Aku mengenal seseorang yang begitu baik, ulet dan pribadi
yang bertanggung jawab. Awalnya aku menyangka dia hanya seorang petugas kebersihan, rupanya dia
merupakan salah satu kepala bagian di kantor tempatku bekerja. Rasa penasaran
dan kagum makin merasuk hatiku hingga memberanikan diri untuk lebih dekat
dengannya.
Kedekatan yang terjalin akhirnya membawa kami pada proses
pertunangan. Kami sudah mempersiapkan pernikahan yang sudah semakin dekat.
Namun, entah apa yang membuatnya goyah hingga pada akhirnya membatalkan
pernikahan yang telah direncanakan. Keluargaku bahkan sudah memesan hotel,
baju, surat undangan yang siap disebar dan semua persiapan lainnya.
Hatiku hancur. Namun, aku beruntung karena Allah masih
menghadirkan orang-orang baik dalam kehidupanku. Keluargaku selalu menghiburku
yang semakin terpuruk. Bahkan, mama rela menemaniku di perantauan atau lebih
tepatnya rumah paman untuk menenangkan hatiku yang masih kalut akan kesedihan. Mungkin,
karena hal inilah aku menjadi semakin dekat dengan-Nya.
Sebulan setelah kejadian tersebut hatiku semakin membaik. Tak
bisa dipungkiri bahwa kejadian tersebut belum bisa hilang sepenuhnya dari
pikiranku. Namun, hatiku menjadi lebih tenang dan damai ketika mengingat
kembali hal tersebut. Mungkin, saat ini aku jauh lebih kuat dibanding sebelum-Nya.
Suatu hari, senior di kantor tempatku bekerja bertanya
kepadaku.
“Dek Raisya, abang punya adik yang saat ini sedang mencari
pendamping hidup. Kalau adek bersedia, insyaAllah akan abang kenalkan
dengannya.”
Pertanyaan tersebut sempat membuatku terdiam. Ada sedikit
kebimbangan ketika pertanyaan tersebut diajukan kepadaku. Hatiku belum sanggup
jika hal yang sama terulang kembali. Padahal, aku sudah bersusah payah
mengobati hati yang terkoyak karena pengkhiatan yang dilakukan mantan
tunanganku dulu. Namun, entah kenapa saat
itu, aku menyanggupinya. Mungkin, tak pernah kusadari bahwa Allah lah
yang menggerakkan hatiku agar menerima tawaran tersebut.
Tak lama kemudian, kami berjumpa. Sekilas dia tampak cuek dan
tak banyak bicara. Aku pun demikian. Tak banyak hal yang kami bicarakan. Sementara,
abang yang menemaninya intens untuk membuka komunikasi di antara kami. Namun,
dia tak tetap tak banyak bicara.
Pertemua tersebut usai begitu saja. Perasaanku tak menentu.
Aku masih bingung akan sikapnya terhadapku. Namun, karena lagi-lagi Allah
menggerakkan hati ini, maka aku memberanikan diri mempertanyakan perihal
pertemuan tersebut kepada sang abang. Beliau menyarankan untuk bersabar, sebab
sang adik belum menunjukkan respon apa-apa.
Dua hari kemudian, aku menerima pesan dari sang abang kalau
sang adik ingin berjumpa kembali denganku. Tentu saja saat itu aku
menyanggupinya. Kami bertemu kembali, namun dengan suasana yang sedikit
berbeda. Kali ini dia berusaha untuk memulai komunikasi denganku.
Kisah pertemuanku dengannya tentu saja kuceritakan ke mama
yang kala itu masih tinggal bersamaku di rumah paman.
“Coba kamu ajak dia ke rumah, dek.”
“Loh, bukankah itu terlalu cepat?”
“Ini bukanlah perkara cepat atau lambat, dek. Mama hanya
ingin melihat keseriusan dia. Mama mau memastikan apakah dia baik untukmu.”
“Oke. Tapi, papa juga harus kesini ya ma.”
Aku segera menghubungi papa dan beliau menyarankan untuk
diadakan pertemuan keluarga. Kupikir ini terlalu cepat mengingat pertemuan kami
hanya dua kali saja.
“Jika Allah berkata dia yang terbaik, maka percayalah akan
Allah tunjukkan dengan cara-Nya.”
Aku menghubungi sang abang dan segera beliau menyampaikan
pesan tersebut kepada sang adik yang saat itu sudah kembali ke Bandung untuk
bekerja. Kebetulan dia mendapatkan pekerjaan yang jauh dari kampung halaman.
Minggu berikutnya dia kembali pulang kampung untuk memenuhi
undangan keluargaku. Maka, malam itu diadakan pertemuan keluarga kedua belah
pihak. Terkhusus papa menanyakan keseriusannya terhadap pemuda yang hanya satu
minggu kumengenalnya. Tapi, Allah berkata lain. Allah merasa dia lah pria
terbaik untuk mendampingiku.
“Apakah kamu sudah yakin dengan anakku, nak?”
“InsyaAllah sudah, pak.”
Seketika mendengar jawaban tersebut, air mata jatuh
membasahi pipi papa. Aku sangat tau bahwa papa adalah laki-laki yang paling
sedih ketika pertunanganku berakhir. Aku tau papa menyembunyikan kesedihannya
agar tidak menambah beban pikiranku.
“Kalau begitu, alangkah baiknya jika secepatnya diadakan
pertunangan agar adanya kepastian di antara mereka. Mengenai pernikahan akan
diadakan sebulan lagi”
“Kapan?” Kataku.
“Besok malam.”
Semua serba tiba-tiba. Tapi, itulah rencana yang Allah
ciptakan untukku. Akhirnya tanpa persiapan apa-apa, kami melangsungkan
pertunangan dengan sangat sederhana. Hal ini berbading terbalik saat pertunanganku
dengan mantanku yang dulu. Mungkin, Allah tidak suka dengan cara kami dulu,
maka Dia tegur dengan cara seperti ini.
…
Alhamdulillah, saat ini kami sudah menikah dan dia
memboyongku ke Bandung. Sikapnya yang cuek memang tidakkan pernah berubah
karena itu sudah menjadi cirri khasnya. Dia adalah laki-laki yang tidak banyak
ngomong ini itu. Tipe yang lebih suka to the point. Memang, aku belum
seutuhnya mengenal sosok suamiku, namun melalui pernikahan ini aku akan semakin
mengenalnya. Bukankah dalam pernikahanlah kita lebih mengenal sosok laki-laki
yang kita cintai?
No comments:
Post a Comment