Thursday, July 21, 2016

Ketika Allah menegurku dengan caraNya (Last Part)

Empat bulan menjalani terapi yang lumayan menyakitkan, sebab pipiku disentrum dengan sebuah alat, Alhamdulillah akhirnya keadaan mulai kembali normal. Walau mungkin tak kembali secara utuh seperti sedia kala, namun semuanya harus tetap kusyukuri. Akhirnya, aku bisa kembali tersenyum walau mungkin tak seperti dulu.
Pasca terapi yang dijalani, aku masih merasakan bahwa memang terjadi pertumbuhan syaraf yang tak seperti sedia kala. Sesungguhnya, teman-teman ku merasa bahwa aku telah sembuh total. Bahkan mereka merasa bahwa aku tak mengalami penyakit demikian. Alhamdulillah, terima kasih atas semangatnya wahai kawan. 

Sedikit berbagi cerita. Sebenarnya, setelah dilakukan googling mengenai penyakit ini, akan ada kemungkinan buruk efek yang akan diperoleh pasca terapi. Nah, di antaranya pertumbuhan kembali syarat bukan ditempat sebenarnya/semestinya. Apakah aku mengalaminya? Yup. Tepat sangat. Jika kalian perhatikan secara seksama, maka mataku tak lagi sama besar. Bagian mata sebelah kanan akan lebih kecil ketimbang sebelah kiri. Apakah hal tersebut mengganggu aktivitas? Sebenarnya tidak terlalu mengganggu, hanya saja adakalanya kurang pede ketika take picture. Heheh

Selanjutnya, mengenai alergi yang didapat ketika menjalani pengobatan tradisional. Bagaimana nasib akhirnya alergi tersebut? Menyisakan luka terdalam kepadaku. Kenapa demikian? Alhamdulillah Allah menguji kesabaranku kembali. Kali ini dengan tema dan kisah yang berbeda. Apakah itu? Efek yang diperoleh ketika menjalani pengobatan tradisional berupa muka merah-merah dan jerawat. Sampai sekarang pun masih tersisa padahal aku telah mencoba mengobatinya dengan berbagai cara. Bedo’a pun demikian. Semua usaha telah dilakukan, namun rupanya Allah belum mengizinkanku untuk menerima kata sembuh. Jadi, jangan heran jika jumpa denganku tak lagi sama, sebab bisa jadi muka ane merah-merah. Ya, bisa jadi semua yang terjadi padaku karena kesalahan dan dosa yang kuperbuat selama ini.

Pasca penyakit ini menyerang, sempat merenung juga “Apakah akan ada seseorang yang menerimaku apa adanya dengan kondisiku sekarang?”. Bodoh kan? Bukankah jodoh sudah di atur Allah? Bukankah setiap punya pasangannya masing-masing. Aku pun langsung membuang jauh-jauh pemikiran tersebut. Sebab, aku yakin Allah telah menyiapkan seseorang yang mampu menerima lahir dan batinku.

Ya Allah, Terima kasih atas semua ujian yang Kau titipkan.

KarenaMu, aku bisa menjemput hidayah untuk lebih dekat denganMu. 

karenaMu, aku bisa hijrah kejalanMu. KarenaMu aku bisa belajar kesabaran yang sesungguhnya. 

Tiada kata yang bisa terucap selali berbaik sangka akan semua skenario yang telah Kau siapkan. 

Ketika Allah menegurku dengan caraNya (Part II)

“Wi, besok kita ke Bukit Tinggi saja untuk mengobati penyakitnya ya.” 

Itulah kalimat yang dilontarkan aba ketika pulang dari sekolah. Aku merasa, kedua orang tuaku sering pulang cepat dari sekolah karena khawatir akan keadaanku. Sesungguhnya aku senang akan perhatian mereka, tapi adakalanya aku merasa tidak enak hati. Sebab, aku merasa kalau anggota tubuh yang lain baik-saja dan aku bisa beraktivitas seperti biasa, walau saparuh wajahku tidak berfungsi. hihi

Tak lama kemudian, emak pulang dan mengatakan bahwa lebih baik berobat di Pekanbaru saja. Soalnya, ada orang yang sebelumnya menderita penyakit yang sama dan Alhamdulillah sembuh setelah berobat di Pekanbaru. Ya, aku pun berpikir jika lebih baik berobat di Pekanbaru saja, sebab lebih efektif dan efisien dari berbagai segi. Aku pun tidak harus minta izin kuliah jika berobat di Pekanbaru.

Akhirnya, kami pun berangkat ke Pekanbaru untuk menjalani pengobatan berikutnya. Sesampainya di Pekanbaru, kami langsung menuju Rumah Sakit A. Yani (Aduh, kalau nggak salah benar deh ini namanya, besok ana cek lagi). Kami mendaftar terlebih dahulu dan menuju ruang tunggu dokter saraf. Setelah dipanggil, kami pun memasuki ruang dokter tersebut dan mulai diperiksa serta diskusi.

“Sudah berapa lama menderita ini?”

“Kira-kira 2 minggu yang lalu, dok” Jawab emakku

“Kenapa baru sekarang kesini? Jika lebih lambat lagi ke dokter, maka anak ibu akan cacat seumur hidup.”

Huhuhu aku sedih banget ketika dokter menyatakan hal tersebut. Dokter berujar bahwa penyebab penyakit ini secara khusus belum diketahui. Secara umum, penyakit ini disebabkan oleh virus dan angin. Aku sempat bingung, apa hubungan angin dan penyakit ini? Kemudian, si dokter melanjutkan.

“Tapi, tenang saja bu, InsyaAllah atas izin Allah anak ibu bisa sembuh jika menjalani terapi secara rutin.”

Maka, dimulailah perjalanan terapi untuk mengobati penyakit yang saya alami. Eh, perasaan saya belum mengatakn penyakit saya ya? Namanya “Bell’s Pansy”. Namanya keren sih, tetapi menyakitkan. Efek penyakit ini tidak menyenangkan hehe.

                                                                              ....

Siang itu, aku dan emak masih menunggu panggilan untuk memasuki ruangan terapi. Lumayan lama, sebab begitu banyak pasien yang ingin menjalani terapi. Aku menjalani pengobatan fisioterapi. Tak lama kemudian, namaku dipanggil. Aku dan emak pun menuju ruangan dokter.

“Dari dokter Taswin kan?”

“Iya, dok.” Jawabku.

Singkat cerita, dokter pun menjelaskan berbagai hal yang berhubungan dengan penyakit ini. Kira-kira isinya seperti ini.

“Baiklah. Selama menjalani pengobatan, kamu tidak boleh kena angin, ac, dan minum minuman dingin. Selain itu, kami juga harus meminum obat yang telah diberikan oleh dokter Taswin, ya. Saya tidak akan memberikan obat, kami disini hanya akan melakukan terapi saja. Jika obatnya habis, maka konsultasikan kembali kepada dokter Taswin. Usahakan kamu menuruti dan melakukan semua yang kami suruh ya. Jika kami menyatakan bahwa kamu belum bisa stop berobat, maka berobat lah terus. Namun, jika sebaliknya maka kamu harus berhenti berobat ya. Terakhir, selalu lakukan latihan selepas terapi yang dijalani ya.”

Aku hanya mengangguk atas semua instruksi dokter. Kemudian, dokter menyuruhku naik ke atas kasur dan proses terapi pun di mulai. Aku sempat merintih kesakitan ketika pipi ku disentuh oleh kakak yang disuruh si dokter untuk melakukan terapi.

“Loh, kok sakit? Biasanya, kalau terapi seperti ini tidak akan sakit. Palingan hanya ngilu saja.”

Kemudian, emak pun memaparkan bahwa sebelumnya aku telah menjalani pengobatan secara tradisional.

“Bu, memang ada penyakit yang bisa sembuh secara tradisional. Namun, harus kita perhatikan jenis penyakit apa yang bisa ditangani secara tradisional. Jika berhubungan dengan saraf, maka harus langsung ditangani oleh dokter yang ahli. Kalau tidak, maka anak ibu akan cacat.”

Ukh, lagi-lagi aku mendengar kata cacat. Aku hanya bisa pasrah dan diam ketika mendengarnya. Semoga Allah memberikan yang terbaik untukku.

Setelah menjalani terapi selama 15 menit, akhirnya kami diperbolehkan pulang. Namun, sebelum pulang, lagi-lagi dokter mengingatkan untuk menjalani semua yang dikatakannya sebelumnya. Aku pun disuruh untuk melakukan terapi setiap hari, sebab penyakitku masih sangat baru. Kemudian, kami pun pulang. Sore harinya, aku harus berpisah dengan orang tua, sebab mereka harus kembali ke kampung untuk kembali mengajar di sekolah. Mereka memberiku semangat dan dukungan agar aku tak berputus asa serta percaya bahwa Allah akan memberikan kesembuhan. Terima kasih ya Allah, Engkau telah memberikan orang tua terbaik dalam kehidupanku.

                                                                            ....

Aku masih ingat ketika awal-awal menjalani pengobatan, aku merasa tidak bisa fokus dan kurang bisa konsentrasi ketika mengikuti proses belajar di kampus. Aku benar-benar bingung dengan penjelasan dosen. Apalagi, saat itu adalah masa-masa Ujian Tengah Semester, mau tidak mau aku harus berjuang keras. Tahukah teman-teman, untuk mengerti maksud yang ditanyakan soal saja, aku tak paham. Apalagi harus menjawabnya. Aku benar-benar bingung. Aku benar-benar tidak mampu berkonsentrasi. Rasanya, otakku tak mampu berpikir. Untung saja, selama aku mengalaminya, banyak teman yang mau menemaniku. Hingga aku bisa kuat. Banyak teman-teman yang memotivasiku agar aku jangan menyerah dan selalu berusaha. hahaha Terima kasih telah menemaniku, wahai kawan.

Kejadian yang sama juga kudapatkan dari keluarga yang ada di kampung, terutama kakek dan nenek. Hampir tiap hari mereka menelfon dan menanyai kabarku. Tampaknya mereka takut jika aku mengalami stroke ringan. Aku berusaha menenangkan mereka jika aku baik-baik saja disini, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Untungnya mereka bisa menerimanya dan mulali tenang setelah kujelaskan baik-baik. Terima kasih kek, terima kasih nek. Terima kasih atas kasih sayang kalian yang tak pernah pupus.

                                                                                      ....

Mataku mulai berair jika kupaksakan untuk membaca buku. Mau bagaimana lagi, aku harus belajar untuk menghadapi UTS. Aku tidak mau tidak melakukan apa-apa untuk menghadapi medan pertempuran. Kemudian, emak menasehati agar aku tidak memaksakan diri untuk belajar. Jangan risaukan nilai yang mungkin tidak bagus. Alangkah baiknya jika memikirkan kesehatan terlebih dahulu. Aku pun hanya menuruti nasehat emak. Aku pun tidak lagi memaksakan diri untuk belajar. Aku hanya belajar seadanya saja. hehe (Ini awal mula,  rasa malas untuk belajar menyerang haha)

                                                                                    ....

Menjalani pengobatan sambil kuliah agak melelahkan. Selain, jarak tempat terapi yang lumayan jauh, aku pun terkadang harus izin pulang lebih dulu untuk terapi jika kebetulan saat itu ada kuliah. Tapi, aku berusaha menikmati yang kualami. Nah, apakah aku pernah menangis selama penyakit ini menyerang? Pernah sekali. Tapi, aku tidak menyalahkan Tuhan atas apa yang kuderita. Malah sebaliknya, aku minta maaf kepada Allah atas semua dosa yang kulakukan hingga akhirnya aku menerima penyakit ini. Aku menangisi semua perbuatan buruk yang mungkin tidak berkenan dimata Allah hingga DIA menegurku dengan cara ini. 

Oh ya, tahukah teman-teman bahwa lewat penyakit ini, aku akhirnya bisa menjemput hidayah yang telah Allah berikan. Aku yang dulunya belum menetapkan hati untuk hijrah, akhirnya membulatkan tekad untuk hijrah. Aku pun mulai mengubah penampilan yang dulunya kekinian, dan mulai menuju jalan syari’i. Walau mungkin, sifatku masih belum sepenuhnya syari’i, setidaknya aku berusaha untuk memperbaikinya agar menceriminkan apa yang telah kupakai. MasyaALlah, rupanya inilah cara Allah menyadarkanku. Terima kasih atas ujianMu ya Allah. 

Bersambung...
Tunggu update ceritanya beberapa hari ke depan ya... 

Ketika Allah menegurku dengan caraNya (Part I)

Aku masih saja mendiamkan semua yang kurasakan. Aku masih saja memendam dan acuh untuk menyuarakan apa yang kupikirkan. Aku masih merasa besar kepala bahwa tanpa mereka pun aku mampu mengatasinya. Aku menganggap bahwa aku kuat tanpa mereka. Aku merasa sombong bahwa aku bisa mengatasi sendiri semua yang terjadi pada diriku. Aku benar-benar telah merasa bahwa mereka takkan mampu membantu dan merasakan apa yang kurasakan, sehingga aku memilih menjauh, mendiamkan dan mengatasinya sendiri. 

Aku benar-benar bodoh, kenapa demikian? Kepada orang tua pun aku enggan berbagi. Aku sendiri heran, kenapa aku bisa bersikap demikian. Apakah aku orang yang cuek? Apakah aku tipe manusia yang sombong? Entahlah. Aku pun bingung. Rupanya Allah tidak merasa bahwa aku kuat jika sendiri. Allah merasa aku harus bisa berbagi dengan semua apa yang kurasakan. Allah merasa bahwa aku harus mencoba untuk saling terbuka dengan yang lain. Inilah cara Allah menegurku. Inilah cara Allah menyadarkanku. Inilah cara Allah menampar kesombonganku. Masih dengan caraNya yang unik dan tak terduga. 

Saat itu, Allah menitipkan suatu yang tak pernah kuduga sebelumnya. Sesuatu yang membuatku shock dan agak depresi ketika mendapatinya. Sesuatu yang bisa saja malah akan membuatku semakin terpuruk. Tapi, Allah tidak pernah meninggalkan hambaNya ketika DIA menitipkan ujian. Allah selalu mendorong ketika kita mulai terpuruk dan menarik ketika kita mulai merasa lelah menjalaninya. 

Nah, teman-teman penasarankah apa yang dititipkan Allah kepadaku?

Sesuatu yang bagi orang lain kemungkinan hanya hal biasa, namun tidak bagiku. Sesuatu yang menurut orang lain tidak terlalu berbahaya, namun tidak bagiku. Sesuatu yang benar-benar membuatku menyesali semua yang telah telah terjadi.

Dokter sempat menyatakan bahwa ada kemungkinan aku akan cacat jika terlambat mengobatinya. Bayangkan betapa kaget dan sedihnya ketika aku mendengarnya. Aku berusaha tidak menangis ketika dokter berujar demikian. Aku berusaha kuat dan yakin bahwa Allah takkan membiarkanku cacat. 

Nah, teman-teman makin penasaran dengan penyakitku?

hehe, sebenarnya penyakit yang pernah kuderita tidak terlalu parah, seperti tumor, kanker atau penyakit parah lainnya. Bukan bukan. Aku pun takut jika menderita penyakit yang demikian. Aku tetap bersyukur Allah tidak menitipkan penyakit yang demikian. Sekiranya, ini hanyalah penyakit yang telah banyak juga diderita orang lain, dan mereka Alhamdulillah sembuh. Oleh sebab itu, pemikiran seperti ini cukup menguatkanku walau masih merasa sedih. Ya, aku yakin bahwa kita semua pasti akan merasa sedih ketika menderita penyakit yang tidak biasa atau tidak pernah diderita sebelumnya. Tapi, sekali lagi, bagiku inilah cara Allah menegurku.

                                                                                        ......

2014. Malam itu, aku mengalami demam yang lumayan tinggi selama 2 hari berturut-turut. Sewaktu malam kedua, aku mulai merasa bahwa mataku yang sebelah kanan agak susah digerakkan. Bahkan aku merasa mataku tidak lagi sama besarnya. Aku meminta nenek untuk memperhatikannya, beliau menyatakan bahwa tidak terjadi apa-apa dengan mataku. Tapi, aku tetap keukeh merasa bahwa ada yang tidak beres dengan mataku. 

Hari berikutnya, demamku mulai turun. Aku pun mulai bercermin dan memperhatikan mataku. Ternyata memang benar tidak terjadi apa-apa. Rupanya hanya perasaanku saja. Aku sedikit merasa bersalah berpikiran yang tidak-tidak sebelumnya. Kemudian, aku iseng menggembungkan kedua pipiku. Aku merasa aneh, kenapa aku tak mampu menggerakkan pipi sebelah kanan? Kenapa rasanya aku tak bertenaga untuk menggembungkannya? Awalnya aku hanya mengabaikannya. Aku tidak berani mempertanyakan lebih lanjut kepada nenekku. Aku lebih memilih diam. Namun, rupanya itulah awal mula penyakit tersebut. 

Keesokan paginya, aku pun pergi ke toko buku bersama temanku. Dalam perjalanan pulang, aku mulai merasa keanehan ketika tersenyum. Aku merasa bahwa senyumku tidak seperti sebelumnya lagi. Aku masih mendiamkannya hingga malam pun telah berlalu.

Keesokan harinya, lagi-lagi aku iseng bercermin dan mencoba untuk tersenyum. Rupanya benar jika saraf-saraf muka sebelah kananku tidk berfungsi lagi. Aku mulai panik dan menelpon orang tua. Mereka menyarankanku untuk pulang kampung. Sebelum pulang, aku menyempatkan diri untuk berobat dan menanyakan penyakit yang kuderita. Dokter menyarankan agar aku diterapi. Aku pun hanya mengiya-iyakan kata dokter tersebut. Oh ya, sampai sekarang belum diketahui penyebab pasti penyakit tersebut.

Setiba di kampung, aku langsung mengadukan penyakit yang ku alami. Aku tidak memberitahu kepada orang tua  bahwa penyembuhan penyakit ini harus melalui terapi. Aku takut menyusahkan orang tua dalam menanggung biaya pengobatan. Akhirnya orang tua, menganjurkan untuk berobat secara tradisional. Aku bersyukur karena aku yakin tidak akan menghabiskan banyak uang. Rupanya, pemikiran seperti itu salah besar. Kenapa demikian? Memang ada beberapa penyakit yang bisa disembuhkan secara tradisional, tetapi ada beberapa yang harus disembuhkan melalui pengobatan dokter. Nah, karena penyakit saya berhubungan dengan saraf, maka lebih baik konsultasikan dengan dokter. 

Tahukah teman-teman selama menjalani pengobatan tradisional, sama sekali tidak ada kemajuan. Padahal aku harus menahan sakit yang luar biasa ketika diobati. Bahkan, aku sampai menangis ketika si nenek mengurut pipi-pipiku. Oh ya, aku bercerita sedikit mengenai pengobatan tradisional yang telah kujalani. Awalnya si nenek memanaskan ramuan seperti minyak (aku tidak tahu jenisnya, tapi sepertinya obat tersebut tidak pernah diganti, hehe maaf nenek). Kemudian, si nenek mulai memijat-mijat pipiku dengan minyak tersebut. Awalnya tidak sakit, tapi lama-kelamaan kok aku merasa sakit. Tapi, aku berusaha menahan rasa sakit tersebut. Aku berobat secara tradisional selama 3 hari berturut-turut dalam minggu pertama, dan kembali ke Pekanbaru untuk kuliah. Sebab, saat itu aku masih belum libur. Nah, minggu berikutnya aku kembali pulang kampung untuk menjalani pengobatan. Setiap hari, orang tua bertanya perkembangannya, aku hanya menggeleng. Sebab, memang belum ada perkembangan apa-apa. Yang ada malah pipi dan telingaku jadi sakit jika digerakkan. Sebenarnya, pada minggu kedua, aku mulai mengeluh akan rasa sakit tersebut. Tetapi, orang tua menyarankan agar aku bersabar dalam menjalaninya. Aku pun menurut saja. 

Singkat cerita, pengobatan minggu kedua telah usai, namun belum tampak perkembangan apa-apa. Yang ada malah mukaku kena alergi karena minyak yang diolesi selama pengobatan. Mukaku merah-merah dan berjerawat. Hal ini semakin menambah kesedihanku. Tampaknya orang tuaku juga mulai khawatir dan panik. Aku yakin jika orang tuaku merasa sedih atas kondisi yang kualami. Aku yakin merekalah yang lebih memikirkan yang kualami. Apakah aku sedih dan menangis ketika menghadapi bahwa saraf diseparuh wajahku tak berfungsi lagi? Tentu. Aku sedih sekali. Tapi, aku berusaha menyembunyikannya agar aku tak menambah khawatir dan pemikiran orang tua. Aku berusaha untuk kuat. Aku yakin Allah akan menguatkanku.

Bersambung...

Lanjutannya akan saya update beberapa hari lagi. Tunggu cerita selanjutnya ya. 

Hidayah ditunggu atau dijemput?




Sebelumnya, saya pernah menyatakan bahwa setiap kehidupan yang telah kita lalui selalu memiliki hikmah yang bisa kita petik. Sesungguhnya, beragam hikmah yang disediakan oleh Allah. Kita bisa memilih yang pas menurut kita. Apakah salah satu hikmah yang disediakan Allah? Hadiah. eeh bukan. Maksudnya hidayah. hehe

Hidayah biasanya kita peroleh ketika telah melalui suatu perjalanan kehidupan dan memaknai yang telah terjadi. Sesungguhnya hidayah tersebut telah ada dan diam saja. Layaknya summary yang tersedia di setiap bab sebuah buku, begitu pula hidayah. Apakah yang harus kita lakukan? Jika kita menganggapnya penting, maka kita harus meraihnya. Namun, jika tidak penting, maka biarkan saja. Toh, dia bakal mengkode-kode kita, eh maksudnya mengikuti kita agar diambil. See? Betapa baiknya Allah yang tak pernah meninggalkan kita walau mungkin kita sering mengacuhkaNya. 

Nah, kapan hidayah bisa kita jemput? Kapan pun kita mau. hehe Sebelumnya saya pernah mengepost bagaimana akhirnya bisa hijrah, bukan? Nah, bagaimana menurut teman-teman? Sejujurnya yang saya alami dulu berupa kisah menyedihkan, namun saya tetap mampu memetik hikmah dan menjadikannya sebagai hidayah dari Allah.

Hidayah tersebut tidak hanya datang dikala sedih, namun dikala senang pun, Allah telah menyisipkan hidayah. Layaknya sebagai ujian dari Allah, maka hidayah juga memegang peran dalam mengubah kehidupan untuk menjadi lillahi ta’ala. Melalui hidayah, kita akan merasa lebih dekat dan percaya bahwa Allah selalu mengawasi dan menasehati kita. 

Adakalanya, Allah menimpakan kesedihan dalam hidup ini. Namun, rupanya Allah menyisipkan surat berupa hikmah, agar nanti kita menjadikannya hidayah. Sesungguhnya, kesedihan yang diberikan Allah karena itulah cara Allah mencintai kita. Allah memberikan teguran, ujian, peringatan dengan berbagai cara unik. Namun, Allah ingin kita mampu menjemput hidayah dibalik semua itu. Janganlah, berprasangka buruk atas semua kesedihan yang ditimpakanNya.

Dulu, saya pernah membaca sebuah kisah, dimana sang laki-laki tiba-tiba saja dipecat dari pekerjaannya karena melakukan kesalahan kecil, baginya. Akhirnya dia harus istirahat di rumah. Sesungguhnya, saat itu dia sangat depresi menerima kenyataan tersebut. Namun, sang istri selalu menemani dan mendukungnya. Si istri mengajak sang suami untuk shalat berjama’ah, sebab semenjak sang suami sibuk bekerja, mereka jarang shalat berjam’ah. Sang suami pun hanya menurut saja. Saat melakukan shalat itulah, dia akhirnya sadar bahwa selama terlalu menyibukkan diri dengan dunia hingga lalai akan perintah Allah. Semenjak itulah, dia mulai mendekatkan diri kembali kepada Allah untuk diberi ketenangan dan kemudahan dalam menjalani kehidupan. Singkat cerita. Akhinya Allah memberikan rezeki kepadanya, walau mungkin tidak terlalu eksekutif ketimbang rezeki sebelumnya. Namun, dengan rezeki yang diberikan Allah sekarang, dia tidak lagi jauh dengan Allah. Dia menjadi lebih dekat dan tidak pernah lagi menjauh dari Allah.

Nah, benarkan Allah selalu membantu jika kita mendekatiNya? Benarkan jika Allah akan memberikan hidayah jika kita mampu meraihnya? Benarkan Allah selalu memberi kemudahan dibalik kesusahan jika kita mendekatiNya? Wahai kawan. Marilah selalu menjemput hidayah yang telah disediakan Allah. Sebab, cara Allah mencintai kita begitu unik.

“Sesungguhnya, hidayah tak datang sendiri menghampiri. Namun, dia akan menjadi milik kita dikala kita mampu menjemput dan meraihnya.”


Ketika sayang tak harus diungkapkan



Pernahkah merasa bahwa seseorang tidak menyayangi kita lantaran kasih sayang yang diberikan sama sekali tidak menunjukkan demikian? Anggap saja pernah. Kapankah kau mengalaminya? Ketika kecil? Ketika remaja? Ketika bersama pasangan? Atau ketika bersama orang tua?

Kasih sayang yang diberikan oleh orang lain kepada kita tak sama antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Ada orang yang memang terbiasa menunjukkan rasa sayangnya secara gamblang dan terus terang. Ada pula yang malu malu kucing untuk menunjukkan perasaan tersebut. Nah, ada pula yang lebih ekstrim. Kira-kira seperti apa ya? 

Kalau dalam komik istilahnya tsundere? Loh, apa ya maksudnya? Nah, tipe yang seperti ini memang agak beda. Bedanya dimana? Mereka sangat pemalu untuk menunjukkan kepada yang lain bahwa mereka sayang, akibatnya sikap mereka malah menunjukkan sebaliknya. Saya kira kalian akan paham. Yup, secara kasat mata akan terlihat jika mereka begitu membenci, padahal dalam hati begitu menyayangi. Terkesan lucu. Tapi, ada kok tipe yang seperti ini. Mereka mungkin terkesan tidak jujur, tapi jangan salah. Kenapa? Sebab mereka akan menunjukkan dengan cara yang berbeda.

Pernah jumpa dengan seseorang yang begitu cuek, acuh dan tak pedulian kepada yang lain, namun siapa sangka memberikan surprise ketika ulang tahunmu? Pernah jumpa dengan seseorang yang mungki sering menasehatimu hingga kau bosan mendengarnya, tapi tak pernah bosan untuk mendengar keluh kesahmu? Pernah jumpa dengan seseorang yang begitu egois, namun memilih mengalah ketika tahu bahwa kau begitu menginginkan sesuatu? Nah, kira-kira gambaran umumnya seperti ini untuk tipe tsundere.

Tipe seperti ini memang agak sulit dipahami. Hanya orang-orang tertentulah yang akan mampu memahaminya. Oleh karena itu, mungkin akan ada beberapa orang tak menyukainya. Namun, kita tak mampu untuk menyuruh mereka berubah, sebab itulah habit atau sudah sifatnya demikian. Percayalah, kasih sayang yang diberikan oleh tipe tsundere malah mungkin melebihi yang pernah kau terima sebelumnya. Sebab, kasih sayangnya berlandaskan hati beserta tindakan. Lah? Berarti kalau yang lain tidak dari hati, ya? Bukan begitu. Adakalanya, kasih sayang yang diberikan yang lain memang dari hati dan diucapkan melalui mulut, namun tindakanya tak pernah tampak. Saya yakin, jika ada beberapa dari kita pernah mengalaminya. Baiklah, saya termasuk korban. DULU 

Oleh sebab itu, janganlah pernah menjudge seseorang tidak menyayangi kita hanya karena mereka tak pernah mengucapkannya. Apakah orang tua kita mengucapkan sayang untuk menunjukkan kasih sayangn, perhatian dan rasa cintanya? Tidak. Hm mungkin sebagian ada, berarti tidak semua. Mereka menunjukkan kasih kasihnya kepada kita melalui tindakannya, melalui perlakukannya, melalui pengorbanannya. Saya yakin jika kita akan merasakan betapa besar kasih sayang mereka jikalau kita mampu memaknai setiap perjuangan mereka untuk kita. Percayalah, kasih sayang dan perhatian mereka lebih besar ketimbang ucapan sayang dari pasangan belum halalmu. Hihi Peace.

“Ucapan saja tak mampu untuk mewakili kasih sayang dan perhatianmu, bergeraklah. Maka kau akan mampu untuk menuntaskan kasih sayang tersebut.”