Thursday, November 16, 2017

Cerpen : Qadarullah Perihal Jodoh (Part Cewek)

Aku mengenal seseorang yang begitu baik, ulet dan pribadi yang bertanggung jawab. Awalnya aku menyangka dia  hanya seorang petugas kebersihan, rupanya dia merupakan salah satu kepala bagian di kantor tempatku bekerja. Rasa penasaran dan kagum makin merasuk hatiku hingga memberanikan diri untuk lebih dekat dengannya.

Kedekatan yang terjalin akhirnya membawa kami pada proses pertunangan. Kami sudah mempersiapkan pernikahan yang sudah semakin dekat. Namun, entah apa yang membuatnya goyah hingga pada akhirnya membatalkan pernikahan yang telah direncanakan. Keluargaku bahkan sudah memesan hotel, baju, surat undangan yang siap disebar dan semua persiapan lainnya.

Hatiku hancur. Namun, aku beruntung karena Allah masih menghadirkan orang-orang baik dalam kehidupanku. Keluargaku selalu menghiburku yang semakin terpuruk. Bahkan, mama rela menemaniku di perantauan atau lebih tepatnya rumah paman untuk menenangkan hatiku yang masih kalut akan kesedihan. Mungkin, karena hal inilah aku menjadi semakin dekat dengan-Nya.

Sebulan setelah kejadian tersebut hatiku semakin membaik. Tak bisa dipungkiri bahwa kejadian tersebut belum bisa hilang sepenuhnya dari pikiranku. Namun, hatiku menjadi lebih tenang dan damai ketika mengingat kembali hal tersebut. Mungkin, saat ini aku jauh lebih kuat dibanding sebelum-Nya.

Suatu hari, senior di kantor tempatku bekerja bertanya kepadaku.

“Dek Raisya, abang punya adik yang saat ini sedang mencari pendamping hidup. Kalau adek bersedia, insyaAllah akan abang kenalkan dengannya.”

Pertanyaan tersebut sempat membuatku terdiam. Ada sedikit kebimbangan ketika pertanyaan tersebut diajukan kepadaku. Hatiku belum sanggup jika hal yang sama terulang kembali. Padahal, aku sudah bersusah payah mengobati hati yang terkoyak karena pengkhiatan yang dilakukan mantan tunanganku dulu. Namun, entah kenapa saat  itu, aku menyanggupinya. Mungkin, tak pernah kusadari bahwa Allah lah yang menggerakkan hatiku agar menerima tawaran tersebut.

Tak lama kemudian, kami berjumpa. Sekilas dia tampak cuek dan tak banyak bicara. Aku pun demikian. Tak banyak hal yang kami bicarakan. Sementara, abang yang menemaninya intens untuk membuka komunikasi di antara kami. Namun, dia tak tetap tak banyak bicara.
Pertemua tersebut usai begitu saja. Perasaanku tak menentu. Aku masih bingung akan sikapnya terhadapku. Namun, karena lagi-lagi Allah menggerakkan hati ini, maka aku memberanikan diri mempertanyakan perihal pertemuan tersebut kepada sang abang. Beliau menyarankan untuk bersabar, sebab sang adik belum menunjukkan respon apa-apa.

Dua hari kemudian, aku menerima pesan dari sang abang kalau sang adik ingin berjumpa kembali denganku. Tentu saja saat itu aku menyanggupinya. Kami bertemu kembali, namun dengan suasana yang sedikit berbeda. Kali ini dia berusaha untuk memulai komunikasi denganku.

Kisah pertemuanku dengannya tentu saja kuceritakan ke mama yang kala itu masih tinggal bersamaku di rumah paman.

“Coba kamu ajak dia ke rumah, dek.”

“Loh, bukankah itu terlalu cepat?”

“Ini bukanlah perkara cepat atau lambat, dek. Mama hanya ingin melihat keseriusan dia. Mama mau memastikan apakah dia baik untukmu.”

“Oke. Tapi, papa juga harus kesini ya ma.”

Aku segera menghubungi papa dan beliau menyarankan untuk diadakan pertemuan keluarga. Kupikir ini terlalu cepat mengingat pertemuan kami hanya dua kali saja.

“Jika Allah berkata dia yang terbaik, maka percayalah akan Allah tunjukkan dengan cara-Nya.”

Aku menghubungi sang abang dan segera beliau menyampaikan pesan tersebut kepada sang adik yang saat itu sudah kembali ke Bandung untuk bekerja. Kebetulan dia mendapatkan pekerjaan yang jauh dari kampung halaman.

Minggu berikutnya dia kembali pulang kampung untuk memenuhi undangan keluargaku. Maka, malam itu diadakan pertemuan keluarga kedua belah pihak. Terkhusus papa menanyakan keseriusannya terhadap pemuda yang hanya satu minggu kumengenalnya. Tapi, Allah berkata lain. Allah merasa dia lah pria terbaik untuk mendampingiku.

“Apakah kamu sudah yakin dengan anakku, nak?”

“InsyaAllah sudah, pak.”

Seketika mendengar jawaban tersebut, air mata jatuh membasahi pipi papa. Aku sangat tau bahwa papa adalah laki-laki yang paling sedih ketika pertunanganku berakhir. Aku tau papa menyembunyikan kesedihannya agar tidak menambah beban pikiranku.

“Kalau begitu, alangkah baiknya jika secepatnya diadakan pertunangan agar adanya kepastian di antara mereka. Mengenai pernikahan akan diadakan sebulan lagi”

“Kapan?” Kataku.

“Besok malam.”

Semua serba tiba-tiba. Tapi, itulah rencana yang Allah ciptakan untukku. Akhirnya tanpa persiapan apa-apa, kami melangsungkan pertunangan dengan sangat sederhana. Hal ini berbading terbalik saat pertunanganku dengan mantanku yang dulu. Mungkin, Allah tidak suka dengan cara kami dulu, maka Dia tegur dengan cara seperti ini.


Alhamdulillah, saat ini kami sudah menikah dan dia memboyongku ke Bandung. Sikapnya yang cuek memang tidakkan pernah berubah karena itu sudah menjadi cirri khasnya. Dia adalah laki-laki yang tidak banyak ngomong ini itu. Tipe yang lebih suka to the point. Memang, aku belum seutuhnya mengenal sosok suamiku, namun melalui pernikahan ini aku akan semakin mengenalnya. Bukankah dalam pernikahanlah kita lebih mengenal sosok laki-laki yang kita cintai?

No comments:

Post a Comment