Suasana
sore itu lumayan ramai. Ketika aku memperhatikan sekeliling, begitu banyak
orang yang mondar-mandir mencari buku yang menurut mereka bagus. Ada yang
serius membaca satu buku, ada yang hanya membolak-balik buku, ada yang hanya
memperhatikan sembari menyusuri tiap rak buku, ada juga benar-benar berniat
untuk membeli buku. Begitulah gambaran suasana toko buku yang kali ini
kukunjungi. Memang, adakalanya konsumen hanya sekedar melihat dan membaca tanpa
niat untuk membeli, namun banyak juga yang benar-benar untuk memiliki buku
favorit mereka. Untuk kali ini, sepertinya aku termasuk ke dalam kategori
konsumen kedua.
Kala
itu, aku benar-benar serius memperhatikan buku-buku islami yang terpajang
ditiap-tiap rak. Aku tidak ingin salah pilih. Aku tidak ingin mengecewakan
seseorang yang akan menerima buku ini nantinya. Maka, aku pun membaca ringkasan
tiap buku yang tertera dibagian belakang bukunya. Jujur saja, aku sempat
bingung memilih yang cocok untuk dibacanya. Selain begitu banyak buku bagus,
aku juga bingung menentukan jenis buku yang disukainya. Dua jam bukan waktu
yang singkat untuk melihat, mencari, menentukan buku yang harus dibeli. Tapi,
aku menghiraukan semua hal tersebut. sebab, aku benar-benar ingin membuatnya
bahagia dan tersenyum manis kepadaku. Apalagi besok adalah pertemuan pertama
kali setelah sekian lama loss contact. Peristiwa itulah yang membuat
kami dipertemukan Allah kembali. Peristiwa yang merenggut separuh
kebahagiannya. Sungguh, tak banyak yang bisa kulakukan. Aku benar-benar
menyesal karena mengabaikan berita itu sekitar satu setengah tahun yang lalu.
Aku tidak menyangka bahwa peristiwa itu akan memberikan dampak yang sangat
fatal kepadanya. Betapa bodohnya diri ini ketika harus mengetahui dikala dia
telah menderita begitu lama. Oleh karena itu, aku pun bertekad untuk memberikan
sedikit kebahagian kepadanya.
….
“Res,
kenal si Robi teman SMP kitakan?” Pertanyaan teman sekamarku ini membuatku
segera memutar otak untuk kembali mengenang masa-masa SMP kami.
“Tentu
saja. Kenapa tiba-tiba menanyai dia?”
“Kabarnya
dia kecelakaan, loh.”
Tentu
saja aku kaget mendengar berita duka tersebut. Tapi, entah kenapa raut wajahku
tak berkata demikian. Masih dengan ekspresi datar yang selalu kutampilkan
dikala berjumpa orang-orang yang baru kukenal. Ketika mengingat kenangan ini,
aku benar-benar merasa menyesal karena sama sekali tak simpati akan kondisi
temanku tersebut.
“Dia
dirawat di rumah sakit sini?”
“Kayaknya
sih, bagaimana? Mau menjenguk dia?”
Sepertinya
respon yang kuberikan agak mengecewakan teman sekamarku. Sebab, pada saat itu
aku malah mengabaikannya dan sibuk dengan laptopku. Dia pun enggan untuk
bertanya kembali. Betapa bodohnya aku yang tidak menanyai lebih lanjut akan
keadaannya. Hingga waktu pun terus bergerak dan meninggalkan penyesalan bagiku.
…
“Res,
masih ingat Robi teman SMP kita dulu?” Rasanya seperti dejavu dikala
pertanyaan yang sama dilontarkan oleh pamanku saat kami kumpul.
“Wah,
ingat dong. Kenapa dengan dia?” Kali ini tampaknya aku mulai mencoba untuk
lebih simpati.
“Sekitar
satu setengah tahun lalu diakan kecelakaan, nah sekarang keadaannya agak
menyedihkan.”
Mendengar
cerita tersebut, entah kenapa aku mulai merasakan perasaan yang tidak
menyenangkan. Aku memiliki firasat buruk akan kalimat lanjutan yang akan
dilontarkan pamanku ini.
“Waktu
dulu diperiksa, memang tidak ada luka fisiki yang terlalu parah. Tapi, rupanya
Allah berkata lain. Saat itu, ada saraf dari tulang belakangnya yang putus dan
dokter tidak yakin akan sembuh jika dilakukan operasi kala itu.”
Raut
wajahku sudah mulai berubah sembari mendengar seksama cerita pamanku tersebut.
Firasatku sepertinya sudah mulai menunjukkan penampakannya.
“Nah,
sekarang dia hanya bisa berbaring walau sudah berbagai macam pengobatan
dilakukan.”
“Maksud
paman, dia tidak bisa berjalan lagi?”
Pamanku
hanya mengangguk lemah ketika kata-kata “tidak bisa berjalan” kuucapkan. Kala
itu, aku diam-diam menitikkan air mata, ketika mengetahui keadaan teman yang
dulu kuabaikan, dikala dia kecelakaan. Entah kenapa aku benar-benar menyesal
tidak pernah menjenguk dan melihat kondisinya. Satu setengah tahun bukan waktu
yang singkat untuk mengabaikan hal tersebut.
Aku
sedih dan hampir setiap saat jadi memikirkan keadaannya. Seingatku, dia pribadi
yang pekerja keras walau memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikannya.
Hidup terkadang harus memilih. Dia lebih memilih untuk mencari penghasilan
terlebih dahulu, sebab dia tidak ingin menyusahkan orang tuanya.
Aku
benar-benar tidak menyangkan bahwa kecelakaan yang dialaminya memberikan luka
yang mendalam kepadanya. Ya Allah, aku benar-benar ingin menjumpainya dan
menyemangatinya walau mungkin sudah basi. Satu setengah tahun telah berlalu dan
sekarang aku tiba-tiba muncul? Sungguh bukan cerita yang menganggumkan untuk
dibanggakan. Walau mungkin nanti ada sedikit rasa malu dan segan, namun entah
kenapa hati ini begitu tergerak untuk menemuinya sesegera mungkin.
….
“Hai Robi, bagaimana kabarmu kawan?”
“Sehat selalu ya. Tersenyumlah selalu walau hidup tak berkata
demikian.”
“Allah sayang Robi, makanya DIA memberikan titipan kepada, Robi.”
“Bersabarlah selalu sebab Allah akan menyiapkan scenario lain
untukmu, kawan”
“berprasangka baiklah selalu kepadaNya, sebab DIA takkan pernah
menyiksa kita dengan begitu jahat.”
“Hidup yang akan dilalui kelak memang akan sedikit berbeda.”
“Namun, percayalah bahwa Allah akan selalu membimbing dan
menguatkanmu.”
“Mungkin, adakalanya kesedihan mengahmpiri kelak.”
“Tetaplah berpegang kepadaNya, maka kau takkan kehilangan arah.”
“Teruslah semangat demi keluarga yang menyayangimu dengan luapan
yang begitu besar.”
….
“Hidup terkadang tidak sesuai harapan. Namun, disitulah Allah
mengajarkan kita untuk selalu berprasangkan baik akan nasib dan takdir yang
ditetapkanNYA. Percayalah bahwa Allah selalu bersama orang-orang yang tetap
sabar menghadapinya.”
No comments:
Post a Comment