“Wi, besok
kita ke Bukit Tinggi saja untuk mengobati penyakitnya ya.”
Itulah
kalimat yang dilontarkan aba ketika pulang dari sekolah. Aku merasa, kedua
orang tuaku sering pulang cepat dari sekolah karena khawatir akan keadaanku.
Sesungguhnya aku senang akan perhatian mereka, tapi adakalanya aku merasa tidak
enak hati. Sebab, aku merasa kalau anggota tubuh yang lain baik-saja dan aku bisa
beraktivitas seperti biasa, walau saparuh wajahku tidak berfungsi. hihi
Tak lama kemudian, emak pulang dan mengatakan bahwa lebih baik berobat di
Pekanbaru saja. Soalnya, ada orang yang sebelumnya menderita penyakit yang sama
dan Alhamdulillah sembuh setelah berobat di Pekanbaru. Ya, aku pun berpikir
jika lebih baik berobat di Pekanbaru saja, sebab lebih efektif dan efisien dari
berbagai segi. Aku pun tidak harus minta izin kuliah jika berobat di Pekanbaru.
Akhirnya, kami pun berangkat ke Pekanbaru untuk menjalani pengobatan berikutnya.
Sesampainya di Pekanbaru, kami langsung menuju Rumah Sakit A. Yani (Aduh, kalau
nggak salah benar deh ini namanya, besok ana cek lagi). Kami mendaftar
terlebih dahulu dan menuju ruang tunggu dokter saraf. Setelah dipanggil, kami
pun memasuki ruang dokter tersebut dan mulai diperiksa serta diskusi.
“Sudah berapa lama menderita ini?”
“Kira-kira 2 minggu yang lalu, dok” Jawab emakku
“Kenapa baru sekarang kesini? Jika lebih lambat lagi ke dokter, maka anak ibu
akan cacat seumur hidup.”
Huhuhu aku sedih banget ketika dokter menyatakan hal tersebut. Dokter
berujar bahwa penyebab penyakit ini secara khusus belum diketahui. Secara umum,
penyakit ini disebabkan oleh virus dan angin. Aku sempat bingung, apa hubungan
angin dan penyakit ini? Kemudian, si dokter melanjutkan.
“Tapi, tenang saja bu, InsyaAllah atas izin Allah anak ibu bisa sembuh jika
menjalani terapi secara rutin.”
Maka,
dimulailah perjalanan terapi untuk mengobati penyakit yang saya alami. Eh,
perasaan saya belum mengatakn penyakit saya ya? Namanya “Bell’s Pansy”. Namanya
keren sih, tetapi menyakitkan. Efek penyakit ini tidak menyenangkan
hehe.
....
Siang itu, aku dan emak masih menunggu panggilan untuk memasuki ruangan terapi.
Lumayan lama, sebab begitu banyak pasien yang ingin menjalani terapi. Aku
menjalani pengobatan fisioterapi. Tak lama kemudian, namaku dipanggil. Aku dan
emak pun menuju ruangan dokter.
“Dari dokter Taswin kan?”
“Iya, dok.” Jawabku.
Singkat
cerita, dokter pun menjelaskan berbagai hal yang berhubungan dengan penyakit
ini. Kira-kira isinya seperti ini.
“Baiklah. Selama menjalani pengobatan, kamu tidak boleh kena angin, ac,
dan minum minuman dingin. Selain itu, kami juga harus meminum obat yang telah
diberikan oleh dokter Taswin, ya. Saya tidak akan memberikan obat, kami disini
hanya akan melakukan terapi saja. Jika obatnya habis, maka konsultasikan
kembali kepada dokter Taswin. Usahakan kamu menuruti dan melakukan semua yang
kami suruh ya. Jika kami menyatakan bahwa kamu belum bisa stop berobat,
maka berobat lah terus. Namun, jika sebaliknya maka kamu harus berhenti berobat
ya. Terakhir, selalu lakukan latihan selepas terapi yang dijalani ya.”
Aku hanya mengangguk atas semua instruksi dokter. Kemudian, dokter menyuruhku
naik ke atas kasur dan proses terapi pun di mulai. Aku sempat merintih
kesakitan ketika pipi ku disentuh oleh kakak yang disuruh si dokter untuk
melakukan terapi.
“Loh, kok sakit? Biasanya, kalau terapi seperti ini tidak akan sakit. Palingan
hanya ngilu saja.”
Kemudian, emak pun memaparkan bahwa sebelumnya aku telah menjalani pengobatan
secara tradisional.
“Bu, memang ada penyakit yang bisa sembuh secara tradisional. Namun, harus kita
perhatikan jenis penyakit apa yang bisa ditangani secara tradisional. Jika
berhubungan dengan saraf, maka harus langsung ditangani oleh dokter yang ahli.
Kalau tidak, maka anak ibu akan cacat.”
Ukh, lagi-lagi aku mendengar kata cacat. Aku hanya bisa pasrah dan diam ketika
mendengarnya. Semoga Allah memberikan yang terbaik untukku.
Setelah menjalani terapi selama 15 menit, akhirnya kami diperbolehkan pulang.
Namun, sebelum pulang, lagi-lagi dokter mengingatkan untuk menjalani semua yang
dikatakannya sebelumnya. Aku pun disuruh untuk melakukan terapi setiap hari,
sebab penyakitku masih sangat baru. Kemudian, kami pun pulang. Sore harinya,
aku harus berpisah dengan orang tua, sebab mereka harus kembali ke kampung
untuk kembali mengajar di sekolah. Mereka memberiku semangat dan dukungan agar
aku tak berputus asa serta percaya bahwa Allah akan memberikan kesembuhan.
Terima kasih ya Allah, Engkau telah memberikan orang tua terbaik dalam
kehidupanku.
....
Aku masih ingat ketika awal-awal menjalani pengobatan, aku merasa tidak bisa
fokus dan kurang bisa konsentrasi ketika mengikuti proses belajar di kampus.
Aku benar-benar bingung dengan penjelasan dosen. Apalagi, saat itu adalah
masa-masa Ujian Tengah Semester, mau tidak mau aku harus berjuang keras. Tahukah
teman-teman, untuk mengerti maksud yang ditanyakan soal saja, aku tak paham.
Apalagi harus menjawabnya. Aku benar-benar bingung. Aku benar-benar tidak mampu
berkonsentrasi. Rasanya, otakku tak mampu berpikir. Untung saja, selama aku
mengalaminya, banyak teman yang mau menemaniku. Hingga aku bisa kuat. Banyak
teman-teman yang memotivasiku agar aku jangan menyerah dan selalu berusaha.
hahaha Terima kasih telah menemaniku, wahai kawan.
Kejadian yang sama juga kudapatkan dari keluarga yang ada di kampung, terutama
kakek dan nenek. Hampir tiap hari mereka menelfon dan menanyai kabarku.
Tampaknya mereka takut jika aku mengalami stroke ringan. Aku berusaha
menenangkan mereka jika aku baik-baik saja disini, jadi tidak ada yang perlu
dikhawatirkan. Untungnya mereka bisa menerimanya dan mulali tenang setelah
kujelaskan baik-baik. Terima kasih kek, terima kasih nek. Terima kasih atas
kasih sayang kalian yang tak pernah pupus.
....
Mataku mulai berair jika kupaksakan untuk membaca buku. Mau bagaimana lagi, aku
harus belajar untuk menghadapi UTS. Aku tidak mau tidak melakukan apa-apa untuk
menghadapi medan pertempuran. Kemudian, emak menasehati agar aku tidak
memaksakan diri untuk belajar. Jangan risaukan nilai yang mungkin tidak bagus.
Alangkah baiknya jika memikirkan kesehatan terlebih dahulu. Aku pun hanya
menuruti nasehat emak. Aku pun tidak lagi memaksakan diri untuk belajar. Aku
hanya belajar seadanya saja. hehe (Ini awal mula, rasa malas untuk belajar menyerang haha)
....
Menjalani
pengobatan sambil kuliah agak melelahkan. Selain, jarak tempat terapi yang
lumayan jauh, aku pun terkadang harus izin pulang lebih dulu untuk terapi jika
kebetulan saat itu ada kuliah. Tapi, aku berusaha menikmati yang kualami. Nah,
apakah aku pernah menangis selama penyakit ini menyerang? Pernah sekali. Tapi,
aku tidak menyalahkan Tuhan atas apa yang kuderita. Malah sebaliknya, aku minta
maaf kepada Allah atas semua dosa yang kulakukan hingga akhirnya aku menerima
penyakit ini. Aku menangisi semua perbuatan buruk yang mungkin tidak berkenan
dimata Allah hingga DIA menegurku dengan cara ini.
Oh ya,
tahukah teman-teman bahwa lewat penyakit ini, aku akhirnya bisa menjemput
hidayah yang telah Allah berikan. Aku yang dulunya belum menetapkan hati untuk
hijrah, akhirnya membulatkan tekad untuk hijrah. Aku pun mulai mengubah
penampilan yang dulunya kekinian, dan mulai menuju jalan syari’i. Walau
mungkin, sifatku masih belum sepenuhnya syari’i, setidaknya aku berusaha untuk
memperbaikinya agar menceriminkan apa yang telah kupakai. MasyaALlah, rupanya
inilah cara Allah menyadarkanku. Terima kasih atas ujianMu ya Allah.
Bersambung...
Tunggu update ceritanya beberapa hari ke depan ya...