Thursday, July 21, 2016

Ketika Allah menegurku dengan caraNya (Part I)

Aku masih saja mendiamkan semua yang kurasakan. Aku masih saja memendam dan acuh untuk menyuarakan apa yang kupikirkan. Aku masih merasa besar kepala bahwa tanpa mereka pun aku mampu mengatasinya. Aku menganggap bahwa aku kuat tanpa mereka. Aku merasa sombong bahwa aku bisa mengatasi sendiri semua yang terjadi pada diriku. Aku benar-benar telah merasa bahwa mereka takkan mampu membantu dan merasakan apa yang kurasakan, sehingga aku memilih menjauh, mendiamkan dan mengatasinya sendiri. 

Aku benar-benar bodoh, kenapa demikian? Kepada orang tua pun aku enggan berbagi. Aku sendiri heran, kenapa aku bisa bersikap demikian. Apakah aku orang yang cuek? Apakah aku tipe manusia yang sombong? Entahlah. Aku pun bingung. Rupanya Allah tidak merasa bahwa aku kuat jika sendiri. Allah merasa aku harus bisa berbagi dengan semua apa yang kurasakan. Allah merasa bahwa aku harus mencoba untuk saling terbuka dengan yang lain. Inilah cara Allah menegurku. Inilah cara Allah menyadarkanku. Inilah cara Allah menampar kesombonganku. Masih dengan caraNya yang unik dan tak terduga. 

Saat itu, Allah menitipkan suatu yang tak pernah kuduga sebelumnya. Sesuatu yang membuatku shock dan agak depresi ketika mendapatinya. Sesuatu yang bisa saja malah akan membuatku semakin terpuruk. Tapi, Allah tidak pernah meninggalkan hambaNya ketika DIA menitipkan ujian. Allah selalu mendorong ketika kita mulai terpuruk dan menarik ketika kita mulai merasa lelah menjalaninya. 

Nah, teman-teman penasarankah apa yang dititipkan Allah kepadaku?

Sesuatu yang bagi orang lain kemungkinan hanya hal biasa, namun tidak bagiku. Sesuatu yang menurut orang lain tidak terlalu berbahaya, namun tidak bagiku. Sesuatu yang benar-benar membuatku menyesali semua yang telah telah terjadi.

Dokter sempat menyatakan bahwa ada kemungkinan aku akan cacat jika terlambat mengobatinya. Bayangkan betapa kaget dan sedihnya ketika aku mendengarnya. Aku berusaha tidak menangis ketika dokter berujar demikian. Aku berusaha kuat dan yakin bahwa Allah takkan membiarkanku cacat. 

Nah, teman-teman makin penasaran dengan penyakitku?

hehe, sebenarnya penyakit yang pernah kuderita tidak terlalu parah, seperti tumor, kanker atau penyakit parah lainnya. Bukan bukan. Aku pun takut jika menderita penyakit yang demikian. Aku tetap bersyukur Allah tidak menitipkan penyakit yang demikian. Sekiranya, ini hanyalah penyakit yang telah banyak juga diderita orang lain, dan mereka Alhamdulillah sembuh. Oleh sebab itu, pemikiran seperti ini cukup menguatkanku walau masih merasa sedih. Ya, aku yakin bahwa kita semua pasti akan merasa sedih ketika menderita penyakit yang tidak biasa atau tidak pernah diderita sebelumnya. Tapi, sekali lagi, bagiku inilah cara Allah menegurku.

                                                                                        ......

2014. Malam itu, aku mengalami demam yang lumayan tinggi selama 2 hari berturut-turut. Sewaktu malam kedua, aku mulai merasa bahwa mataku yang sebelah kanan agak susah digerakkan. Bahkan aku merasa mataku tidak lagi sama besarnya. Aku meminta nenek untuk memperhatikannya, beliau menyatakan bahwa tidak terjadi apa-apa dengan mataku. Tapi, aku tetap keukeh merasa bahwa ada yang tidak beres dengan mataku. 

Hari berikutnya, demamku mulai turun. Aku pun mulai bercermin dan memperhatikan mataku. Ternyata memang benar tidak terjadi apa-apa. Rupanya hanya perasaanku saja. Aku sedikit merasa bersalah berpikiran yang tidak-tidak sebelumnya. Kemudian, aku iseng menggembungkan kedua pipiku. Aku merasa aneh, kenapa aku tak mampu menggerakkan pipi sebelah kanan? Kenapa rasanya aku tak bertenaga untuk menggembungkannya? Awalnya aku hanya mengabaikannya. Aku tidak berani mempertanyakan lebih lanjut kepada nenekku. Aku lebih memilih diam. Namun, rupanya itulah awal mula penyakit tersebut. 

Keesokan paginya, aku pun pergi ke toko buku bersama temanku. Dalam perjalanan pulang, aku mulai merasa keanehan ketika tersenyum. Aku merasa bahwa senyumku tidak seperti sebelumnya lagi. Aku masih mendiamkannya hingga malam pun telah berlalu.

Keesokan harinya, lagi-lagi aku iseng bercermin dan mencoba untuk tersenyum. Rupanya benar jika saraf-saraf muka sebelah kananku tidk berfungsi lagi. Aku mulai panik dan menelpon orang tua. Mereka menyarankanku untuk pulang kampung. Sebelum pulang, aku menyempatkan diri untuk berobat dan menanyakan penyakit yang kuderita. Dokter menyarankan agar aku diterapi. Aku pun hanya mengiya-iyakan kata dokter tersebut. Oh ya, sampai sekarang belum diketahui penyebab pasti penyakit tersebut.

Setiba di kampung, aku langsung mengadukan penyakit yang ku alami. Aku tidak memberitahu kepada orang tua  bahwa penyembuhan penyakit ini harus melalui terapi. Aku takut menyusahkan orang tua dalam menanggung biaya pengobatan. Akhirnya orang tua, menganjurkan untuk berobat secara tradisional. Aku bersyukur karena aku yakin tidak akan menghabiskan banyak uang. Rupanya, pemikiran seperti itu salah besar. Kenapa demikian? Memang ada beberapa penyakit yang bisa disembuhkan secara tradisional, tetapi ada beberapa yang harus disembuhkan melalui pengobatan dokter. Nah, karena penyakit saya berhubungan dengan saraf, maka lebih baik konsultasikan dengan dokter. 

Tahukah teman-teman selama menjalani pengobatan tradisional, sama sekali tidak ada kemajuan. Padahal aku harus menahan sakit yang luar biasa ketika diobati. Bahkan, aku sampai menangis ketika si nenek mengurut pipi-pipiku. Oh ya, aku bercerita sedikit mengenai pengobatan tradisional yang telah kujalani. Awalnya si nenek memanaskan ramuan seperti minyak (aku tidak tahu jenisnya, tapi sepertinya obat tersebut tidak pernah diganti, hehe maaf nenek). Kemudian, si nenek mulai memijat-mijat pipiku dengan minyak tersebut. Awalnya tidak sakit, tapi lama-kelamaan kok aku merasa sakit. Tapi, aku berusaha menahan rasa sakit tersebut. Aku berobat secara tradisional selama 3 hari berturut-turut dalam minggu pertama, dan kembali ke Pekanbaru untuk kuliah. Sebab, saat itu aku masih belum libur. Nah, minggu berikutnya aku kembali pulang kampung untuk menjalani pengobatan. Setiap hari, orang tua bertanya perkembangannya, aku hanya menggeleng. Sebab, memang belum ada perkembangan apa-apa. Yang ada malah pipi dan telingaku jadi sakit jika digerakkan. Sebenarnya, pada minggu kedua, aku mulai mengeluh akan rasa sakit tersebut. Tetapi, orang tua menyarankan agar aku bersabar dalam menjalaninya. Aku pun menurut saja. 

Singkat cerita, pengobatan minggu kedua telah usai, namun belum tampak perkembangan apa-apa. Yang ada malah mukaku kena alergi karena minyak yang diolesi selama pengobatan. Mukaku merah-merah dan berjerawat. Hal ini semakin menambah kesedihanku. Tampaknya orang tuaku juga mulai khawatir dan panik. Aku yakin jika orang tuaku merasa sedih atas kondisi yang kualami. Aku yakin merekalah yang lebih memikirkan yang kualami. Apakah aku sedih dan menangis ketika menghadapi bahwa saraf diseparuh wajahku tak berfungsi lagi? Tentu. Aku sedih sekali. Tapi, aku berusaha menyembunyikannya agar aku tak menambah khawatir dan pemikiran orang tua. Aku berusaha untuk kuat. Aku yakin Allah akan menguatkanku.

Bersambung...

Lanjutannya akan saya update beberapa hari lagi. Tunggu cerita selanjutnya ya. 

No comments:

Post a Comment