Friday, March 10, 2017

Keep Writing!



Bisa karena terbiasa

Sekiranya kaliamt di atas terpantri kuat didalam hati saya. Walaupun agak malu untuk mengakuinya, tapi harus diakui jika kualitas tulisan saya mengalami penurunan. Walah, sejak kapan kualitas tulisan saya mencapai level bagus? Hihi. Anggap saja saat ini saya sedang menghibur diri sendiri atau menyemangati diri untuk terus menulis.

Saya masih ingat ketika memulai-mencoba menulis (padahal sekarang masih sering pause untuk menulis hihi). Selalu ada rasa was-was akan kritikan, malu, tidak percaya diri, takut tak disukai, dan segala perasaan negatif lainnya. Akibatnya, saya selalu menahan diri untuk memposting tulisan-tulisan yang tersimpan rapi didalam laptop. Entah kenapa, saya lebih memilih untuk mendiamkan mereka ketimbang menunjukkannya kepada orang lain. Mungkin, saya terlalu terbenam akan semua prasangka buruk yang hadir dari berbagai penjuru. Hingga suatu hari, saya iseng menanyai salah seorang teman? Yang begitu semangat untuk menulis. Hampir semua tulisannya saya baca. (Lain kali saya akan bahas mengenai beliau, hihi)

Saat itu, entah keberanian darimana saya pun mencoba untuk curhat atas kegalauan yang sedang dialami. Bukannya mendapatkan jawaban yang bikin adem, saya malah diberi pernyataan yang sedikit membuat down. Eits, tapi tenang saja, hal tersebut berlangsung lama sebab saya melihatnya dari sisi positif, sehingga pernyataan tersebut malah menjadi motivasi saya untuk mulai menulis-mengetik? Hihi.

“Ya udah, nggak usah menulis.”
 Saya rasa kalian bisa merasakan bagaimana perasaan saya saat itu ketika menerima jawaban yang demikian. Benar-benar ngena pas dihati saya yang begitu lemah hihi. Tapi, untung saja,” si mas” melanjutkan jawabannya dengan kalimat-kalimat yang begitu membakar semangat saya untuk mencoba melakukan terobosan terbaru. Saya masih ingat bagaimana malunya saya akan diri sendiri yang tak mampu mengendalikan rasa malu, tidak percaya diri, takut dikritik dan kegalauan tak berguna lainnya. Terima kasih atas “tamparannya” mas.
 Wahai saudaraku, mencoba dan berusaha itu penting untuk mengupgrade diri sendiri. Jika kita terlalu nyaman dengan zona yang sudah didiami hingga tidak berusaha untuk bergerak, maka akan akan kemungkinan kita tak bisa maju-maju. Kemajuan tersebut hanya dapat dicapai jikalau kita telah melewati berbagai rintangan dan hambatan, namun kita mampu bangkit dan memaknai hikmah dibalik semua rintangan tersebut. Begitu pula dengan menulis, jika awalnya kita merasa begitu banyak kekurangan dalam tulisan kita, tetap lanjutkan. Jangan berhenti pada titik “salah dan kekurangan” tersebut. Tahukah kau bahwa sesuatu yang sempurna dicapai karena berawal dari kesalahan-kesalahan yang lama kelamaan diperbaiki hingga mencapai standar sempurana yang kita tetapkan. Mungkin, selama ini tak kita sadari bahwa perbaikan yang dimaksud bisa dengan sendirinya terjadi tanpa harus ditelaah secara mendalam akan kesalahan tersebut. Namun, jika kita berhenti dikala tulisan kita mencapai level baik, maka percayalah bahwa ketika kau memulainya lagi suatu saat, kualitas tulisan kita bukannya meningkat malah “mungkin” menurun atau bahkan dimulai dari titik terbawah lagi (seperti yang saya alami sekarang hihi). Oleh karena itu, teruslah tekuni hobi menulismu hingga kau mencapai titik “puas” yang telah ditetapkan. Jika berhenti sesaat, maka percayalah bahwa rasa malas pun akan bergelantungan begitu kuat kepada dirimu.

Keep Moving Forward



Setelah sekian lama beristirahat, akhirnya kembali lagi untuk menjalankan tekad yang pernah terucap. Entah kenapa, siklus kehidupan yang kujalani terlalu cepat bergerak mundur. Kerapkali kuperhatikan bahwa pola grafik yang tergambarkan begitu zigzag hingga malah mencapai titik terbawah. Aduh, betapa memalukannya diri ini. Tampaknya aku belum mampu mengendalikan “rasa malas” hingga mereka menarikku ke wilayah yang kusebut nyaman. Benarkah demikian? Sesaat dikala suatu cahaya menjemput, aku malah merasa bahwa itu bukanlah wilayah nyaman seperti yang kupikirkan. Itu hanya ilusi sesaat yang kelak akan membawaku menuju penyesalan. Namun, dikala cahaya tersebut tiada menghampiri, maka dengan sukarela aku akan tetap terpaku dan berdiam diri. Sungguh merugi, bukan? Tapi, pola yang demikian kerapkali menghampiri hingga aku sama sekali tak bisa menepisnya.

Sejujurnya, aku sungguh salut kepada orang-orang yang terus maju atas tekad yang telah mereka pegang. Mungkin, adakalanya mereka merasa jenuh, lelah, hingga berhenti pada suatu titik. Tapi, mereka bangkit kembali dikala telah mengisi bahan bakar yang diperlukan untuk melanjutkan perjalanan. Sekiranya, kekuatan apa yang mendorong mereka begitu gagah untuk terus maju? Mungkin, motivasi yang ada pada diri mereka begitu besar hingga mampu menggerakkan hati dan pikiran untuk selalu maju. Mungkin, cahaya petunjuk yang menghampiri mereka tak pernah padam oleh semangat yang lebih besar. Mungkin, bagi mereka kehidupan merupakan ladang karya dan ibadah yang harus terus dilukiskan. Mungkin, waktu merupakan cambuk terhebat untuk menguji kualitas diri. Entahlah. Aku rasa masih banyak kemungkinan lainnya.

Setiap manusia tentunya memiliki keinginan. Suatu harapan yang tentunya sangat ingin untuk diraih. Namun, apalah daya ketika semua tersebut hanya tinggal anggan-anggan karena kita tak bisa atau malah tidak mau berusaha untuk mewujudkannya. Aku pernah mendengar atau membaca (lupa), bahwa targetkanlah mimpi dan harapan sesuai kekuatan yang kau miliki. Sesat aku merasa aneh akan pernyataan tersebut. bagaimana kita mengetahui batas maksimal kekuatan yang kita miliki, jika tak pernah mencoba berbagai hal walau mungkin terdengar impossible bagi orang lain. Oleh karena itu, cara yang tepat untuk melihat seberapa besar kekuatan yang miliki, tentu saja dengan melakukan berbagai hal yang kita sukai?

Ada apa dengan hal yang disukai? Ketika kita melakukan eksperimen akan kekuatan kita, maka nantinya akan terjadi trial and error dikala melakukan percobaan. Jadi, jika kita bosan akan teori trial dan error tersebut, atau malah merasa putus asa, dengan sendirinya “rasa suka” akan mendorong kita untuk bangkit kembali. Pada dasarnya, jangan sampai kita dikendalikan aura-aura negatif yang demikian. Sebisa mungkin, kitalah yang jadi pengendalinya agar hambatan dapat kita kendalikan. Namun, tampaknya aku belum bisa menjadi pengendali, sebab tarikan negatif lebih erat mengenggamku. Hufft, aku malu menghadapi kenyataan yang seperti ini.

Suatu keinginan akan menjadi tekad yang sah jika sejalan dengan usaha. Apalah gunanya keinginan tanpa gerakan nyata? Sia-sia saja. Pada akhirnya, lagi-lagi kehidupan yang dijalan akan menjadi flat hingga malah mencapai titik terendah yang tidak peduli lagi akan lingkungan sekitar? Aku kira kalimat ini terlalu berlebihan hihi. Semoga saja hal ini tidak terjadi. Oleh karena itu, untuk diriku dan saudariku yang masih diberi kesempatan, mari sama-sama manfaat waktu yang telah disediakan Allah, agar kita mampu menjadi manusia yang bermanfaat, setidaknya untuk diri kita sendiri.

(Cerpen) Kau adalah Ujian Hijrahku



Aku masih terpaku didepan layar hape. Kala itu aku sibuk stalking seseorang yang pernah kukenal. Sesaat ada butir kebahagiaan bercampur sedih ketika aku memperhatikan hal yang dipostingnya. Itu semua masa lalu. Aku harus bergerak terus agar tiada lagi luka yang ditimbulkan. Aku berharap ini pengalaman terakhirku mengalami kejadiaan seperti ini. Jika mengingat kembali, rasanya kala itu aku terlalu terbuai akan kata-katanya. Walau batin dan hati ini memberontak, namun setan selalu memenangi pertarungan tersebut. Hingga akhirnya aku harus mengalah akan keadaan dikala itu.

….

Siang itu, tiba-tiba ada seorang laki-laki yang mengirim pesan kepadaku. Aku mengenalnya, sebab kebetulan kami satu komunitas. Tapi, saat itu aku tak pernah jumpa dengannya sekalipun. Jujur saja, aku merasa kurang percaya akan perlakukannya, tapi entah setan apa yang merasuki, aku pun mulai terbuai. Satu hal yang kuketahui bahwa dia merupakan teman dekat dari temanku. Atas dasar inilah aku sedikit mempercayainya.

Saat itu, aku sudah mulai untuk berhijab lebar atau istilanya syari’i. Hal ini kulakukan sebagai pembuktiaan bahwa aku sudah hijrah dari masa-masa jahiliahku. Awalnya terasa agak berat, mengingat aku sudah nyaman dengan jilbab yang simple. Namun, aku tetap berusaha untuk selalu menggunakannya agar terbiasa nantinya. Tapi, aku sadar bahwa hijrah tak sekedar mengubah penampilan saja. Aku tahu bahwa rohani pun perlu untuk selalu disirami nilai-nilai keislaman, maka aku pun mencoba untuk ikut liqo’. Alhamdulillah telah kujalani. Semua ini kulakukan agar aku bisa menjadi lebih dekat dengan Allah serta memupuk bekal untuk akhirat kelak.

….

Sehebat-hebatnya manusia berkata tidak dimulutnya, maka akan kalah juga jika tak mampu melawan bisikan setan yang berada ditelinga dan hati. Lagi-lagi aku kalah ketika menghadapinya. Padahal aku telah berkomitmen bahwa tidak akan berkomunikasi intens dengan lawan jenis sebab hal itu akan menimbulkan dosa. Walau tidak berjumpa sekalipun, namun hati akan memainkan peran yang lumayan besar untuk merobohkan keyakinan dan keimanan kita. Sepertinya, saat itu aku belum mampu untuk konsisten menjalani yang namanya istiqomah.

Sejujurnya aku tahu bahwa kita harus menjaga jarak dengan seseorang yang belum mampu menghalalkan kita. Jarak yang dimaksud tidak sekedar hanya tidak berjumpa, melainkan juga membatasi komunikasi, hati, mata atau hal lainnya akan menimbulkan virus merah jambu. Tapi, aku malah mengabaikannya dan menganggap tidak apa-apa, karena kami tidak melakukan apa-apa. Ini hanya sekedar komunikasi biasa saja. Itulah alasan jitu yang kutanamkan dihati ini. Betapa memalukannya diriku saat itu.

Semua berawal dari komunikasi biasa, namun berlanjut hingga larut malam. Komunikasi yang kami jalani pun sudah benar-benar melewati batasnya. Kami sudah saling mengingatkan, saling memberi perhatian, saling mengabari, dan saling lainnya yang seringkali dilakukan oleh orang yang tengah dimabuk asmara atau pacaran. Kami tidak pacaran, walau kami satu sama lain telah tahu bahwa sebenarnya kami saling menyukai. Tapi dia berdalih bahwa nantinya ingin ta’aruf denganku. Lucunya ketika mengingat kejadian memalukan ini.

Kami menjalani hubungan yang katanya islami berdalih ta’aruf. Tapi, yang kami jalani tak obahnya dengan orang yang sedang pacaran. Bodoh, bukan? Iya. Hal ini sangat sangat konyol. Tapi, saat itu setan telah menutup kebenaran yang ada dihatiku. Bahkan kami nekat melakukan perjumpaan karena ingin lebih saling mengenal. Perjumpaan yang kami lakukan hanya berdua. Bayangkan, hanya berdua tanpa mahram masing-masing pihak. Kami merasa malu Ya Allah, ampuni hamba.

Setelah berjumpa dengannya, bukan ketenangan yang kuperoleh. Entah kenapa hati ini bergejolak, gelisah, khawatir dan perasaan negatif lainnya. Saat itu, aku tahu bahwa Allah sedang memainkan peranNya. Tapi belum sepenuhnya kupenuhi signal tersebut. Namun, sedikit demi sedikit aku mulai berubah. Mungkin Allah sayang kepadaku hingga Dia mengatur skenario yang demikian.

Perlu diketahui bahwa kami sama sekali tidak melakukan hal aneh lainnya. Mohon buang jauh-jauh pemikiran yang demikian. Yang kami lakukan hanya sebatas komunikasi dan pertemuan satu kali saja. Hanya itu. Tapi, aku merasa berdosa atas apa yang telah kulakukan. Aku malu kepada Allah bahwa semua yang kuucapkan dan kuketahui tak pernah sama dengan perbuatan. Bagiku ini merupakan kebodohan yang harus kujauhi. Aku menjalani hubungan yang berdalih islam seperti ini. Sungguh pemikiran yang bodoh ketika menganggap “nggak apa-apa toh tidak melakukan apa-apa”.

….

“Kok kamu sekarang egois banget ya?”

Kalimat yang ditulisnya lumayan membuatku tercekat. Tapi, saat itu tiada rasa bersalah yang kurasakan. Jujur saja, aku memang sedikit egois dan keras kepala. Namun, hal ini biasanya mampu kuredam. Tapi, entah kenapa semenjak pertemuan tersebut, aku sudah mulai semena-mena terhadapnya. Entah kenapa dalam hati ini muncul perasaan untuk membuatnya membenciku.

“Jika dia tak bisa menjauhiku, maka aku harus membuatnya membenciku.”

Mungkin terkesan sangat kejam. Tapi, hanya itu satu-satunya cara agar aku bisa mengatasi kegelisahan hati yang kurasakan saat itu. Entah kenapa tidak terpikirkan cara lain. Aku akui bahwa itu cara yang sangat jahat dalam merenggangkan atau memutuskan suatu hubungan.

Berbagai kejahatan yang kulakukan hingga dia mulai bosan dan tidak menyukai caraku. Aku merasakannya. Tapi, aku tetap tak berhenti. Entah setan apa yang kali ini memasuki diriku hingga mampu menyakiti seseorang. Tapi, Allah Maha Baik dan Maha Penyayang. Dia tak mau melihatku menjadi wanita yang kejam dimata lak-laki. Suatu hari, Dia menunjukkan sesuatu kepadaku.

….

Aku senang dan bahagia ketika tak lagi dekat dengannya. Aneh, bukan? Tapi, itulah kedamaian yang kurasakan dikala kegelisahan dan kekhawatiran tidak lagi bersemayam dihati ini. Semua scenario indah ini sudah diatur oleh Allah. Aku yakin bahwa begitu banyak kebaikan yang kuperoleh dengan adanya kisah ini. Seringkali kita mengabaikan signal Allah, padahal bisa jadi itu bentuk kasih sayang Allah kepada kita semua. Allah Maha segala Maha, maka Dia takkan sungkan memberikan kesempatan kesekian kalinya kepada kita agar kembali kejalanNya.

Bagaimana dengan laki-laki tersebut? Tampaknya sekarang dia telah menemukan wanita lain untuk dijadikan calon istri untuk beberapa tahun ke depan. Tak kuketahui bagaimana dan kapan awalnya mereka dekat. Tapi, aku yakin bahwa mereka sudah dekat semenjak aku mulai bersikap tak baik kepadanya atau malah dia mendekati 2-3 orang sekaligus. Entahlah. Aku tak begitu peduli lagi.

Dulu, aku sedikit mempercayainya karena aku tahu bahwa dia merupakan salah satu remaja mesjid. Dia juga sering mengikuti pengajian. Mengenai shalat, dia seringkali jamaah ke mesjid. Tentu saja hal ini menjadi pedoman untuk meyakininya. Tapi, rupanya hal ini tak menjamin bahwa mereka mampu mengendalikan virus merah jambu. Aku tak menyalahkannya sama sekali. Mungkin, aku lah yang telah salah dalam berkomunikasi hingga berakhir di zona merah. Mungkin, aku sendiri yang kurang mampu membatasi pergaulan dengan lawan jenis sehingga menimbulkan baper. Walau demikian, aku masih bersyukur karena pertemua dengannya begitu banyak member pembelajaran yang berharga.

Allah mengujiku dikala memasuki dunia hijrah. Allah memperhatikan dan mengawasi keteguhan hatiku dalam menjalaninya. DIa ingin tahu seberapa kuat pondasi untuk tetap tegak ketika diterpa angina tau badai yang kencang. Maka, Dia menghadirkan dia dalam kehidupanku. Namun, rupanya aku terlena akan keindahaan sesaat tersebut. Hingga Allah member peringatan lagi kepadaku.

Terima kasih atas ujian ini ya Allah. Kau menghadirkan seseorang yang berarti dalam hidupku. Namun, rupanya Kau menganggap bahwa dia bukanlah yang terbaik untuk. Kau menunjukkan semua hal yang menurut kubaik rupanya tidak baik, begitu juga sebaliknya. Terima kasih atas semua kasih sayang Kau berikan. Maaf aku belum mampu menghadapi ujian hijrahku dariMu.




Dikala Mereka Tidak tahu



Ada kalanya aku terdiam sejenak untuk kembali menyaksikan berbagai alur kehidupan yang telah kulalui. Semua kepingan-kepingan tersebut tampak tak beraturan. Ku perhatikan secara seksama satu kepingan kesedihan dari sekian banyak kisah sedih yang kualami. Aku mendekatinya. Aku perhatikan diriku yang begitu kecil dan lebih memilih untuk menjauhi fase tersebut. Jika mengingatnya kembali, aku merasa betapa bodohnya aku.

 …

Mungkin mereka tidak pernah menyadari bahwa kalimat yang terucap terkadang membuatku depresi. Pertanyaan yang mereka ajukan hanya bisa kujawab dengan senyuman, walau sebenarnya aku merasakan kesedihan yang begitu dalam. Mungkin mereka melakukan hal tersebut karena tulus HANYA ingin tahu. Iya. Kurasa demikian. Tapi, entah setan apa yang merasuki, hati dan pikiran tak pernah sejalan dengan hal tersebut.

Aku sadar jika mereka tak berniat untuk untuk menyakiti atau malah membuatku depresi. Namun, lagi-lagi setan ikut serta disaat aku tertekan atau depresi. Aku benar-benar kesal tapi aku tak mampu melawan perasaan tersebut. Hingga akhirnya aku memilih menjauh ketimbang menerima pertanyaan yang demikian. Aku yakin nantinya hanya akan membuatku sedih. Maaf saudariku, aku begitu memikirkannya hingga akhirnya bersikap demikian.

Aku benar-benar tak sanggup menerimanya. Aku belum sekuat senyuman yang kuberikan kepada kalian. Mungkin mereka takkan pernah tahu hingga akhirnya semua hilang begitu saja. Salahkah aku berbuat demikian? Mungkin. Tapi aku belum siap. Hatiku belum mampu menampung semua perasaan gundah ini.

“inilah cara Allah mengujiku”. Kalimat inilah yang kerapkali kutanamkan agar Allah selalu menguatkanku. Kulakukan agar mampu menampung kesedihan ini. Namun, seringkali lagi-lagi pertanyaan  mereka membuatku memikirkannya kembali, sehingga semua ini seolah-olah tiada akhir. Padahal mereka tidak pernah tahu berapa lama telah kutanamkan keyakinan demikian di dalam hati ini. Mereka tidak tahu berapa banyak kesabaran yang telah coba kupupuk. Mereka takkan tahu dan takkan peduli hal itu.

Tetapi, terkadang aku merasa bahwa mungkin sebenarnya mereka tidaklah salah. Bukan mungkin. Tapi memang tidak salah. Sebab aku pun tiada pernah berujar dan mengungkapkan apa yang kurasa. Kupendam sedemikian rupa, agar apa? Entahlah. Aku belum menemukan jawaban yang pas. Tampaknya rasa malu masih begitu besar hingga mulut pun enggan untuk bergerak. Padahal aku rasa mereka akan mendukung dan meyakiniku bahwa semua akan berlalu jika aku tetap tabah dan sabar menghadapinya.

Apa yang harus kulakukan? Aku terlalu enggan untuk berbagi. Aku terlalu acuh terhadap teman-teman yang bisa saja bersedia menemaniku pastinya. Entahlah.

……

Semua telah berlalu. Takkan kulupakan. Akan selalu kujadikan kenangan berharga yang kelak akan kubagi kepadamu. Iya kamu yang kelak menemaniku. Untuk saat ini, biarlah menjadi ceritaku saja. Sesaat aku merasakan bayangan masa lalu yang kembali manarikku. Tapi aku harus bergerak. Agar aku merasakan kisah lainnya.

(Cerpen) Bersabarlah



Suasana sore itu lumayan ramai. Ketika aku memperhatikan sekeliling, begitu banyak orang yang mondar-mandir mencari buku yang menurut mereka bagus. Ada yang serius membaca satu buku, ada yang hanya membolak-balik buku, ada yang hanya memperhatikan sembari menyusuri tiap rak buku, ada juga benar-benar berniat untuk membeli buku. Begitulah gambaran suasana toko buku yang kali ini kukunjungi. Memang, adakalanya konsumen hanya sekedar melihat dan membaca tanpa niat untuk membeli, namun banyak juga yang benar-benar untuk memiliki buku favorit mereka. Untuk kali ini, sepertinya aku termasuk ke dalam kategori konsumen kedua. 

Kala itu, aku benar-benar serius memperhatikan buku-buku islami yang terpajang ditiap-tiap rak. Aku tidak ingin salah pilih. Aku tidak ingin mengecewakan seseorang yang akan menerima buku ini nantinya. Maka, aku pun membaca ringkasan tiap buku yang tertera dibagian belakang bukunya. Jujur saja, aku sempat bingung memilih yang cocok untuk dibacanya. Selain begitu banyak buku bagus, aku juga bingung menentukan jenis buku yang disukainya. Dua jam bukan waktu yang singkat untuk melihat, mencari, menentukan buku yang harus dibeli. Tapi, aku menghiraukan semua hal tersebut. sebab, aku benar-benar ingin membuatnya bahagia dan tersenyum manis kepadaku. Apalagi besok adalah pertemuan pertama kali setelah sekian lama loss contact. Peristiwa itulah yang membuat kami dipertemukan Allah kembali. Peristiwa yang merenggut separuh kebahagiannya. Sungguh, tak banyak yang bisa kulakukan. Aku benar-benar menyesal karena mengabaikan berita itu sekitar satu setengah tahun yang lalu. Aku tidak menyangka bahwa peristiwa itu akan memberikan dampak yang sangat fatal kepadanya. Betapa bodohnya diri ini ketika harus mengetahui dikala dia telah menderita begitu lama. Oleh karena itu, aku pun bertekad untuk memberikan sedikit kebahagian kepadanya. 
….

“Res, kenal si Robi teman SMP kitakan?” Pertanyaan teman sekamarku ini membuatku segera memutar otak untuk kembali mengenang masa-masa SMP kami.

“Tentu saja. Kenapa tiba-tiba menanyai dia?” 

“Kabarnya dia kecelakaan, loh.”

Tentu saja aku kaget mendengar berita duka tersebut. Tapi, entah kenapa raut wajahku tak berkata demikian. Masih dengan ekspresi datar yang selalu kutampilkan dikala berjumpa orang-orang yang baru kukenal. Ketika mengingat kenangan ini, aku benar-benar merasa menyesal karena sama sekali tak simpati akan kondisi temanku tersebut.

“Dia dirawat di rumah sakit sini?”

“Kayaknya sih, bagaimana? Mau menjenguk dia?”

Sepertinya respon yang kuberikan agak mengecewakan teman sekamarku. Sebab, pada saat itu aku malah mengabaikannya dan sibuk dengan laptopku. Dia pun enggan untuk bertanya kembali. Betapa bodohnya aku yang tidak menanyai lebih lanjut akan keadaannya. Hingga waktu pun terus bergerak dan meninggalkan penyesalan bagiku.

“Res, masih ingat Robi teman SMP kita dulu?” Rasanya seperti dejavu dikala pertanyaan yang sama dilontarkan oleh pamanku saat kami kumpul.

“Wah, ingat dong. Kenapa dengan dia?” Kali ini tampaknya aku mulai mencoba untuk lebih simpati.

“Sekitar satu setengah tahun lalu diakan kecelakaan, nah sekarang keadaannya agak menyedihkan.”

Mendengar cerita tersebut, entah kenapa aku mulai merasakan perasaan yang tidak menyenangkan. Aku memiliki firasat buruk akan kalimat lanjutan yang akan dilontarkan pamanku ini.

“Waktu dulu diperiksa, memang tidak ada luka fisiki yang terlalu parah. Tapi, rupanya Allah berkata lain. Saat itu, ada saraf dari tulang belakangnya yang putus dan dokter tidak yakin akan sembuh jika dilakukan operasi kala itu.”

Raut wajahku sudah mulai berubah sembari mendengar seksama cerita pamanku tersebut. Firasatku sepertinya sudah mulai menunjukkan penampakannya.

“Nah, sekarang dia hanya bisa berbaring walau sudah berbagai macam pengobatan dilakukan.”

“Maksud paman, dia tidak bisa berjalan lagi?”

Pamanku hanya mengangguk lemah ketika kata-kata “tidak bisa berjalan” kuucapkan. Kala itu, aku diam-diam menitikkan air mata, ketika mengetahui keadaan teman yang dulu kuabaikan, dikala dia kecelakaan. Entah kenapa aku benar-benar menyesal tidak pernah menjenguk dan melihat kondisinya. Satu setengah tahun bukan waktu yang singkat untuk mengabaikan hal tersebut. 

Aku sedih dan hampir setiap saat jadi memikirkan keadaannya. Seingatku, dia pribadi yang pekerja keras walau memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikannya. Hidup terkadang harus memilih. Dia lebih memilih untuk mencari penghasilan terlebih dahulu, sebab dia tidak ingin menyusahkan orang tuanya. 

Aku benar-benar tidak menyangkan bahwa kecelakaan yang dialaminya memberikan luka yang mendalam kepadanya. Ya Allah, aku benar-benar ingin menjumpainya dan menyemangatinya walau mungkin sudah basi. Satu setengah tahun telah berlalu dan sekarang aku tiba-tiba muncul? Sungguh bukan cerita yang menganggumkan untuk dibanggakan. Walau mungkin nanti ada sedikit rasa malu dan segan, namun entah kenapa hati ini begitu tergerak untuk menemuinya sesegera mungkin.

….

“Hai Robi, bagaimana kabarmu kawan?”

“Sehat selalu ya. Tersenyumlah selalu walau hidup tak berkata demikian.”

“Allah sayang Robi, makanya DIA memberikan titipan kepada, Robi.”

“Bersabarlah selalu sebab Allah akan menyiapkan scenario lain untukmu, kawan”

“berprasangka baiklah selalu kepadaNya, sebab DIA takkan pernah menyiksa kita dengan begitu jahat.”

“Hidup yang akan dilalui kelak memang akan sedikit berbeda.”

“Namun, percayalah bahwa Allah akan selalu membimbing dan menguatkanmu.”

“Mungkin, adakalanya kesedihan mengahmpiri kelak.”

“Tetaplah berpegang kepadaNya, maka kau takkan kehilangan arah.”

“Teruslah semangat demi keluarga yang menyayangimu dengan luapan yang begitu besar.”

….

Hidup terkadang tidak sesuai harapan. Namun, disitulah Allah mengajarkan kita untuk selalu berprasangkan baik akan nasib dan takdir yang ditetapkanNYA. Percayalah bahwa Allah selalu bersama orang-orang yang tetap sabar menghadapinya.”