Sunday, November 19, 2017

Cerpen : Qadarullah Perihal Jodoh (Part Cowok)

“Bu, malam ini kita makan malam di luar ya. Boleh ajak teman, bu? Tapi cewek.”

Kegugupan sedikit menghampiri ketika kalimat tersebut terlontar dimulutku. Mungkin, ini kali pertama aku membicarakan hal ini kepada orang tua terutama ibu yang kebetulan kala itu sedang di Bandung bersamaku. Ibu menemaniku beberapa hari sebelum keberangkatanku ke Amerika untuk melakukan kunjungan kerja. 

Itulah kali pertama dirinya jumpa ibuku. Dia sedikit gugup tapi aku berusaha membuatnya tetap rileks saat komunikasi dengan ibu. Satu masalah yang kuhadapi saat itu hanyalah kendala bahasa. Ibu sangat pemalu ketika kusarankan berbahasa Indonesia, hingga seringkali harus ditranslate agar dirinya paham apa yang dimaksud ibu.

Pertemuan malam ini berakhir dengan sangat baik. Kulihat ibu menyukainya. Syukurlah. Jadi, setidaknya aku bisa melangkah maju untuk ke tahap selanjutnya. Jujur saja, usiaku saat ini sudah sangat mapan untuk membina rumah tangga. Ditambah lagi pertanyaan ayah yang kerapkali menghantuiku. Sudah banyak perempuan yang ditawarkan kepadaku, hanya saja saat itu aku belum  menemukan yang cocok dan sesuai dengan pilihanku. Mungkin, dirinya satu-satu wanita yang bisa mencapai hatiku.
…..
Lebaran tahun ini aku berniat untuk membicarakan perihal wanita tersebut ke ayah agar beliau tidak risau lagi dengan kehidupanku selama single di Bandung. Beliau memang sangat prihatin dengan kondisiku yang tiap pulang rumah tidak ada yang menyambut, tidak ada yang membantuku memasak dan hal-hal lain. Beliau sangat tahu bahwa pekerjaan kantor kerapkali membuatku sering lembur hingga pulang dalam keadaan letih. Tentunya, ayah berharap jika saat pulang sudah ada yang menyambutku.

“Ayah, aku berniat menikahi seorang wanita.”

“MasyaAllah. Benarkan nak? Orang mana?”

“Orang Bogor, yah.”

Sesaat ayah terdiam lalu melanjutkan pembicaraannya.

“Kapan kita bisa jumpa keluarganya?”

“Agus masih menunggu kepastian dari dia, yah. Segera mungkin akan Agus kabari ke Ayah.”

Tampak sedikit keraguan diwajah ayah saat kumengatakan asal sang wanita. Tapi, cepat-cepat kutepis perasaan curiga tersebut. Ibu sudah menyetujuinya sebab bagi beliau jika sang wanita baik dan shaleha maka tidak ada masalah sama sekali.
….
Waktu semakin berlalu, namun lagi-lagi sang wanita menyuruhku untuk menunggu. Aku sendiri tidak pernah tahu sampai kapan aku harus menunggu kepastian dari dia. Sementara itu, keluargaku sudah seringkali menanyakan kejelasannya agar  mereka bisa segera ke rumah keluarga sang wanita.

Saat itu, semua keputusan kuserahkan kepada Allah. Aku lebih mendekatkan diri kepada-Nya agar Dia segera mempertemukan dengan jodohku. Sudah lelah rasanya melakukan berbagai pertemuan dengan seseorang yang sekiranya bisa membuat hatiku condong kepadanya. Saat sudah menemukannya, malah Allah lagi-lagi menyuruhku untuk bersabar.

Hubunganku dengan sang wanita masih baik-baik saja. Komunikasi kami masih berjalan hingga idul adha menghampiri. Idul adha tahun ini kusempatkan untuk pulang kampung karena kondisi ayah yang lagi-lagi ambruk. Penyakit ayah memang sering kambuh, makanya tahun ini kusempatkan untuk melihat keadaannya.

“Bagaimana dengan dia, nak?”

“Sabar ya, ayah. Dia masih menunggu keputusan dari keluarganya, yah.”

Sebisa mungkin aku berusaha menenangkan hati ayah agar tidak terbebani dengan permasalahan yang kuhadapi.

Sebulan kemudian, komunikasiku dengan dirinya benar-benar tidak seperti dulu lagi. Aku sendiri tidak tahu penyebabnya. Saat kutanyai apa yang salah dengan sikapku, dia hanya mengatakan bahwa tidak terjadi apa-apa. Semua baik-baik saja.

Aku tahu bahwa dia berbohong. Aku tahu bahwa keadaan baik-baik saja. Tapi, dia tidak pernah memberikan alasan yang membuatku bisa menerima perlakukannya kepadaku. Saat itu, aku benar-benar sudah pasrah untuk menemukan calon pendamping hidupku. aku mengadukan semua yang kurasakan kepada Allah dan kuceritakan kepada ibu. Syukurlah beliau seorang wanita yang sangat tegar dan selalu memberikanku semangat.

“Berarti Allah akan mempertemukanmu dengan yang lebih baik, nak. Percayalah bahwa doa ibu selalu menyertaimu.”
Sebulan kemudian, lagi-lagi aku pulang kampung untuk melihat keadaan ayah yang ambruk. Tampaknya akhir-akhir ini keadaan ayah sangat tidak stabil. Mungkin, hal ini juga karena memikirkan diriku. Sungguh aku merasa bersalah kepada ayah yang sampai sekarang masih menyusahkan dirinya. Namun, ada kisah yang Allah ciptakan untukku saat kepulanganku kali ini.

“Agus, coba makan siang sama abang di Rumah Makan ya.”

Entah kenapa siang itu abang minta ditemankan makan siang. Tapi, karena sedang senggang, maka kusempatkan untuk menerima ajakannya. Tapi rupanya, abang bohong sebab tak lama kemudian ada seorang wanita yang datang menghampiri kami.

Rupanya inilah maksud abang untuk menyuruhku makan bersamanya. Ada usah dibalik bakwan. Aku hanya diam sebab diriku memang pribadi yang agak tertutup dan tak terbiasa berakrab ria dengan orang yang baru kukenal. Mungkin, saat itu handphone adalah pilihanku untuk tetap stay cool.
Sesampainya di rumah, tiba-tiba abang mengirimi pesan.

“Agus, bagaimana dengan wanita tadi? “InsyaAllah dia baik.”

Pertanyaan abangku sempat membuatku kaget. Tidak langsung kujawab. Aku meminta waktu untuk memikirkannya sebab masih ada trauma ketika sebulan lalu dirikku harus menerima kepahitan dari seseorang yang hendak kulamar.

“Kapan balek Bandung?”

“Dua hari lagi insyaAllah.”

“Pikirlah dalam waktu sesingkat itu ya. Minta sama Allah agar diberi petunjuk.”

Maka, aku semakin lekat dengan-Nya. Aku benar-benar minta petunjuk dari Allah mengenai seseorang yang hendak abang kenalkan kepadaku. Maka, Allah menggerakkan hatiku mencoba menemuinya kembali. Maka, sesegera mungkin aku menghubungi abang agar bisa dipertemukan kembali dengannya. Namun, kali ini dengan persiapan mental yang lebih bagus agar aku bisa sedikit mengenalnya.
Seminggu sudah pertemuan tersebut terjadi. aku tidak tau takdir seperti apa yang akan kami alami, namun dalam menemukan pendamping hidup, maka usaha kita harus ekstra sembari berdoa agar Allah berikan yang terbaik. Tak lama kemudian, pesan darinya menghiasi layar handphone.

“Abang, bisa abang jumpa keluarga adek? Papa ingin berjumpa dengan abang.”

Mungkin, Allahlah yang menguatkanku hingga dengan gagah kujawab bahwa aku siap menjumpai keluarganya. Maka, dua minggu kemudian aku kembali pulang kampung karena kebetulan keluarganya tetanggaan dengan rumahku. Malam itu, keluarga kedua belah pihak dipertemukan. Aku sempat deg-degan ketika pertanyaan tersebut diajukan.

“Nak Agus, apakah serius dengan anak saya?”

“InsyaAllah pak.”
….
Allah sudah mengatur sebaik-baiknya suatu episode kehidupan yang kita jalani. Aku tak pernah menyangka bahwa perkenalan selama seminggu saja bisa membawaku pada suatu pernikahan yang telah lama kuimpikan. Bahkan, aku sendiri tidak pernah menyangka dia adalah wanita yang selama ini menjadi tetanggaku. Rencana Allah memang selalu indah.






Saturday, November 18, 2017

Cerpen : Cinta Tak Musti Bersama (Part III)

Sekarang kami menjalani kisah masing-masing. Mungkin dalam ceritaku tidak ada yang bahagia, hanya kesediahanlah yang tersisa. Mungkin dalam kehidupan cintaku banyak kebodohan yang telah diperbuat. Aku menyadarinya setelah menjalani semuanya. Walau aku telah menyadari cintaku pada Paji hanya sebuah pemaksaan atau buruknya cinta palsu, Rehan yang ternyata menyukai, aku yang belum melupakan Rehan tapi terlanjur kecewa, kami semua tidak bahagia. Aku dan Rehan lebih memilih untuk tetap berteman. Karena kami tidak ingin menyakiti siapa-siapa lagi. Kalau seandainya kami jodohpun, Allah pasti akan menyatukan kami nantinya.
...
“yosh…aku bisa!” hal itulah yang kutanamkan hingga bisa bertahan sampai pada tahap ini. Sejuurnya pada saat ini, aku merasakan kekosongan yang luar biasa. Atau malah lebih tepatnya semangat hidup yang mulai memudar. Benar-benar tak dapat dipendam. Namun rasa ini begitu sulit untuk menjauh. Kenapa? Kenapa aku harus mengalaminya? Jika aku mencari jawabannya maka hanya kepedihanlah yang akan kuperoleh. Aku tak akan pernah mampu untuk bergerak, tak akan pernah maju.
“Niki, kita belajar bersama ya?” sms itu tiba-tiba membuyarkan lamunanku. Riko itulah nama sang pengirim sms tersebut. Dia temannya Rehan.

“boleh, tapi kapan dan dimana?”

“kita dirumah Rehan saja, dikost-an Niki kan tidak diperbolehkan cowok bertamu.”

Aku sempat terdiam sejenak, hatiku masih belum sanggup. Tapi karena aku telah bertekad untuk melaluinya, maka aku yakin aku bisa.

“baiklah, kita belajar malam minggu ya, Ko” kata-kata itu mengakhiri sms kami.

Sesungguhnya aku cukup senang dengan ajakan tersebut. Kenapa tidak? setelah sekian lama akhirnya aku akan berjumpa lagi dengan Rehan. Hatiku bercampur aduk, senang, takut, gugup. Semuanya kurasakan.

Malam minggu…

“maaf Ko, Niki punya masalah sama motornya. Bagaimana ini? Riko bisa jemput Niki?

“baiklah, kasih tahu alamat rumahnya ya”

Sebenarnya aku ingin Rehan yang menjemput. Namun karena Riko sudah duluan menelpon, jadis ecara reflex aku mengatakan masalah pada motorku.

“Han, bisa ngantar Niki ketempat Gea?” smsku untuk memastikannya.

“bukannya Rehan nggak mau, Ki. Hanya saja Rehan barusan dari tempat Riko, jadi Rehan segan sama dia. Ntar dia merasa tersinggung pula.”

Aku mengerti dengan kesetiakawanan Rehan.

“kalau gitu, anter pulang aja ya?” setengah memaksa. Kenapa aku bersikeras meminta dia mengantar? Karena dia pernah memarahiku soal antar-jemput dengan sembarang cowok. Dia takut terjadi apa-apa denganku. Walau dia bukan siapa-siapa tapi tetap mengkhawatirkanku.

Begitulah akhirnya malam minggu kali ini kulewati dengan belajar bersama Riko.  Yaah, walau ada beberapa orang yang menjadi pengganggu dan tukang ribut.

Dan yang mengantarku pulang pada malam itu tentu saja seperti sebelumnya yang kupinta. Namun, saat itu Rehan pergi keluar sama temannya, dan dia menyuruhku untuk menunggunya. Aku sempat kesal karena terlalu malam untuk balik ke kostan. Tapi untungnya tak lama setelah itu Rehan kembali dan akupun pulang kekostan juga pada malam itu.

Beberapa hari kemudian, hubungan dan Rehan berjalan seperti biasa. Tidak ada yang special terjadi antara kami. Yaaa, kami hanyalah sebatas teman.

Pada suatu hari, aku punya masalah yang membuatku ingin mendiskusikannya dengan Rehan. Tanpa piker panjang akupun langsung menuju ruma dia. Sesampainya disana, kebetulan dia mau pergi main futsal, dan akupun diajaknya. Aku sempat diolok-olok sewaktu jumpa sama teman-temannya. Tapi entah kenapa untuk kali ini aku sama sekali tidak merasakan apapun. 

Disana, aku hanya menjadi penonton sejati, namun untung saja ada teman ngobrol. Jadi aku tidak merasa kesepian. Sesungguhnya pada malam itu Rehan perhatian seperti biasa, namun lagi-lagi aku tak merasakan apa-apa atas perhatiannya. Aku sendiri bingung.

Akhirnya pada malam itu, aku pulang begitu saja tanpa sempat mengatakan apapun. sesampainya dirumah, aku mengirim pesan, karena aku merasa ada ganjalan dihati ini jika tak diungkapkan.

Bersambung

Cerpen : Cinta Tak Musti Bersama (Part I)

Kehidupan ini benar-benar sesuatu yang tidak terduga. Kenapa demikian? Kita tidak pernah tahu kapan kita akan bahagia, kapan kita akan mendapatkan kesedihan, semuanya benar-benar tidak kita ketahui. Sesunggunya aku bukanlah orang yang pandai dalam merangkai kata-kata. Apa yang aku pikirkan dan aku rasakan, semuanya diungkapkan dengan kata-kata yang begitu sederhana tanpa harus merangkai sebuah kalimat yang bermakna dalam. kehidupan yang aku lalui tak obahnya dengan setiap untaian kalimat yang keluar dari mulut ini. Aku merasa seperti itu sebenarnya, tapi kenyataan berkata lain. Kisah cintaku bisa dikatakan menyedihkan karena pertama kalinya aku alami, walau mungkin saja orang lain telah terlebih dahulu merasakannya. Jujur saja bingung untuk mengatakannya, tapi aku merasa sangat sangat sedih.

Berikut segenlintir kisah yang dituangkan dalam bentuk cerpen.

“bagaimana scorenya?” kataku.

“yaaah, kelas Gea kalah, Ki.” Katanya dengan nada lesu. Gea adalah sahabatku semenjak SMA, sekarang dia kuliah di universitas yang berbeda denganku. Sempat sedih mendengar perpisahan ini, tapi setidaknya kami masih berada dikota yang sama. Itu sudah cukup menghiburku.

“ya uda, kita pulang lagi yuk, bosan juga kalau nungguin orang-orang ini pulang.” Katanya sembari mengajakku pulang.

“ha? Niki pulang sama siapa? Niki kan tidak bawa motor.”

Maka Geapun menghampiri temannya yang kebetulan tidak membonceng orang lain.

“pulang sama Rehan ya? Kebetulan dia sendiri.” Sembari memperkenalkan Rehan padaku.

Itulah awal pertemuaku dengan seseorang yang nantinya akan membawa kisah tersendiri untukku. Aku benar-benar tidak menyangka awal pertemuan ini menjadi kesedihan seumur hidupku. Kemudian kamipun pulang bersama. Aku yang biasanya begitu ceria, cerewet, sesaat hanya diam terpaku dibangku belakang. Tak banyak kata yang keluar. hanya menikmati semilir angin yang menerpa kami.
….
Beberapa minggu kemudian…

“Niki nggak ada komunikasi lagi sama Rehan?” Tanya Gea tiba-tiba yang tentu saja membuatku terkejut.

“loh? Ada apa Gea? Kok tiba-tiba?” tanyaku terheran-heran.

“houh…Gea kira Niki udah berteman sama dia.”

Sesungguhnya setelah kejadian kemarin kita tidak pernah berkomunikasi lagi, karena aku tidak sendiri awalnya memang tidak tertarik. Bukan berarti tidak tertarik sama Rehannya, tetapi memang tidak ada niat untuk dekat dengan siapapun.

Sebenarnya sewaktu aku bermalam ditempat Gea dia sempat main bareng temannya, tetapi aku menanggapi biasa saja. Tidak ada yang special dengan pertemuan itu. Suatu malam, teman-teman cowok Gea, si Paji dan  Seno datang untuk belajar bersama atau lebih tepatnya nyontek pr. Tak lama kemudian, si Rehan juga datang. Aku sebenarnya sudah kenal Paji, walau tidak dekat sewaktu kami SD dulu. Nah, karena kejadian inilah, aku sempat membuat kehebohan lantaran candaanku yang kelewat batas, yang ujung-ujungnya aku harus minta maaf sama mereka bertiga. Awalnya aku minta nomor ketiga orang ini melalui Gea. Tentu saja aku utarakan tujuanku sebenarnya.

Semenak itulah aku mulai sering sms-an dengan Rehan. Memang pada awalnya aku yang mulai duluan, namun lambat laun dia mulai yang duluan sms aku. Perasaanku pada saat itu mungkin senang, malahan kelewat senang. Karena aku mulai tertarik pada dia.
….
“ya Ampun, bagaimana ini? Niki harus nonton parade tari yang diadain sanggar malam ini. Gea mau menemani, Niki?” pintaku sambil memelas

“kenapa tidak sama Rehan saja?” jawabnya sembari menggodaku.

“tapi…”

“udah. Sms aja dia. Dia pasti mau.”

Akupun mengirim pesan singkat, dan aku bersyukur ternyata dia menyanggupinya. Kemudia kamipun pergi melihat parade tari tersebut. Semenjak kejadian itu, mungkin hanya perasaanku saja, kami mulai semakin dekat. Bahkan dia memintaku untuk membangunkannya sholat subuh.

Dari hari ke hari, kami mulai diejek oleh teman-temannya. Aku sebenarnya senang tapi terkadang perasaan malu juga bercampur.

“Gea yakin si Rehan suka Niki” katanya tiba-tiba

“ah, jangan berpikiran yang tidak-tidak, Gea”

“hmm…nggak percaya anak ini”

Aku sebenarnya dengan mungkin tingkat percaya diri yang melebihi batas, meyakini kalau dia juga suka. Tapi buru-buru menepisnya. Kemudian ejekan dan godaan lainnya semakin menghantui. Bahkan salah seorang saudara jauh Rehan mengatakan kalau dia benar-benar suka padaku. Tentu saja sebagai cewek tak dapat aku pungkiri kalau aku senang karena cintaku tak bertepuk sebelah tangan.



“baiklah nanti akan aku pastikan kepada dia” tekadku bulat.

Tapi tahukah kalian apa yang terjadi? Aku hanya dianggap teman semata, tak lebih. Aku sedih, sangat sedih. Bahkan menganggap dia sebagai cowok yang suka memberi harapan palsu. Aku kesal sama Rehan tapi aku tak bisa membencinya. Aku tak bisa melupakan perasaan ini. Sebenarnya aku akan terus bertahan dengan perasaan seperti ini, tapi kenyataan berkata lain. Dia mulai menjauh dan bahkan cuek kepadaku. Betapa bertambahnya kesedihanku pada saat  itu.

Bersambung...

Cerpen : Cinta Tak Musti Bersama (Part II)

Beberapa minggu kemudian…

Aku masih seperti dulu, mencintai seseorang walau masih merasa sakit saat dia mengacuhkan kita. Sesungguhnya ak sanggup untuk menunggu. Hingga suatu hari ada seseorang yang menyukaiku. Tentu saja aku tidak cepat-cepat mengambil keputusan. Aku berpikir mungkin ada baiknya aku memulai cinta yang baru daripada menunggu seseorang untuk mencintai kita. Tapi tak habis piker bagiku, kenapa aku harus bersama teman dia, yakni Paji. Mungkin oada saat itu aku begitu bodohnya dan terlalu cepat mengambil keputusan, tapi aku sudah terlalu kecewa dan lelah.

Akupun menjalani kebersamaan dengan Paji. Rehan tahu kalau aku telah memiliki seseorang, tapi tidak tampak kalau dia sedih atau kecewa. Oo…tentu saja, dia kan tidak menyukaiku. Itulah yang kupikiran selama ini. Makanya aku bersikap biasa-biasa saja, seolah-olah tidak terjadi apa-apa diantara kami.

Hingga sampai 5 bulan kami menjalani kebersamaan ini. Aku tersadar atas suatu hal, bahwa setiap aku bersama Paji, entah kenapa ada lubang dalam hati ini. Aku tidak menceritakan bagian ini kepada sahabatku, Gea. Dia sempat kecewa dengan keputusan walau pada akhirnya dia merestui kami juga. 

Sesungguhnya aku telah mengunci perasaanku pada Rehan. Aku benra-benar tidak mau menyakiti pasanganku yang sekarang. Aku sadar mungkin suatu saat dia mengatahui fakta dibalik ini semua. Tetpai aku mencoba untuk memformat semuanya. Hingga akhirnya aku bisa melewatinya. 

Tetapi semua itu hanya mencapai batas maksimum 5 bulan. Pada titik ini aku sadar, kalau persaan yang kuberikan hanyalah perasaan palsu, sehingga aku menyakiti diri sendiri. Maka pada saat itu memutuskan untuk mulai menjaga jarak hingga akhirnya aku memilih untuk memutuskan.


Aku sempat depresi karena masalah yang kuhadapi. Dan Rehan sempat, ya mungkin bisa dikatakan khawatir meliat diriku yang tidak seperti biasanya. Dia memaksaku untuk menceritakan apa yang kualami. Aku sempat merasa terganggu dengan desakannya. Namun akhirnya aku luluh juga. Akupun menceritakan perasaanku yang sebenarnya kepada pasanganku sekarang, bagaimana jahatnya aku. Aku ceritakan semua. Tapi pada saat aku menceritakan semuanya, aku mendapatkan sebuah kenyataan yang begitu pahit, bahwa ternyata selama ini Rehan menyukaiku. Dia hanya tidak mau atau lebih tepatnya gengsi dengan perasaannya padaku. Aku sempat terkejut, tapi itu bukanlah alasan untuk memutuskan pasanganku yang sekarang. Karena keputusan telah ada bahkan sebelum dia mengatakan kenyataan itu. Bagiku tidak ada gunanya dia mengatakannya sekarang. Karena walau hati ini belum bisa melupakan, kekecewaanku terlalu berat untuk mengenang kesedihan dulu.

Bersambung...

Thursday, November 16, 2017

Cerpen : Qadarullah Perihal Jodoh (Part Cewek)

Aku mengenal seseorang yang begitu baik, ulet dan pribadi yang bertanggung jawab. Awalnya aku menyangka dia  hanya seorang petugas kebersihan, rupanya dia merupakan salah satu kepala bagian di kantor tempatku bekerja. Rasa penasaran dan kagum makin merasuk hatiku hingga memberanikan diri untuk lebih dekat dengannya.

Kedekatan yang terjalin akhirnya membawa kami pada proses pertunangan. Kami sudah mempersiapkan pernikahan yang sudah semakin dekat. Namun, entah apa yang membuatnya goyah hingga pada akhirnya membatalkan pernikahan yang telah direncanakan. Keluargaku bahkan sudah memesan hotel, baju, surat undangan yang siap disebar dan semua persiapan lainnya.

Hatiku hancur. Namun, aku beruntung karena Allah masih menghadirkan orang-orang baik dalam kehidupanku. Keluargaku selalu menghiburku yang semakin terpuruk. Bahkan, mama rela menemaniku di perantauan atau lebih tepatnya rumah paman untuk menenangkan hatiku yang masih kalut akan kesedihan. Mungkin, karena hal inilah aku menjadi semakin dekat dengan-Nya.

Sebulan setelah kejadian tersebut hatiku semakin membaik. Tak bisa dipungkiri bahwa kejadian tersebut belum bisa hilang sepenuhnya dari pikiranku. Namun, hatiku menjadi lebih tenang dan damai ketika mengingat kembali hal tersebut. Mungkin, saat ini aku jauh lebih kuat dibanding sebelum-Nya.

Suatu hari, senior di kantor tempatku bekerja bertanya kepadaku.

“Dek Raisya, abang punya adik yang saat ini sedang mencari pendamping hidup. Kalau adek bersedia, insyaAllah akan abang kenalkan dengannya.”

Pertanyaan tersebut sempat membuatku terdiam. Ada sedikit kebimbangan ketika pertanyaan tersebut diajukan kepadaku. Hatiku belum sanggup jika hal yang sama terulang kembali. Padahal, aku sudah bersusah payah mengobati hati yang terkoyak karena pengkhiatan yang dilakukan mantan tunanganku dulu. Namun, entah kenapa saat  itu, aku menyanggupinya. Mungkin, tak pernah kusadari bahwa Allah lah yang menggerakkan hatiku agar menerima tawaran tersebut.

Tak lama kemudian, kami berjumpa. Sekilas dia tampak cuek dan tak banyak bicara. Aku pun demikian. Tak banyak hal yang kami bicarakan. Sementara, abang yang menemaninya intens untuk membuka komunikasi di antara kami. Namun, dia tak tetap tak banyak bicara.
Pertemua tersebut usai begitu saja. Perasaanku tak menentu. Aku masih bingung akan sikapnya terhadapku. Namun, karena lagi-lagi Allah menggerakkan hati ini, maka aku memberanikan diri mempertanyakan perihal pertemuan tersebut kepada sang abang. Beliau menyarankan untuk bersabar, sebab sang adik belum menunjukkan respon apa-apa.

Dua hari kemudian, aku menerima pesan dari sang abang kalau sang adik ingin berjumpa kembali denganku. Tentu saja saat itu aku menyanggupinya. Kami bertemu kembali, namun dengan suasana yang sedikit berbeda. Kali ini dia berusaha untuk memulai komunikasi denganku.

Kisah pertemuanku dengannya tentu saja kuceritakan ke mama yang kala itu masih tinggal bersamaku di rumah paman.

“Coba kamu ajak dia ke rumah, dek.”

“Loh, bukankah itu terlalu cepat?”

“Ini bukanlah perkara cepat atau lambat, dek. Mama hanya ingin melihat keseriusan dia. Mama mau memastikan apakah dia baik untukmu.”

“Oke. Tapi, papa juga harus kesini ya ma.”

Aku segera menghubungi papa dan beliau menyarankan untuk diadakan pertemuan keluarga. Kupikir ini terlalu cepat mengingat pertemuan kami hanya dua kali saja.

“Jika Allah berkata dia yang terbaik, maka percayalah akan Allah tunjukkan dengan cara-Nya.”

Aku menghubungi sang abang dan segera beliau menyampaikan pesan tersebut kepada sang adik yang saat itu sudah kembali ke Bandung untuk bekerja. Kebetulan dia mendapatkan pekerjaan yang jauh dari kampung halaman.

Minggu berikutnya dia kembali pulang kampung untuk memenuhi undangan keluargaku. Maka, malam itu diadakan pertemuan keluarga kedua belah pihak. Terkhusus papa menanyakan keseriusannya terhadap pemuda yang hanya satu minggu kumengenalnya. Tapi, Allah berkata lain. Allah merasa dia lah pria terbaik untuk mendampingiku.

“Apakah kamu sudah yakin dengan anakku, nak?”

“InsyaAllah sudah, pak.”

Seketika mendengar jawaban tersebut, air mata jatuh membasahi pipi papa. Aku sangat tau bahwa papa adalah laki-laki yang paling sedih ketika pertunanganku berakhir. Aku tau papa menyembunyikan kesedihannya agar tidak menambah beban pikiranku.

“Kalau begitu, alangkah baiknya jika secepatnya diadakan pertunangan agar adanya kepastian di antara mereka. Mengenai pernikahan akan diadakan sebulan lagi”

“Kapan?” Kataku.

“Besok malam.”

Semua serba tiba-tiba. Tapi, itulah rencana yang Allah ciptakan untukku. Akhirnya tanpa persiapan apa-apa, kami melangsungkan pertunangan dengan sangat sederhana. Hal ini berbading terbalik saat pertunanganku dengan mantanku yang dulu. Mungkin, Allah tidak suka dengan cara kami dulu, maka Dia tegur dengan cara seperti ini.


Alhamdulillah, saat ini kami sudah menikah dan dia memboyongku ke Bandung. Sikapnya yang cuek memang tidakkan pernah berubah karena itu sudah menjadi cirri khasnya. Dia adalah laki-laki yang tidak banyak ngomong ini itu. Tipe yang lebih suka to the point. Memang, aku belum seutuhnya mengenal sosok suamiku, namun melalui pernikahan ini aku akan semakin mengenalnya. Bukankah dalam pernikahanlah kita lebih mengenal sosok laki-laki yang kita cintai?

Pertemuan tak terduga

Ada suatu waktu yang Allah berikan kepada kita hingga memberikan kebahagiaan tersendiri kepada kita. Suatu kebahagiaan yang tiada terduga. Suatu kebahagiaan yang tak pernah terencana sebelumnya, namun Allah sebaik sebaik pembuat rencana hingga Dia hadirkan hal tersebut kepada kita.

Inilah perkara waktu tentang pertemuan tak terduga. Pertemuan dengan orang-orang yang tak pernah dikenal sebelumnya. Pertemuan dengan seseorang yang bahkan mampu mengubah kehidupan kita. Allah sudah atur hal tersebut. Allah sudah tentukan kapan dan dimana kita akan berjumpa mereka.

Allah Maha baik kepada setiap hamba-Nya. Namun, terkadang kita lupa akan kebaikan Allah. Pernahkah kita berpikir, dikala kesedihan bersarang dihati maka tiba-tiba Allah hentikan langkah kaki kita disekitar masjid  atau bahkan mempertemukan dengan mereka yang mampu meredam kesedihan kita? Pernahkah kita berpikir jika itulah cara-Nya untuk menyembuhkan kesedihan yang dialami.

Begitu banyak hal tak terduga yang kita alami dalam kehidupan ini. Bisa saja itulah kode dari Allah agar memaknai hal tersebut. Begitu pula perkara jodoh. Tidak perlu kita risau, karena Allah menciptakan manusia secara berpasang-pasangan. Saat ini tugas kita memantaskan diri agar Allah menghadirkan dan mempertemukan kita dengan cara yang di ridhoi-Nya. Bukankah sudah dikatakan bahwa suatu pertemuan tak terduga bisa memberikan kebahagian dalam kebahagiaan kita?

Bukankah banyak kisah pernikahan yang terjadi karena pertemuan tak terduga dengan sang calon istri/suami. Ada yang tanpa sengaja jadi penumpang salah satu pesawat, bertemu dan bertegur sapa dengan salah satu pramugari eh nikah. Ada yang menikah hanya karena sang calon istri berdoa ketika mendengan bersin dari sang calon suami. Masih banyak contoh lainnya. Btw, saya berbagi cerita ini juga kalau udah tiba masanya. hehe

Tiba-tiba muncul pertanyaan.

“Kok bahas nikah doang?”

Karena menikah itu ibadah. hihi Ah, nggak nyambung. Maaf, maaf kembali ke topik pertanyaan.

Sebab, tak bisa dipungkiri bahwa banyak yang berpikir jika pertemuan tak terduga yang saya maksud perkara jodoh. Hayoo, ngaku. Namun, sebenarnya bukan melulu perihal itu saja. Bukankah begitu banyak pertemuan tak terduga lainnya yang terjadi dalam kehidupan ini? Coba deh teman-teman ingat dan renungi kembali.

Mungkin dulu kita pernah punya sahabat selama SMP. Namun tiba-tiba hubungan kita dengannya renggang hingga akhirnya menuju SMA yang berbeda. Di SMA, kita jumpa banyak orang dan Allah pertemukan kembali dengan sahabat yang rupanya malah lebih baik ketimbang sahabat lama kita. See?

Ini hanya contoh kecil dari sekian banyak pertemuan tak terduga namun bermakna. Mau berbagi cerita? Baiklah, insyaAllah akan saya lanjutkan ditulisan berikutnya.


Maknai setiap pertemuan karena mungkin itulah cara Allah untuk membahagiakan ataupun menghibur kita.”