Friday, March 10, 2017

(Cerpen) Bersabarlah



Suasana sore itu lumayan ramai. Ketika aku memperhatikan sekeliling, begitu banyak orang yang mondar-mandir mencari buku yang menurut mereka bagus. Ada yang serius membaca satu buku, ada yang hanya membolak-balik buku, ada yang hanya memperhatikan sembari menyusuri tiap rak buku, ada juga benar-benar berniat untuk membeli buku. Begitulah gambaran suasana toko buku yang kali ini kukunjungi. Memang, adakalanya konsumen hanya sekedar melihat dan membaca tanpa niat untuk membeli, namun banyak juga yang benar-benar untuk memiliki buku favorit mereka. Untuk kali ini, sepertinya aku termasuk ke dalam kategori konsumen kedua. 

Kala itu, aku benar-benar serius memperhatikan buku-buku islami yang terpajang ditiap-tiap rak. Aku tidak ingin salah pilih. Aku tidak ingin mengecewakan seseorang yang akan menerima buku ini nantinya. Maka, aku pun membaca ringkasan tiap buku yang tertera dibagian belakang bukunya. Jujur saja, aku sempat bingung memilih yang cocok untuk dibacanya. Selain begitu banyak buku bagus, aku juga bingung menentukan jenis buku yang disukainya. Dua jam bukan waktu yang singkat untuk melihat, mencari, menentukan buku yang harus dibeli. Tapi, aku menghiraukan semua hal tersebut. sebab, aku benar-benar ingin membuatnya bahagia dan tersenyum manis kepadaku. Apalagi besok adalah pertemuan pertama kali setelah sekian lama loss contact. Peristiwa itulah yang membuat kami dipertemukan Allah kembali. Peristiwa yang merenggut separuh kebahagiannya. Sungguh, tak banyak yang bisa kulakukan. Aku benar-benar menyesal karena mengabaikan berita itu sekitar satu setengah tahun yang lalu. Aku tidak menyangka bahwa peristiwa itu akan memberikan dampak yang sangat fatal kepadanya. Betapa bodohnya diri ini ketika harus mengetahui dikala dia telah menderita begitu lama. Oleh karena itu, aku pun bertekad untuk memberikan sedikit kebahagian kepadanya. 
….

“Res, kenal si Robi teman SMP kitakan?” Pertanyaan teman sekamarku ini membuatku segera memutar otak untuk kembali mengenang masa-masa SMP kami.

“Tentu saja. Kenapa tiba-tiba menanyai dia?” 

“Kabarnya dia kecelakaan, loh.”

Tentu saja aku kaget mendengar berita duka tersebut. Tapi, entah kenapa raut wajahku tak berkata demikian. Masih dengan ekspresi datar yang selalu kutampilkan dikala berjumpa orang-orang yang baru kukenal. Ketika mengingat kenangan ini, aku benar-benar merasa menyesal karena sama sekali tak simpati akan kondisi temanku tersebut.

“Dia dirawat di rumah sakit sini?”

“Kayaknya sih, bagaimana? Mau menjenguk dia?”

Sepertinya respon yang kuberikan agak mengecewakan teman sekamarku. Sebab, pada saat itu aku malah mengabaikannya dan sibuk dengan laptopku. Dia pun enggan untuk bertanya kembali. Betapa bodohnya aku yang tidak menanyai lebih lanjut akan keadaannya. Hingga waktu pun terus bergerak dan meninggalkan penyesalan bagiku.

“Res, masih ingat Robi teman SMP kita dulu?” Rasanya seperti dejavu dikala pertanyaan yang sama dilontarkan oleh pamanku saat kami kumpul.

“Wah, ingat dong. Kenapa dengan dia?” Kali ini tampaknya aku mulai mencoba untuk lebih simpati.

“Sekitar satu setengah tahun lalu diakan kecelakaan, nah sekarang keadaannya agak menyedihkan.”

Mendengar cerita tersebut, entah kenapa aku mulai merasakan perasaan yang tidak menyenangkan. Aku memiliki firasat buruk akan kalimat lanjutan yang akan dilontarkan pamanku ini.

“Waktu dulu diperiksa, memang tidak ada luka fisiki yang terlalu parah. Tapi, rupanya Allah berkata lain. Saat itu, ada saraf dari tulang belakangnya yang putus dan dokter tidak yakin akan sembuh jika dilakukan operasi kala itu.”

Raut wajahku sudah mulai berubah sembari mendengar seksama cerita pamanku tersebut. Firasatku sepertinya sudah mulai menunjukkan penampakannya.

“Nah, sekarang dia hanya bisa berbaring walau sudah berbagai macam pengobatan dilakukan.”

“Maksud paman, dia tidak bisa berjalan lagi?”

Pamanku hanya mengangguk lemah ketika kata-kata “tidak bisa berjalan” kuucapkan. Kala itu, aku diam-diam menitikkan air mata, ketika mengetahui keadaan teman yang dulu kuabaikan, dikala dia kecelakaan. Entah kenapa aku benar-benar menyesal tidak pernah menjenguk dan melihat kondisinya. Satu setengah tahun bukan waktu yang singkat untuk mengabaikan hal tersebut. 

Aku sedih dan hampir setiap saat jadi memikirkan keadaannya. Seingatku, dia pribadi yang pekerja keras walau memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikannya. Hidup terkadang harus memilih. Dia lebih memilih untuk mencari penghasilan terlebih dahulu, sebab dia tidak ingin menyusahkan orang tuanya. 

Aku benar-benar tidak menyangkan bahwa kecelakaan yang dialaminya memberikan luka yang mendalam kepadanya. Ya Allah, aku benar-benar ingin menjumpainya dan menyemangatinya walau mungkin sudah basi. Satu setengah tahun telah berlalu dan sekarang aku tiba-tiba muncul? Sungguh bukan cerita yang menganggumkan untuk dibanggakan. Walau mungkin nanti ada sedikit rasa malu dan segan, namun entah kenapa hati ini begitu tergerak untuk menemuinya sesegera mungkin.

….

“Hai Robi, bagaimana kabarmu kawan?”

“Sehat selalu ya. Tersenyumlah selalu walau hidup tak berkata demikian.”

“Allah sayang Robi, makanya DIA memberikan titipan kepada, Robi.”

“Bersabarlah selalu sebab Allah akan menyiapkan scenario lain untukmu, kawan”

“berprasangka baiklah selalu kepadaNya, sebab DIA takkan pernah menyiksa kita dengan begitu jahat.”

“Hidup yang akan dilalui kelak memang akan sedikit berbeda.”

“Namun, percayalah bahwa Allah akan selalu membimbing dan menguatkanmu.”

“Mungkin, adakalanya kesedihan mengahmpiri kelak.”

“Tetaplah berpegang kepadaNya, maka kau takkan kehilangan arah.”

“Teruslah semangat demi keluarga yang menyayangimu dengan luapan yang begitu besar.”

….

Hidup terkadang tidak sesuai harapan. Namun, disitulah Allah mengajarkan kita untuk selalu berprasangkan baik akan nasib dan takdir yang ditetapkanNYA. Percayalah bahwa Allah selalu bersama orang-orang yang tetap sabar menghadapinya.”





No comments:

Post a Comment