pendiri Dunkin’ Donuts ).
2.2 Sejarah masuknya Dunkin’ Donuts ke Indonesia
Dunkin’Donuts
pertama kali masuk ke Indonesia melalui Penanaman Modal Asing Langsungnya
dengan membuka perusahaan pertamanya di Jakarta. Dunkin’ Donuts sebelumnya juga
telah membuka cabang-cabangnya (franchise) di berbagai negara, seperti
negara-negara di Eropa. Sebelumnya, dengan mengacu pada UU No. 1 Tahun 1967
tentang Penanaman Modal Asing, mari kita lihat terlebih dahulu apa yang
dimaksud dengan penanaman modal asing: “Pengertian penanaman modal asing
di dalam undang-undang ini hanyalah meliputi penanaman modal asing secara
langsung yang dilakukan … berdasarkan ketentuan-ketentuan undang-undang …. dan
yang digunakan untuk menjalankan Perusahaan di Indonesia…” Sedangkan yang dimaksud dengan
Modal Asing dalam undang-undang tersebut adalah: “Alat pembayaran luar
negeri yang tidak merupakan bagian dari kekayaan devisa Indonesia, yang dengan
persetujuan Pemerintah digunakan untuk pembiayaan Perusahaan di Indonesia.” Salah
satu bentuk pembiayaan yang dilakukan oleh Perusahaan Multinasional di
Indonesia adalah dalam bentuk pajak (taxation).
Di Indonesia sendiri, Dunkin’ Donuts mulai
merambah pasarnya pada tahun 1985 dengan gerai pertama didirikan di Jalan Hayam
Wuruk, Jakarta Pusat. Khusus wilayah Indonesia, master franchise Dunkin’Donuts dipegang oleh Dunkin’
Donuts Indonesia. Saat pertama kali Dunkin’Donuts
membuka gerai pertamanya di Indonesia (pada tahun 1980-an), tidak ada reaksi
keras dari masyarakat yang menentang perusahaan tersebut untuk masuk.
Masyarakat cenderung menganggap positif atas upaya perusahaan tersebut dalam
memperluas jaringan pasarnya. Mereka justru cenderung merasa senang atas
hadirnya Dunkin’Donuts di Indonesia.
Sebenarnya, Dunkin’ Donuts bukan merupakan
perusahaan donuts multinasional pertama yang masuk ke Indonesia. Di tahun
1968, American Donut merupakan perintis donat pertama yang digoreng dengan
mesin otomatis di Pekan Raya Jakarta. Selain membuka gerainya di pekan
raya, American Donut juga membuka gerainya di berbagai tempat di Jakarta.
Selain itu, masih ada perusahaan-perusahaan multinasional donut lainnya yang
juga berusaha mengimbangi gerak Dunkin’ Donuts, seperti Country Style Donuts
asal Kanada, Donuts Xpress asal Australia, Krispy Kreme yang juga berasal dari
AS, serta masih banyak lagi perusahaan-perusahaan donut lainnya.
Meskipun demikian, Dunkin’ Donuts-lah yang
dinilai paling berhasil dalam meluaskan jaringan pasarnya di Indonesia, bahkan
di dunia. Dunkin’ Donuts telah berhasil membuka lebih dari 8.800
gerai donatnya di lebih dari 35 negara di berbagai benua. Di Indonesia
sendiri Dunkin’ Donuts telah membuka 200 gerai lebih di kota-kota besar di
seluruh Indonesia, seperti Medan, Yogyakarta, Bandung, Bali, Surabaya,
Makassar, Jakarta, dan kota-kota lainnya di Indonesia. Dunkin’Donuts telah berhasil menjadi model dalam hal pelayanan serta
konsep gerai yang dimilikinya. Bahkan Dunkin’Donuts
terkadang dianggap sebagai bayang-bayang bagi perusahaan donut lainnya. Di
Jogjakarta, Dunkin’ Donuts telah merambah ke mall-mall, swalayan serba ada,
jalan-jalan di malioboro, hingga ke bookstore-bookstore seperti Gramedia.
2.3
Isu terkait Dunkin’ Donut di Indonesia
Saat ini Dunkin’ Donuts mengalami
beberapa masalah seperti konsumen mulai bosan dengan bentuk produk Dunkin’
Donuts yang tebal (Agungagriza.wordpress.com/2011/12/21).
Produk yang ditawarkan oleh produsen kepada
konsumen juga mempunyai aspek-aspek tertentu, seperti kualitas produk. Saat ini
kualitas produk Dunkin’ Donuts dari segi rasa kalah dari J.CO Donut,
karena produk J.CO Donut lebih legit bagi para penikmat Donat (Annisamardiana.wordpress.com/Kualitas
Pelayanan dan Kualitas Produk Dunkin’ Donuts/2011/12/21).
Kemudian dari perspektif konsumen kualitas minuman Dunkin’
Donuts tidak mencerminkan harganya (www.detik.com/Kualitas
Minuman Dunkin’ Donuts/2011/04/08).
Dalam hal ini yang dimaksud adalah minuman
cream float yang dimana saat diberikan kepada konsumen creamnya tidak layak
untuk diminum. Dunkin’ Donuts dalam menjual produknya menggunakan cara
yang tidak jujur. Hal ini terbukti saat seorang konsumen membeli 1 lusin donut,
roti keju, kopi dengan total harga Rp86.000,00, oleh Dunkin’ Donut’s diberikan
free 1 roti tawar gratis. Setelah dicek pada kuitansi pembayaran ternyata roti
tersebut tidak gratis, karena harus membayar sebesar Rp10.000,00 (home of
veronica of tan/Hati hati ketika membeli Dunkin’ Donuts/2012/01/05).
Kemudian dari segi pelayanan Dunkin Donuts tidak memahami apa yang diinginkan
konsumennya. Contoh kasus seorang konsumen memesan 1 lusin donat dengan harga
Rp71.000, yang dimana dalam paket tersebut tidak dimasukkan donat dengan rasa
selai srikaya sehingga hal ini membuat kecewa konsumen
tersebut(www.detik.com/Semoga kedepan Dunkin’ Donuts lebih manis
lagi/2012/01/05).
PT Dunkindo Lestari selaku pemegang waralaba Dunkin’
Donuts di Indonesia perlu melakukan tindakan atau usaha serius untuk
meningkatkan citra merek yang positif dibenak konsumen. Salah satu upaya yang
telah dilakukan melakukan edukasi tentang donat ke sekolah-sekolah, pembagian
donat-donat ke konsumen (pelanggan), berpromosi melalui sinetron yang
didalamnya menampilkan produk Dunkin’ Donuts. Citra merek merupakan
refleksi dari asosiasi merek yang terbentuk dalam ingatan konsumen, dan
asosiasi merek merupakan segala hal yang berkaitan dengan ingatan mengenai
merek. Asosiasi merek yang membentuk citra merek, merupakan pijakan konsumen
dalam keputusan pembelian.
Jika disusun secara ringkas,
berikut isu terkait Donkin’s Donuts:
1. Konsumen mulai bosan dengan
bentuk produk Dunkin’ Donuts yang tebal.
2. Kualitas produk donat milik Dunkin’
Donuts dari segi rasa kalah dari J.CO Donut, karena produk J.CO
Donut lebih legit dirasakan oleh para penikmat donat
3. Kualitas produk minuman tidak
sebanding dengan harganya
4. Dunkin Donut dalam menjual
produknya menggunakan cara yang tidak jujur
5. Dalam hal pelayanan, Dunkin’
Donuts tidak memahami apa yang diinginkan konsumennya.
Dalam menghadapi isu tersebut, tampak
argument dan upaya pelayanan yang berkembang pada Dunkin’ Donuts. Dari segi produk, Dunkin Donuts terus mencoba melakukan penyesuaian rasa sesuai
kemauan konsumen, tanpa menghilangkan rasa asli donat Amerika. Dunkin’ Donuts memiliki tekstur donat
yang agak berbeda dengan pesaingnya. Donat Dunkin lebih tebal teksturnya dan
lebih terasa kenyang di perut. Produk-produk donat yang ada di Dunkin kurang
lebih sama dengan produk-produk milik kompetitornya, misalnya seperti donat
dengan lapisan biji almond.
Dari segi iklan, Dunkin’ Donuts sepertinya sudah melalui masa-masa dimana iklan
memegang peranan penting. Hal ini karena Dunkin Donuts telah memiliki outlet
yang sangat banyak di Indonesia, dan memasukkan nama Dunkin sebagai “pemain
lama” yang telah banyak dikenal masyarakat. Masuknya Dunkin Donuts sebagai
market leader di industri donat Indonesia telah berlangsung sejak tahun 1985.
Dari segi outlet dan layanan, Dunkin tidak
menerapkan konsep mempertontonkan proses pembuatan. Namun sejak Oktober 2006,
Dunkin meluncurkan konsep layanan self service. Dengan konsep ini, para
pelanggan bisa langsung memilih produk yang diinginkannya. Tidak perlu lagi
menunjuk produk dan meminta pelayan untuk mengambilkannya. Konsep tersebut
berhasil menghilangkan pembatas antara customer ke produk. Dengan dilepasnya
pembatas tersebut, customer bisa punya pengalaman tersendiri.
Untuk mengaplikasikan konsep ini, Dunkin
masih dalam tahap transisi. Di dua outlet itu masih disediakan crew untuk
membantu. Pada akhirnya, tidak akan ada lagi crew yang membantu pelanggan untuk
memilih donat. Rencananya, konsep ini akan berlaku di semua outlet Dunkin yang
berjumlah 200-an, dan diperkirakan dapat terwujud dalam kurun waktu 4 tahun.
Konsep self service ini digunakan dengan
tujuan meningkatkan penjualan dan menghadapi kompetitor yang semakin gencar.
Konsep ini ternyata dapat membuat item-item produk terjual secara merata.
Bahkan, untuk beberapa item produk yang tadinya mati bisa hidup kembali. Selain
self service, Dunkin juga menyediakan fasilitas hot spot bagi pelanggannya.
2.4
Pengaruh Masuknya Dunkin’ Donut ke Indonesia
Hadirnya suatu Perusahaan Multinasional baru,
tentunya membawa pengaruh bagi negara penerima perusahaan tersebut. Demikian
pula kehadiran Dunkin’Donuts sendiri
yang juga membawa pengaruh bagi masyarakat.
Secara sosial, pengaruh yang dibawa oleh
perusahaan Dunkin’Donuts tidak
membawa dampak yang signifikan bagi pola kehidupan masyarakat. Ada yang
berpendapat bahwa kehadiran MNC dapat mengubah
pola hidup masyarakat menjadi lebih konsumtif. Masyarakat dinilai akan
saling berlomba-lomba dalam menggunakan (mengonsumsi) produk dari Perusahaan
Multinasional tersebut untuk menunjukkan strata sosial mereka dalam kehidupan
bermasyarakat. Namun, dalam hal ini tidak terjadi demikian. Sebelum kehadiran Dunkin’Donuts sendiri (tahun 1985),
sudah ada American Donuts yang masuk terlebih dahulu pada tahun 1968.
Sementara, donuts sendiri bukanlah suatu produk makanan yang baru. Ia sudah ada
dan populer di tengah-tengah masyarakat sama seperti halnya roti.
Sedangkan mengenai isu outsourcing yang juga
dinilai akan memberikan kontribusi bagi peningkatan jumlah penduduk perumahan
kumuh di daerah perkotaan tidak berlaku bagi kehadiran perusahaan ini. Produksi
donut yang dihasilkan dari perusahaan ini menggunakan teknologi mesin
penggoreng otomatis. Sehingga, tenaga manusia yang digunakan lebih banyak
bergerak di bidang Manajemen dan Pelayanan. Hal ini justru membawa dampak yang
positif bagi masyarakat, yaitu ya
ng
paling pokok adalah mengurangi angka
pengangguran dan memberdayakan produktivitas sumber daya manusia.
Selain itu, bagi masyarakat pribadi, hal ini dapat meningkatkan keterampilan
mereka dalam bidang manajemen dan pemasaran ditambah lagi dengan perluasan
jaringan kerja (work networking).

Sedangkan secara ekonomi, kehadiran dan
keberadaan Dunkin’Donuts tidak sampai
mengancam eksistensi (keberadaan) usaha-usaha donut lokal yang ada. Buktinya
saja sampai saat ini kita masih menjumpai penjual-penjual yang menjajakan donut
buatan industri rumah tangga ataupun industri kecil. Baik di pasar-pasar
tradisional, sekolah-sekolah maupun kantor, warung, serta pedagang-pedagang
keliling. Kehadiran Dunkin’Donuts
dianggap sebagai salah satu varian dari jenis-jenis donut yang ada. Selain itu,
adanya segmentasi pasar tersendiri dari Dunkin’ Donut, membuat eksistensi usaha-usaha
donut lokal yang ada tetap terjaga.
Ada satu hal yang menarik dari pengaruh
kehadiran Perusahaan Multinasional Dunkin’Donuts
di Indonesia. Secara empiris, hadirnya Dunkin’ Donuts telah menstimulus timbulnya persaingan dari
perusahaan lokal sejenis. Terbukti saat ini mulai banyak bermunculan
perusahaan donut lokal yang menghasilkan donut-donut berkualitas sampai dengan
yang berorientasi pada bentuk resto donut dan kopi. Sebut saja donut I-Crave,
Java Donut, Donut Kampoeng Utami (Dku. Donuts Indonesia), Ring Master, sampai
perusahaan donut J.CO (milik penata rambut Indonesia ternama, Johnny Andrean)
yang semakin digemari para penikmat donut. Dunkin’ Donuts yang merupakan
restoran donut dan kopi dengan jaringan terbesar di dunia saat ini terbukti
mampu merangsang pertumbuhan perusahaan donut lokal yang ada.
Saat ini bahkan perusahaan donut J.CO dinilai
mampu menandingi Dunkin’Donuts dalam
hal pelayanan dan kualitas produk yang ditawarkan (berdasarkan jumlah
pengunjung yang datang dan antre setiap harinya). Hal ini mungkin sejalan
dengan istilah laissez-faire(“let be” atau biarkan saja). Di mana
pemerintah membiarkan “Perusahaan” masuk dan berkembang hingga akhirnya mampu
memicu persaingan dengan pengusaha lokal. Hal ini mungkin juga sejalan dengan
prinsip liberalisme dalam tulisan Adam Smith (1776), yaitu teori The
Invisible Hand. Smith yakin pada sifat baik manusia yang mau
bekerjasama dan konstruktif. Masyarakat bisa saling bekerja dalam keselarasan
dengan sesamanya, walaupun bersaing dalam melayani pelanggan yang sama ataupun
menghasilkan produk yang sama.
Kehadiran Donkin Donut’s ini dapat mengubah pola hidup
masyarakat menjadi lebih konsumtif. Masyarakat cenderung menganggap positif
atas upaya perusahaan ini dalam memperluas jaringan pasarnya. Mereka justru
mejadi lebih senang dengan kehadiran perusahaan ini. Karena hal tersebut
berkaitan erat dengan strata kehidupan sosial, ataupun berkaitan dengan gaya
hidup manusia yang mengarah lebih modern.
Hadirnya suatu Perusahaan Multinasional baru, tentunya membawa pengaruh bagi
negara penerima perusahaan tersebut. Demikian pula kehadiran Dunkin’Donuts sendiri yang juga membawa
pengaruh bagi masyarakat.
Secara sosial, pengaruh yang dibawa oleh
perusahaan Dunkin’Donuts tidak
membawa dampak yang signifikan bagi pola kehidupan masyarakat. Ada yang
berpendapat bahwa kehadiran MNC dapat mengubah
pola hidup masyarakat menjadi lebih konsumtif. Masyarakat dinilai akan
saling berlomba-lomba dalam menggunakan (mengonsumsi) produk dari Perusahaan
Multinasional tersebut untuk menunjukkan strata sosial mereka dalam kehidupan
bermasyarakat. Namun, dalam hal ini tidak terjadi demikian. Sebelum kehadiran Dunkin’Donuts sendiri (tahun 1985),
sudah ada American Donuts yang masuk terlebih dahulu pada tahun 1968.
Sementara, donuts sendiri bukanlah suatu produk makanan yang baru. Ia sudah ada
dan populer di tengah-tengah masyarakat sama seperti halnya roti.
2.5 Dampak Kehadiran Dunkin’s
Donuts Terhadap Pertumbuhan Dan Perkembangan Usaha Local
Kembali kepada isu mengenai MNC yang
mengundang banyak polemik dari berbagai kalangan, terutama mengenai
kehadirannya di Negara-Negara Dunia Ketiga. Perusahaan-perusahaan Multinasional
dianggap sebagai ancaman bagi usaha-usaha lokal di negara tempat ia berada.
Namun, meskipun demikian, pemerintah negara-negara tersebut tetap saja saling
berlomba-lomba (bidding wars) untuk menarik investor agar mau
menanamkan modalnya di
negara
mereka dalam bentuk Foreign Direct Investment. Kehadiran MNC terkadang
memang membawa keuntungan dan kerugian. Hal inilah yang menjadi perdebatan
antara pihak-pihak yang pro dan kontra atas kehadiran Perusahaan Multinasional
di negara mereka.

Memang, jika
kita lihat dari segi pengukuran kinerja
Dunkin’ donut ini, mereka lebih memiliki beberapa unggulan seperti hanya
berikut ini:
Dari segi produk, Dunkin Donuts mencoba terus melakukan
penyesuaian rasa sesuai kemauan konsumen, tanpa menghilangkan rasa asli donat
Amerika. Dunkin memiliki tekstur donat yang agak berbeda pesaingnya. Donat
Dunkin lebih tebal teksturnya dan lebih terasa kenyang di perut. Produk-produk
donat yang ada di Dunkin kurang lebih sama dengan produk-produk milik
kompetitornya, misalnya seperti donat dengan lapisan biji almond.
Dari segi iklan, Dunkin Donuts
sepertinya sudah melalui masa-masa dimana iklan memegang peranan penting. Hal
ini karena Dunkin Donuts telah memiliki outlet yang sangat banyak di Indonesia,
dan memasukkan nama Dunkin sebagai “pemain lama” yang telah banyak dikenal
masyarakat. Masuknya Dunkin Donuts sebagai market leader di industri donat
Indonesia telah berlangsung sejak tahun 1985.
Dari segi outlet dan layanan, Dunkin
tidak menerapkan konsep mempertontonkan proses pembuatan. Namun sejak Oktober
2006, Dunkin meluncurkan konsep layanan self service. Dengan konsep ini, para
pelanggan bisa langsung memilih produk yang diinginkannya. Tidak perlu lagi
menunjuk produk dan meminta pelayan untuk mengambilkannya. Konsep tersebut
berhasil menghilangkan pembatas antara customer ke produk. Dengan dilepasnya
pembatas tersebut, customer bisa punya pengalaman tersendiri.
Untuk mengaplikasikan konsep ini,
Dunkin masih dalam tahap transisi. Di dua outlet itu masih disediakan crew
untuk membantu. Pada akhirnya, tidak akan ada lagi crew yang membantu pelanggan
untuk memilih donat. Rencananya, konsep ini akan berlaku di semua outlet Dunkin
yang berjumlah 200-an, dan diperkirakan dapat terwujud dalam kurun waktu 4
tahun.
Konsep self service ini digunakan
dengan tujuan meningkatkan penjualan dan menghadapi kompetitor yang semakin
gencar. Konsep ini ternyata dapat membuat item-item produk terjual secara
merata. Bahkan, untuk beberapa item produk yang tadinya mati bisa hidup
kembali. Selain self service, Dunkin juga menyediakan fasilitas hot spot bagi
pelanggannya.
Pihak yang kontra berpendapat bahwa
Perusahaan Multinasional dalam praktiknya membawa lebih banyak kerugian
daripada keuntungan bagi negara mereka. Salah satu isu yang paling
kontroversial mengenai kehadiran MNC—terutama di negara-negara berkembang—adalah
isu mengenai outsourcing. Selain
itu, terkadang kedaulatan nasioal juga tergadaikan dengan
adanya upaya MNC untuk masuk ke dalam negara tersebut. Upaya alih teknologi
yang pada mulanya diisukan sebagai keunggulan dari masuknya perusahaan multinasional
di negara-negara berkembang ternyata tidak terbukti. Di samping itu, masih
banyak lagi reaksi-reaksi negatif lainnya yang bermunculan akibat masuknya
perusahaan multinasional di negara-negara dunia ketiga.
Namun, terkadang orang menjadi lupa bahwa
kehadiran Perusahaan Multinasional sebenarnya tidak hanya membawa dampak yang
negatif saja bagi negara penerima. Selain membawa modal asing dan pemasukan
berupa pajak, MNC sebenarnya juga membawa dampak positif lainnya. Perbincangan
mengenai MNC tidak akan berkembang jika hanya mengenai dampak negatif yang
dibawa oleh MNC saja. Kehadiran MNC sebenarnya bisa menjadi stimulus bagi
berkembangnya usaha-usaha lokal sejenis yang ada bagi negara penerima. Salah
satu contoh kasus yang disajikan dalam tulisan ini adalah kehadiran Dunkin’Donuts yang memacu hadirnya
usaha-usaha donut lokal seperti J.CO, I-Crave, Java Donut, dan lain sebagainya.
Telah dibahas pada bagian sebelumnya bahwa
keberadaan Perusahaan Multinasional Dunkin’Donuts
terbukti tidak sampai mengancam eksistensi (keberadaan) perusahaan lokal yang
ada. Pedagang-pedagang tradisional banyak yang menjajakan donut-donut dari
usaha industri kecil ataupun usaha rumah tangga. Bahkan saat ini pun industri
rumahan tersebut banyak yang mengadaptasi adonan kue donat yang lebih lembut.
Adanya segmentasi pasar juga menjamin keberlangsungan perusahaan donut-donut
lokal. Sehingga kehadiran Dunkin’Donuts
tidak terlalu mengancam usaha-usaha tersebut.
Di samping itu, saat ini
pun sudah mulai banyak perusahaan-perusahaan donut lokal yang mampu
menghasilkan produk-produk donut berkualitas. Bahkan sebagian dari mereka sudah
mempunyai nama ataupun membuka gerai berkonsep resto donut dan kopi seperti
halnya Dunkin’Donuts. Sebut saja
donut I-Crave, Java Donut, J.CO, Donut Oishii, Mister Donut, dan lain
sebagainya. Donut-donut lokal ini juga tidak kalah digemarinya oleh para
penikmat donut. Sebuah polling dalam sebuah situs internet baru-baru ini
dilakukan untuk mengetahui tingkat kegemaran para penikmat donut terhadap rasa dari
jenis-jenis donut yang ada, baik lokal maupun yang dari luar.
Total Voters: 37
|
Keterangan:
- Donut Lokal = J.CO, iCrave,
Donut Pasar dan Donut Kentang
- Donut dari Perusahaan
Multinasional = Dunkin’Donuts
dan Krispy Kreme
Di sini terlihat bahwa
jumlah para penikmat donut lokal ternyata jumlahnya justru lebih banyak
(sekitar 70%) dibandingkan jumlah penikmat donut dari Perusahaan Multinasional
seperi Dunkin’Donuts (30% sisanya).
Hal ini karena adanya segmentasi pasar yang berbeda selain karena adanya
permasalahan mengenai cita rasa.
Salah satu dari
perusahaan-perusahaan donut lokal yang mampu bersaing dengan Perusahaan Dunkin’Donuts adalah J.CO (perusahaan
milik penata rambut Johnny Andrean). J.CO mulai berdiri sejak tahun 2005.
Perusahaan ini bahkan dianggap mampu menyaingi Dunkin’Donuts dalam hal cita rasa dan pelayanan. J.CO pun
telah membuka gerai-gerainya di mall-mall besar di kota-kota besar di
Indonesia. J.CO dianggap sebagai salah satu perusahaan donut lokal yang mampu
keluar dari bayang-bayang Perusahaan Multinasional Dunkin’Donuts. Perusahaan donut J.CO dianggap sebagai perusahaan
donut lokal yang berhasil membuat gebrakan dalam bisnis di bidang resto donut
dan kopi. J.CO dianggap berhasil “tampil beda” dengan para pemain
sebelumnya karena berhasil menawarkan konsep gerai baru. J.CO
menggunakan konsep gerai “Open Kitchen” (sama seperti Bread Talk, keduanya juga
berada dalam satu payung perusahaan yang sama). Namun, bukan hanya konsep gerai
saja yang membuat J.CO dianggap lebih unggul daripada Dunkin’Donuts. Kualitas jasa (tingkat pelayanan) J.CO juga dinilai
lebih baik daripada tingkat pelayanan Dunkin’Donuts.
Di samping itu, kualitas
produk dalam hal rasa dan bahan J.CO juga dinilai lebih baik dan lebih
berkualitas. J.CO dinilai lebih legit dan lebih lembut bagi para penikmat donut
dibandingkan dengan rasa Dunkin’ Donuts. Bahan-bahan yang digunakan juga dinilai
baik dan sehat. Misalnya, coklat putih Belgia, yoghurt dan susu bebas lemak,
biji kopi yang dikembangkan dari Brazil dan lain sebagainya yang memang dinilai
sebagai bahan-bahan yang berkualitas. Selain itu, teknologi mesin penggoreng
yang digunakan juga diimpor langsung dari Amerika Serikat.
Hal ini menunjukkan bahwa
perusahaan lokal juga mampu memiliki kualitas dalam hal produk, pelayanan,
maupun sistem manajemen yang tidak kalah dengan Perusahaan-Perusahaan
Multinasional. Ditambah lagi, perusahaan J.CO juga memiliki “wadah” komunitas
berupa J.CO Community dan jejaring sosial berupa facebook. Sehingga memudahkan
J.CO untuk menyalurkan info-info kepada para pelanggannya, baik berupa
launching gerai ataupun outlet baru, promosi produk, sampai dalam hal pelayanan
baru misalnya berupa Midnite Sale. Event-event ataupun
kegiatan-kegiatan yang diadakan perusahaan tersebut, biasanya juga
diinformasikan melalui sarana media tersebut. Hal ini membuat perusahaan J.CO
semakin dekat dengan para pelanggannya.
Tidak hanya memasarkan
produknya di dalam negeri (tingkat lokal) saja. J.CO Donuts & Coffee
Indonesia juga telah membuka cabang-cabangnya di negara-negara Asia
Tenggara.seperti Malaysia, Singapura dan Filipina. Di Malaysia sendiri, J.CO
Donuts & Coffee telah membuka gerainya di Kuala Lumpur dan Petaling Jaya,
Selangor—yang dianggap sebagai pusat kegiatan ekonomi Malaysia. Saat ini bahkan
J.CO dianggap sebagai waralaba resto Donut & Coffe yang laju pertumbuhannya
paling cepat di Asia Tenggara.
Fakta-fakta tersebut di atas
menunjukkan bahwa, perusahaan-perusahaan lokal terbukti juga tidak kalah
bersaing dengan Perusahaan-Perusahaan Multinasional yang berasal dari luar
negeri. Bisnis di bidang pangan berupa resto Donut & Coffe merupakan salah
satu contoh kemajuan yang dimiliki oleh usaha-usaha lokal. Masih banyak lagi
usaha-usaha lokal yang juga “memiliki nama” di tingkat regional bahkan global.
Misalnya saja perusahaan Mustika Ratu ataupun Sari Ayu yang merupakan produk di
bidang kecantikan. Hal ini tentunya juga menjadi pemicu bagi
perusahaan-perusahaan lokal lainnya untuk turut bersaing di era globalisasi
ini. Tidak selamanya Perusahaan Multinasional hanya dikuasai oleh negara-negara
ekonomi maju. Bahkan saat ini disebutkan bahwa para pelaku MNC dari
negara-negara ekonomi maju eksistensinya mulai terancam, karena mendapatkan
saingan yang cukup ketat dari negara-negara industri berkembang serta negara-negara berkembang
lainnya (new emergent forces).
Dewasa
ini kehadiran perusahaan-perusahaan multinasional di bidang ekonomi dan politik
dunia, terasa sangat mencolok. Perusahaan-perusahaan multinasional yang
“menancapkan kukunya” juga tentu saja memberikan implikasi kepada, saya sebut
sebagai, Negara yang di’ekspansi’nya, baik dampak positif maupun dampak
negatifnya. Dampak positif pertama
yang paling sering disebut-sebut sebagai sumbangan positif penanaman modal
asing ini adalah, peranannya dalam mengisi kekosongan atau kekurangan sumber
daya antara tingkat investasi yang ditargetkan dengan jumlah actual “tabungan
domestik” yang dapat dimobilisasikan. Dampak
positif kedua adalah, dengan memungut pajak atas keuntungan perusahaan
multinasional dan ikut serta secara financial dalam kegiatan-kegiatan mereka di
dalam negeri, pemerintah Negara-negara berkembang berharap bahwa mereka akan
dapat turut memobilisasikan sumber-sumber financial dalam rangka membiayai
proyek-proyek pembangunan secara lebih baik.
Dampak positif ketiga adalah, perusahaan multinasional tersebut
tidak hanya akan menyediakan sumber-sumber financial dan pabrik-pabrik baru
saja kepada Negara-negara miskin yang bertindak sebagai tuan rumah, akan tetapi
mereka juga menyediakan suatu “paket” sumber daya yang dibutuhkan bagi proses
pembangunan secara keseluruhan, termasuk juga pengalaman dan kecakapan
manajerial, kemampuan kewirausahaan, yang pada akhirnya nanti dapat
dimanifestasikan dan diajarkan kepada pengusaha-pengusaha domestic
Dampak positif keempat adalah, perusahaan multinasional juga berguna
untuk mendidik para manajer local agar mengetahui strategi dalam rangka membuat
relasi dengan bank-bank luar negeri, mencari alternative pasokan sumber daya,
serta memperluas jaringan-jaringan pemasaran sampai ke tingkat internasional. Dampak positif kelima adalah,
perusahaan multinasional akan membawa pengetahuan dan teknologi yang tentu saja
dinilai sangat maju dan maju oleh Negara berkembang mengenai proses produksi
sekaligus memperkenalkan mesin-mesin dan peralatan modern kepada Negara-negara
dun ia ketiga.
Selain
dampak positif yang telah dikatakan diatas, tentu saja dalam pelaksanaan
kegiatan ekonominya, perusahaan multinasional juga mempunyai dampak negatif
yang terjadi pada Negara tamu. Pada umumnya pasar yang menjadi sasaran
pemasaran perusahaan multinasional ini memang adalah Negara-negara yang
notabenenya adalah Negara-negara yang sedang berkembang atau Negara-negara
dunia ketiga. Hal ini mereka lakukan karena Negara-negara dunia ketiga ini
dinilai belum mempunyai perlindungan yang baik atau belum mempunyai “kekuatan”
yang cukup untuk menolak “kekuatan” daripada perusahaan-perusahaan raksasa
multinasional ini sehingga bukan tidak mungkin mereka bisa melakukan intervensi
terhadap pemerintahan yang dilangsungkan oleh Negara yang bersangkutan, atau
dengan kata lain Negara-negara ini
menghadapi dilema di mana sebagian besar negara terlalu lemah untuk menerapkan
prinsip aturan hukum, dan juga perusahaan-perusahaan raksasa ini sangat
kuat menjalankan kepentingan ekonomi untuk keuntungan mereka sendiri.
Kemudian
kita juga harus menyadari bahwa perusahaan-perusahaan
mutinasional ini tidak tertarik untuk menunjang usaha pembangunan suatu Negara.
Perhatian mereka hanya tertuju kepada upaya maksimalisasi keuntungan
atau tingkat hasil financial atas setiap sen modal yang mereka tanamkan.
Perusahaan-perusahaan multi nasional ini senantiasa mencari peluang ekonomi
yang paling menguntungkan, dan mereka tidak bisa diharapkan untuk memberi
perhatiam kepada soal-soal kemiskinan, ketimpangan pendapatan dan lonjakan
pengangguran. Pada umumnya, perusahaan-perusahaan multinasional hanya sedikit
memperkerjakan tenaga-tenaga setempat. Operasi mereka cenderung terpusat di
sector modern yang mampu menghasilkan keuntungan yang maksimal yaitu di daerah
perkotaan.
Selain
tidak bisa diharapkan untuk ikut membantu mengatasi masalah ketenagakerjaan di
Negara tuan rumah, mereka bahkan seringkali memberi pengaruh negative terhadap tingkat upah rata-rata, karena mereka
biasanya memberikan gaji dan aneka tunjangan kesejahteraan yang jauh lebih
tinggi ketimbang gaji gaji rata-rata kepada para karyawannya, baik itu yang
berasal dari Negara setempat atau yang didatangkan dari Negara-negara lain.
Di atas telah dikatakan bahwa keuatan mereka juga ditunjang oleh posisi
oligopolitik yang mereka genggam dalam perekonomian domestik atau bahkan
internasional pada sektor atau jenis-jenis produk yang mereka geluti. Hal ini
bertolak berlakang dari keyataan bahwa mereka cenderung beroperasi di
pasar-pasar yang dikuasai oleh beberapa penjual dan pembeli saja. Situasi
seperti ini memberi mereka kemampuan serta kesempatan yang sangat besar untuk
secara sepihak menentukan harga-harga dan laba yang mereka kehendaki,
bersekongkol dengan perusahaan lainnya dalam membagi daerah operasinya serta
sekaligus untuk mencegah atau membatasi masuknya perusahaan-perusahaan baru
yang nantinya dikhawatirkan akan menjadi saingan mereka.
Hal-hal
tersebut mereka upayakan dengan menggunakan kekuatan yang mereka miliki dalam
penguasaan teknologi-teknologi baru yang paling canggih dan efisien,
keahlian-keahlian khusus, diferensiasi produk, serta berbagai kegiatan
periklanan secara gencar dan besar-besaran untuk mempengaruhi, kalau perlu
mengubah, selera dan minat konsumen. Kemudian walaupun dampak-dampak awal
(berjangka awal) dari penanaman modal perusahaan multinasional memang dapat
memperbaiki posisi devisa Negara yang menerima mereka (Negara tuan rumah),
tetapi dalam jangka panjang dampak-dampaknya justru negatif, yakni dapat mengurangi penghasilan devisa itu, baik
dari sisi neraca transaksi berjalan maupun neraca modal. Neraca
transaksi berjalan bisa memburuk karena adanya impor besar-besaran atas
barang-barang setengah jadi dan barang modal oleh perusahaan multinasional itu,
dan hal tersebut masih diperburuk lagi oleh adanya pengiriman kembali
keuntungan hasil bunga, royalty, dan biaya-biaya jasa manajemen ke Negara
asalnya. Jadi praktis pihak Negara tuan rumah tidak memperoleh bagian
keuntungan yang adil dan wajar.
Selain
itu perusahaan-perusahaan multinasional berpotensi
besar untuk merusak perekonomian tuan rumah dengan cara menekan timbulnya
semangat bisnis para usahawan local, dan menggunakan tingkat penguasaan
pengetahuan teknologi mereka yang superior, jaringan hubungan luar negeri yang
luas dan tertata baik, keahlian dan agresivitas di bidang periklanan, serta
penguasaan atas berbagai berbagai jenis jasa pelengkap lainnya untuk mendorong
keluar setiap perusahaan local yang cukup potensial yang dianggap mengganggu
atau mengancam dalam kancah persaingan, dan sekaligus untuk menghalangi
munculnya perusahaan-perusahaan baru yang berpotensi untuk menjadi saingan
mereka. Perusahaan-perusahaan multinasional juga sering menggunakan kekuatan
ekonomi mereka untuk mempengaruhi, menyuap, dan memanipulasi berbagai kebijakan
pemerintah di Negara tuan rumah ke arah yang tidak menguntungkan bagi pembangunannya.
Dampak Negatif
Perusahaan Multinasional
Alasan utama banyaknya negara berhati-hati
sebelum mengizinkan operasi suatu perusahaan multinasional di negaranya adalah
dampak-dampak negatif yang mungkin ditimbulkannya. Salvatore paling tidak
menyebutkan 6 dampak ini di dalam bukunya,
Terhadap negara asal
- Hilangnya
sejumlah lapangan kerja domestik. Ini karena perusahaan multinasional
mengalihkan sebagian modal dan aktivitas bisnisnya ke luar negeri.
- Ekspor
teknologi, yang oleh sebagian pengamat, secara perlahan-lahan akan
melunturkan prioritas teknologi negara asal dan pada akhirnya mengancam
perekonomian negara bersangkutan.
- Kecenderungan
praktik pengalihan harga sehingga mengurangi pemasukan perpajakan
- Mempengaruhi
kebijakan moneter domestik.
Terhadap negara tuan rumah:
- Keengganan
cabang perusahaan multinasional untuk mengekspor suatu produk karena
negara tersebut bukan mitra dagang negara asalanya.
- Mempengaruhi
kebijakan moneter negara yang bersangkutan.
- Budaya
konsumsi yang dibawa perusahaan tersebut bisa mengubah budaya konsumsi
konsumen local dan pada akhirnya mematikan unit-unit usaha tradisional.
Dan tentu saja dampak-dampak lainnya masih
banyak mengingat masalah ini adalah masalah yang kompleks. Mulai dari politik
yang mempengaruhinya, belum lagi bidang lainnya yang mempengaruhi dan
dipengaruhi baik di bidang sosial, budaya, pendidikan dan sebagainya.
Selain dampak gaya hidup, dampak positif yang paling utama
adalah mengurangi angka pengangguran dan memberdayakan produktivitas sumber
daya manusia. Bagi mereka, hal ini menjadi sebuah kesempatan dalam meningkatkan
keterampilan mereka dalam bidang manajemen dan pemasaran ditambah lagi dengan
perluasan jaringan kerja. Sedangkan secara ekonomi, kehadiran dan keberadaan Dunkin Donut’s ini tidak mengancam
eksistensi industri dalam negeri. Terbukti sampai saat ini masih banyak para
penjual donut-donut lokal yang mulai menjual makanannya di berbagai tempat.
Seperti di pasar, sekolah, kantor, warung serta pedagang-pedagang keliling. Hal
ini membuktikan bahwa kehadiran perusahaan ini membuat eksistensi usaha donut
lokal yang ada tetap terjaga.
Selain itu, dampak dari kehadiran perusahaan ini yang paling
menarik dianalisis adalah menstimulus persaingan produk lokal didalam negeri,
dimana produk internasional ini tidak mematikan pasar dalam negeri, malah
sebaliknya produk internasional ini mampu menandingi kualitas ataupun pemasaran
perusahaan asing. Seperti halnya banyak para pemilik donut lokal yang
bermunculan di Indonesia ,dimana mereka berkreasi menciptakan sebuah inovasi
baru bagi produk yang mereka tawarkan. Contoh produk tersebut adalah Donut
J-CO, I-Crave ,Java Donut,dll. Mereka terbukti mampu merangsang pertumbuhan
perusahaan donut lokal yang ada. Bahkan perusahaan donut J-CO yang merupakan
perusahaan milik penata rambut terkenal yaitu Johnny Andrean dilihat mampu
menandingi Dunkin Donut’s dalam
segala hal, tentunya dalam hal kualitas produk yang banyak digemari masyarakat
Indonesia, seperti para remaja putra-putri maupun usia lanjut.
Selain perusahaan J-CO milik penata rambut Johnny Andrean,
masih banyak lagi industri lokal seperti halnya produk home industry yang
berlomba-lomba mengembangkan donut-donut dengan berciri khas unik dibandingkan
dengan donut lainnya. Mereka memulai sebuah inovasi baru dengan kemasan yang
menaraik dan kualitas kelezatannya terjamin. Sehingga produk mereka tidak kalah
tandingannya dengan donut-donut yang berada di mall-mall sekitarnya. Mereka
mencoba untuk menghasilkan kualitas terbaik dengan menciptakan harga yang cukup
ekonomis bagi masyarakat kalangan menengah ke bawah. Sehingga para penikmat
donut dari berbagai kalangan mampu membeli produk tersebut tanpa harus
mengeluarkan ongkos yang relatif mahal.
Hal tersebut merupakan sebuah terobosan baru bagi Indonesia
untuk dapat menjadikan hambatan menjadi sebuah peluang. Salah satunya dengan
eksistensi atau keberadaan multinasional yang dipandang negatif, mampu
dijadikan masyarakat Indonesia dipandang positif sebagai kesempatan yang
menguntungkan. Sehingga dengan berkembangnya perusahaan lokal ini, beberapa
manfaat yang dapat dipetik adalah dapat mengembangkan sumber daya manusia,
salah satunya dengan menciptakan lapangan kerja lebih banyak di dalam negeri,
menambah income perkapita, memberikan peluang maupun kesempatan bagi
pengusaha lokal untuk mengekspor produknya ke luar negeri, dan tentunya
memiliki prestise yang tinggi di kancah internasional. Seperti halnya
J-CO yang mulai memasarkan produknya ke berbagai negara, yaitu Filiphina,
Malaysia, Singapura dan negara-negara lainnya.
Disamping itu perusahaan lokal juga mampu memiliki
kualitas dalam hal pelayanan, maupun sistem manajemen yang tidak kalah menariknya dengan
perusahaan multinasional. Seperti halnya J-CO mulai
mengembangkan segi pemasarannya melalui media internet sebagai ajang jejaring
sosial yang banyak digemari masyarakat Indonesia. Beberapa varian produk,
berikut harga dan segmentasi pasarnya mulai dikembangkan melalui jejaring
sosial ini. Bahkan event-event yang sering diselenggarakan oleh perusahaan
lokal ini mampu meningkatkan penggemar donut di Indonesia. Hal tersebut dapat
dikatakan sebuah langkah yang baik bagi pengembangan produk dalam negeri dan
juga menunjukkan
bahwa perusahaan-perusahaan lokal terbukti tidak kalah bersaing dengan perusahaan multinasional
yang berasal dari luar negeri.
Kemudian, berkaitan dengan
fakta-fakta kasus yang telah dijelaskan diatas, penulis berusaha untuk
mengkaitkannya dengan teori sistem dunia yang dikemukakan oleh Wallerstain
dimana strategi dalam proses kenaikan kelas, akan terjadi dengan merebut
kesempatan kepada beberapa negara yang telah siap, seperti halnya Indonesia itu
sendiri mampu meraih kesempatan ini dengan lebih baik. Salah satunya dengan
munculnya produk makanan Dunkin Donuts ini sangat mempengaruhi pengusaha lokal
ke arah positif dalam berkreasi mengembangkan bisnisnya di dalam negeri. Tidak
hanya produk makanan seperti Dunkin Donuts, alat perangkat mesin canggih yang
digunakan Indonesia pun telah mulai dikembangkan sendiri. Mungkin pada awalnya
negara Indonesia mengimpor alat canggih teknologi dari luar negeri dalam
mengolah produknya.
Namun hal ini menjadi
kesempatan bagi Indonesia dengan mencoba untuk merakit kembali teknologi
tersebut, dengan membongkar komponen-komponen khusus yang ada di dalamanya.
Sehingga masyarakat akan lebih mempelajari lebih dalam terkait alat canggih
tersebut. Sehingga ketika alat canggih
tersebut mengalami kerusakan ataupun gangguan, mereka tidak perlu lagi membeli
mesin yang baru. Mereka bisa memperbaikinya sendiri karena telah mempelajari
mesin tersebut. Dari sini mereka bahkan bisa merakit dan memproduksi mesin
tersebut (produksi lokal) tanpa perlu membeli lagi dari luar. Hal ini mungkin
patut dicontoh sebagai usaha alih-alih transfer teknologi yang
dipromosikan sebagai keuntungan masuknya perusahaan asing.
2.6 Penanggulangan
Dampak Negatif Perusahaan Multinasional
Perusahaan
multinasional, seperti halnya perusahaan komersial lainnya akan tetap dan
selalu bersifat profit oriented. Disini akan timbul suatu masalah dalam
kaitannya dengan penanggulangan dampak negative perusahaan multinasional.
Program-program penanggulangan dampak negative, bisa dicontohkan asuransi
kesehatan pegawai, pajak lingkungan hidup (di luar negeri), jamsostek,
reservasi lingkungan, akan dianggap sebagai suatu inefisiensi karena sifat profit
orientednya tadi, dimana perusahaan berusaha mencari keuntungan yang
sebesar-besarnya sebagai bentuk pertanggungjawabannya terhadap shareholder.
Sehingga tidak akan tercapai titik temu antara tujuan perusahaan dengan tujuan
masyarakat. Disinilah pemerintah mengambil peranannya.
Namun,
tidak selamanya hal ini bisa dilakukan oleh pemerintah apalagi pemerintah yang
korup. Demi peningkatan usaha penanggulangan dampak negatif MNC, harus dicari
akar masalah dari hambatan atas penanggulangan ini. Ekonom dan peraih nobel,
Joseph E stiglitz dalam bukunya Making Globalization Works (2006) mengemukan 4
dilema yang dialami perusahaan sehingga mereka sebenarnya tidak mau melakukan
usaha penanggulangan dampak negatif atas aktivitas yang mereka lakukan.
- Sifatnya yang profit oriented, sebagaimana penjelasannya di atas.
- Kompetisi. Ini mengakibatkan
perusahaan harus melakukan operasi seefisien mungkin dengan cara
menghasilkan untung yang sebesar-besarnya dan menekan biaya dalam waktu
singkat agar dapat tetap survive. Dalam kondisi seperti ini, tentu
perusahaan akan menghindari segala biaya yang tidak esensial bagi operasi
seperti, misalkan biaya pembangunan rumah sakit bagi warga sekitar.
- Kekuatan ekonomi dan politik,
mengingat kekuatan peusahaan multinasional yang luar biasa secara ekonomi
dan politik, perusahaan semacam ini bisa saja “membeli” negara-negara yang
memang sedang membutuhkan modal dari mereka. Contohnya Freeport di Papua
dan Exxon di Aceh. Dilema akan terjadi karena semakin perusahaan ini
berperan dalam pembangunan sosial ekonomi semakin pembangunan ditentukan
oleh praktik-praktik untuk memenuhi interest dari perusahaan tersebut.
Misalnya Freeport memang membangun rumah-rumah sakit,jalan sekolah, tetapi
warga sekitar tetap mengeluh. Mereka mengeluh karena kenyataannya
fasilitas-fasilitas tersebut untuk melayani kepentingan pegawai dan staf
perusahaan saja.
- Kolusi perusahaan-pemerintah.
Perusahaan bisa melakukan lobi-lobi kepada para birokrat, baik daerah
maupun pusat untuk membuat undang-undang yang memenuhi interest dan
kebutuhan mereka. Tidak jarang biaya untuk melakukan lobi-lobi ini
melebihi biaya investasi lainnya. Perusahaan perminyakan seringkali
mengurangi biaya kompensasi dan konservasi alam dengan cara menyuap
pejabat publik. Lagipula kebijakan tersebut adalah banyak
dipengaruhi pejabat publik dan perusahaan saja, tetapi minim
partisipasi masyarakat sehingga tidak jarang mengabaikan hak-hak publik.
Contoh yang bagus adalah kasus Freeport di Indonesia, “Dalam 20 tahun
berikutnya, proses pemakaian tanah yang tidak transparan—dan pemindahan
paksa komunitas lokal—berlanjut pada 1995, anggota-anggota masyarakat
memahami untuk pertama kalinya bahwa, menurut sumber-sumber pemerintah,
mereka telah menyerahkan tanah-tanah ulayat di wilayah Timika (hampir 1
juta hektar) kepada pemerintah untuk penempatan transmigrasi, termasuk
kota Timika dan lokasi Freeport yang baru, Kuala Kencana.” (Aderito de
Jesus Soares, jurnal LIBERTASAUN V/2005)
Dari akar masalah di atas paling tidak bisa
dirumuskan 3 pendekatan dalam menanggulangi masalah di atas sebagai
berikut:
- Pendekatan hukum. Dilema perusahaan
akan profit oriented dapat dicegah melalui legislasi, dimana peraturan
perundang-undangan yang mengikat semua pihak akan menempatkan perusahaan
pada standar yang sama. Perusahaan yang berbisnis dengan standar tinggi
pasti akan menyambut baik hal ini. Perusahaan yang berbisnis dengan
standar tinggi, dalam menjalankan praktiknya akan memperhatikan etika
berbisnis (code of conduct). Peraturan dan legislasi akan melindungi
perusahaan tersebut terhadap kompetisi yang tidak fair dari
perusahaan yang tidak memenuhi standar yang sama. Pentingnya peraturan dan
hukum ini, seperti dikatakan oleh stiglitz, “tanpa tekanan peraturan
pemerintah dan masyarakat, korporasi enggan melindungi dampak lingkungan
secara memadai. Sejatinya mereka memiliki motivasi untuk merusak
lingkungan hidup jika hal tersebut dapat menyelamatkan uang mereka”
- Pendekatan sosial dan etika. Pendekatan
lainnya untuk menjamin pertanggungjawaban publik perusahaan multinasional
ialah melalui berbagai macam tekanan sosial dan etik masyarakat.
Paling tidak ada 4 kelompok yang dapat mengadakan presure antara lain,
konsumen, investor, pekerja dan LSM. Menurut Wegner-Tsukamoto, kelompok
ini dapat menciptakan apa yang disebut “ethical capital” yang artinya
nilai yang merasuki empat kelompok tadi untuk melakukan gerakan moral
secara aktif. Contoh nyatanya adalah boikot yang dilakukan Gandhi, tentu
saja diikuti pengikutnya, atas perusahaan kapas kolonialis Inggris di
India, kemudian boikot partai solidaritas buruh di Glasgow atas perusahaan
galangan kapal. Kemudian, contoh dari LSM yang memberikan tekanan adalah
yang sering didengar tentang kampanye “blood diamond” di Sierra atau
“Dirty Oil” di Nigeria yang cukup efektif menarik perhatian dunia sehingga
perusahaan multinasional yang bersangkutan tidak bisa seenaknya sendiri.
Kasus di Indonesia yang terkenal adalah kasus Freeport di mana LSM
bentukan masyarakat/ suku lokal bernama LEMASA (Lembaga Masyaraka
Adat Komoro) mengajukan gugatannya di pengadilan New Orleans, kota
dimana kantor pusat Freeport berada.
- Rahmad Paul, master pada
Conflict Transformation di Center for Justice and Peacebuilding Eastern Mennonite
University, US menyarankan pendekatan melalui transformasi konflik.
Konflik itu seperti pedang bermata dua, di satu sisi bisa menghambat
tetapi jika dikelola dengan baik dapat menjadikannya sesuatu yang
konstruktif. Kalau dinamika konflik dikelola secara tepat akan berdampak
pada perubahan sosial yang transformative dan significant bagi kepentingan
rakyat banyak. Negosiasi dan mediasi konflik merupakan cara pendekatan
yang berprinsip pada nonkekerasan dan dialog untuk mengakomodasi
kepentingan semua pihak yang bertikai. Para pihak yang berkonflikperlu
duduk bersama dan setara di meja perundingan negosiasi guna mencari titik
temu dan menjembatani perbedaan persepsi dan kepentingan dan secara
bersama-sama membangun consensus yang membangun dan mengakomodasi semua
pihak.
Adapun Nopirin, Ph.D dalam bukunya
ekonomi internasional jilid 3 mengungkapkan setidaknya ada 5 cara dalam
hal pengaturan perusahaan multinasional demi penghindaran efek buruk yang
mungkin terjadi:
- Pengaturan tentang masuknya MNC. Pengaturan
meliputi penilaian tentang kemungkinan efek suatu perusahaan multinasional
di masa yang akan datang terhadap politik dan ekonomi negara yang
bersangkutan. Jika penilaian ini menunjukkan kemungkinan yang sangat buruk
atau dengan kata lain kerugiannya lebih besar daripada keuntungannya, maka
perusahaan multinasional tersebut ditolak kehadirannya.
- Penentuan sektor-sektor tertentu
yang sudah tertutup untuk investasi asing atau penentuan pemilikan,
sehingga memberi peluang pada wiraswasta local untuk ikut melakukan
kegiatan atau mengambil keputusan.
- Negara penerima dapat mengatur
kegiatan perusahaan multinasional dengan cara membatasi bahan yang
diimpor, penentuan harga produk, pengaturan tentang kredit, pemilikan
serta pengaturan tentang efeknya terhadap lingkungan.
- Negara penerima melakukan
pengaturan tentang keuntungan yang boleh dikirimkan kembali ke negara
induk.
- Negara penerima dapat melakukan
nasionalisasi perusahaan multinasional. Biasanya ini adalah tindakan
terakhir yang dilakukan suatu negara dan harus dipertimbangkan secara
hati-hati karena hal ini dapat melenyapkan minat investor untuk
berinvestasi di masa-masa yang akan datang.
Pada kenyataannya, memang suatu negara
tidak akan membiarkan perusahaan multinasional untuk sertamerta masuk dan
beroperasi di wilayahnya. Akan banyak terdapat pembatasan-pembatasan. Negara
Kanada misalnya, saat ini menerapkan tingkat pajak yang lebih tinggi terhadap
anak atau cabang perusahaan asing, termasuk perusahaan patungan, dengan jumlah
saham yang dikuasai warga Kanada kurang dari 25%. India secara ketat membatasi
sector-sektor industry yang boleh menerima penanaman modal asing secara
langsung. Beberapa negara berkembang bahkan tidak memperbolehkan perusahaan
yang sahamnya dikuasai 100% oleh pihak asing.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dewasa ini pertumbuhan Perusahaan
Multinasional (Multinational Corporations)
semakin berkembang pesat. Eksistensi Multinational Corporations (selanjutnya
disebut MNC)sendiri sudah ada sejak lama, bahkan sejak sebelum Perang Dunia I
dimulai. Sejak
awal kehadirannya, hingga pertengahan tahun 1980an MNC sudah
tumbuh berkali-kali lipat lebih cepat dibandingkan pertumbuhan perdagangan
dunia. MNC memiliki
jenis-jenis yang beragam, mulai dari perusahaan eksplorasi tambang migas dan
mineral, perusahaan-perusahaan manufaktur, hingga ke bidang pendidikan serta
gerai-gerai pangan seperti kafe. Salah satu Perusahaan Multinasional yang
bergerak di bidang kafe ataupun gerai-gerai pangan adalah Dunkin’ Donuts, atau
yang lebih akrab disingkat dengan sebutan DD.
Meskipun demikian, Dunkin’ Donuts-lah
yang dinilai paling berhasil dalam meluaskan jaringan pasarnya di Indonesia,
bahkan di dunia. Dunkin’ Donuts telah berhasil membuka lebih dari 8.800
gerai donatnya di lebih dari 35 negara di berbagai benua. Di Indonesia
sendiri Dunkin’ Donuts telah membuka 200 gerai lebih di kota-kota besar di
seluruh Indonesia, seperti Medan, Yogyakarta, Bandung, Bali, Surabaya,
Makassar, Jakarta, dan kota-kota lainnya di Indonesia. Dunkin’Donuts telah berhasil menjadi model dalam hal pelayanan
serta konsep gerai yang dimilikinya. Bahkan Dunkin’Donuts
terkadang dianggap sebagai bayang-bayang bagi perusahaan donut lainnya.
Di Jogjakarta, Dunkin’ Donuts telah merambah ke mall-mall, swalayan serba ada,
jalan-jalan di malioboro, hingga ke bookstore-bookstore seperti Gramedia.
Dunkin’ Donuts sendiri mulai masuk ke
Indonesia pada tahun 1985, dengan gerai pertamanya di Jl. Hayam Wuruk, Jakarta
Pusat.
Sebenarnya, Dunkin’ Donuts bukan merupakan perusahaan donut multinasional
pertama yang masuk ke Indonesia. Di tahun 1968, American Donut merupakan
perintis donat pertama yang digoreng dengan mesin otomatis di Pekan Raya
Jakarta. Selain membuka gerainya di pekan raya, American Donut juga
membuka gerainya di berbagai tempat di Jakarta. Selain itu, masih ada
perusahaan-perusahaan multinasional donut lainnya yang juga berusaha
mengimbangi gerak Dunkin’ Donuts, seperti Country Style Donuts asal Kanada,
Donuts Xpress asal Australia, Krispy Kreme yang juga berasal dari AS, serta
masih banyak lagi perusahaan-perusahaan donut lainnya.
Kembali kepada isu mengenai MNC yang
mengundang banyak polemik dari berbagai kalangan, terutama mengenai
kehadirannya di Negara-Negara Dunia Ketiga. Perusahaan-perusahaan Multinasional
dianggap sebagai ancaman bagi usaha-usaha lokal di negara tempat ia berada.
Namun, meskipun demikian, pemerintah negara-negara tersebut tetap saja saling
berlomba-lomba (bidding wars) untuk
menarik investor agar mau menanamkan modalnya di negara mereka dalam bentuk Foreign Direct Investment.Kehadiran
MNC terkadang
memang membawa keuntungan dan kerugian. Hal inilah yang menjadi perdebatan
antara pihak-pihak yang pro dan kontra atas kehadiran Perusahaan Multinasional
di negara mereka.
Pihak yang kontra berpendapat bahwa
Perusahaan Multinasional dalam praktiknya membawa lebih banyak kerugian
daripada keuntungan bagi negara mereka. Salah satu isu yang paling
kontroversial mengenai kehadiran MNC—terutama di negara-negara
berkembang—adalah isu mengenai outsourcing. Selain itu, terkadang kedaulatan nasioal juga tergadaikan
dengan adanya upaya MNC untuk masuk ke dalam negara tersebut. Upaya alih
teknologi yang pada mulanya diisukan sebagai keunggulan dari masuknya
perusahaan multinasional di negara-negara berkembang ternyata tidak terbukti.
Di samping itu, masih banyak lagi reaksi-reaksi negatif lainnya yang
bermunculan akibat masuknya perusahaan multinasional di negara-negara dunia
ketiga.
Namun, terkadang orang menjadi lupa
bahwa kehadiran Perusahaan Multinasional sebenarnya tidak hanya membawa dampak
yang negatif saja bagi negara penerima. Selain membawa modal asing dan
pemasukan berupa pajak, MNC sebenarnya juga membawa dampak positif lainnya.
Perbincangan mengenai MNC tidak akan berkembang jika hanya mengenai dampak
negatif yang dibawa oleh MNC saja. Kehadiran MNC sebenarnya bisa menjadi
stimulus bagi berkembangnya usaha-usaha lokal sejenis yang ada bagi negara
penerima. Salah satu contoh kasus yang disajikan dalam tulisan ini adalah
kehadiran Dunkin’Donuts yang memacu
hadirnya usaha-usaha donut lokal seperti J.CO, I-Crave, Java Donut, dan lain
sebagainya.
Secara sosial, pengaruh yang dibawa
oleh perusahaan Dunkin’Donuts tidak
membawa dampak yang signifikan bagi pola kehidupan masyarakat. Ada yang
berpendapat bahwa kehadiran MNC dapat mengubah pola hidup
masyarakat menjadi lebih konsumtif.
Masyarakat dinilai akan saling
berlomba-lomba dalam menggunakan (mengonsumsi) produk dari Perusahaan
Multinasional tersebut untuk menunjukkan strata sosial mereka dalam kehidupan
bermasyarakat. Namun, dalam hal ini tidak terjadi demikian. Sebelum kehadiran Dunkin’Donuts sendiri (tahun 1985),
sudah ada American Donuts yang masuk terlebih dahulu pada tahun 1968.
Sementara, donuts sendiri bukanlah suatu produk makanan yang baru. Ia sudah ada
dan populer di tengah-tengah masyarakat sama seperti halnya roti.
Sedangkan mengenai isu
outsourcing—yang juga dinilai akan memberikan kontribusi bagi peningkatan
jumlah penduduk perumahan kumuh di daerah perkotaan tidak berlaku bagi kehadiran perusahaan ini. Produksi donut yang
dihasilkan dari perusahaan ini menggunakan teknologi mesin penggoreng otomatis.
Sehingga, tenaga manusia yang digunakan lebih banyak bergerak di bidang
Manajemen dan Pelayanan. Hal ini justru membawa dampak yang positif bagi
masyarakat, yaitu yang paling pokok adalahmengurangi angka pengangguran dan memberdayakan produktivitas sumber daya
manusia. Selain itu, bagi masyarakat pribadi, hal ini
dapat meningkatkan keterampilan mereka dalam bidang manajemen dan pemasaran
ditambah lagi dengan perluasan jaringan kerja (work networking).
Sedangkan
secara ekonomi, kehadiran dan keberadaan Dunkin’Donuts
tidak sampai mengancam eksistensi (keberadaan) usaha-usaha donut lokal yang
ada. Buktinya saja sampai saat ini kita masih menjumpai penjual-penjual yang
menjajakan donut buatan industri rumah tangga ataupun industri kecil. Baik di
pasar-pasar tradisional, sekolah-sekolah maupun kantor, warung, serta
pedagang-pedagang keliling. Kehadiran Dunkin’Donuts
dianggap sebagai salah satu varian dari jenis-jenis donut yang ada. Selain itu,
adanya segmentasi pasar tersendiri dari Dunkin’ Donut, membuat eksistensi
usaha-usaha donut lokal yang ada tetap terjaga.
Di
samping itu, saat ini pun sudah mulai banyak perusahaan-perusahaan donut lokal
yang mampu menghasilkan produk-produk donut berkualitas. Bahkan sebagian dari
mereka sudah mempunyai nama ataupun membuka gerai berkonsep resto donut dan
kopi seperti halnya Dunkin’Donuts.
Sebut saja donut I-Crave, Java Donut, J.CO, Donut Oishii, Mister Donut, dan
lain sebagainya. Donut-donut lokal ini juga tidak kalah digemarinya oleh para
penikmat donut. Sebuah polling dalam sebuah situs internet baru-baru ini
dilakukan untuk mengetahui tingkat kegemaran para penikmat donut terhadap rasa
dari jenis-jenis donut yang ada, baik lokal maupun yang dari luar.
3.2 Kritik dan
Saran
Demikian yang
dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah
ini tentang “Perusahaan
Frienchise Dunkin Donut’s”, tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau
referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini. Penulis banyak berharap para pembaca
memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya
makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya.
Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca pada
umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2006. Perusahaan Multinasional dan
Dampaknya. Desember 2006.
(online),
(http://sigitbim.blogspot.com/),
diakses 31 Maret 2014
(online), (http://adinugroho5.wordpress.com/2010/11/18/dampak-dampak-negative-perusahaan-multinasional-mnc-serta-penanggulangannya/),
diakses 31 Maret 2014
(online), (http://venom97.blogspot.com/2011/08/sejarah-berdirinya-dunkin-donuts.html),
diakses 5 April 2014
(online),
(http://dharrlinkknounaamatic.blogspot.com/2011/12/pengertian-perusahaan-multinasional-dan.html),
diakses 5 April 2014
(on-line), (http://kabarfebri.blogspot.com/2012/06/pengaruh-kehadiran-perusahaan.html), diakses
31 Maret 2014
(online), (http://blog.pasca.gunadarma.ac.id/2012/11/07/perusahaan-multinasional/),
diakses 31 Maret 2014
(online),
(http://tau-sejarah.blogspot.com/2013/03/sejarah-berdirinya-dunkin-donuts.html), diakses
31 Maret 2014
(online),
(http://www.eprints.uny.ac.id),
diakses 5 April 2014