Sunday, November 19, 2017

Cerpen : Qadarullah Perihal Jodoh (Part Cowok)

“Bu, malam ini kita makan malam di luar ya. Boleh ajak teman, bu? Tapi cewek.”

Kegugupan sedikit menghampiri ketika kalimat tersebut terlontar dimulutku. Mungkin, ini kali pertama aku membicarakan hal ini kepada orang tua terutama ibu yang kebetulan kala itu sedang di Bandung bersamaku. Ibu menemaniku beberapa hari sebelum keberangkatanku ke Amerika untuk melakukan kunjungan kerja. 

Itulah kali pertama dirinya jumpa ibuku. Dia sedikit gugup tapi aku berusaha membuatnya tetap rileks saat komunikasi dengan ibu. Satu masalah yang kuhadapi saat itu hanyalah kendala bahasa. Ibu sangat pemalu ketika kusarankan berbahasa Indonesia, hingga seringkali harus ditranslate agar dirinya paham apa yang dimaksud ibu.

Pertemuan malam ini berakhir dengan sangat baik. Kulihat ibu menyukainya. Syukurlah. Jadi, setidaknya aku bisa melangkah maju untuk ke tahap selanjutnya. Jujur saja, usiaku saat ini sudah sangat mapan untuk membina rumah tangga. Ditambah lagi pertanyaan ayah yang kerapkali menghantuiku. Sudah banyak perempuan yang ditawarkan kepadaku, hanya saja saat itu aku belum  menemukan yang cocok dan sesuai dengan pilihanku. Mungkin, dirinya satu-satu wanita yang bisa mencapai hatiku.
…..
Lebaran tahun ini aku berniat untuk membicarakan perihal wanita tersebut ke ayah agar beliau tidak risau lagi dengan kehidupanku selama single di Bandung. Beliau memang sangat prihatin dengan kondisiku yang tiap pulang rumah tidak ada yang menyambut, tidak ada yang membantuku memasak dan hal-hal lain. Beliau sangat tahu bahwa pekerjaan kantor kerapkali membuatku sering lembur hingga pulang dalam keadaan letih. Tentunya, ayah berharap jika saat pulang sudah ada yang menyambutku.

“Ayah, aku berniat menikahi seorang wanita.”

“MasyaAllah. Benarkan nak? Orang mana?”

“Orang Bogor, yah.”

Sesaat ayah terdiam lalu melanjutkan pembicaraannya.

“Kapan kita bisa jumpa keluarganya?”

“Agus masih menunggu kepastian dari dia, yah. Segera mungkin akan Agus kabari ke Ayah.”

Tampak sedikit keraguan diwajah ayah saat kumengatakan asal sang wanita. Tapi, cepat-cepat kutepis perasaan curiga tersebut. Ibu sudah menyetujuinya sebab bagi beliau jika sang wanita baik dan shaleha maka tidak ada masalah sama sekali.
….
Waktu semakin berlalu, namun lagi-lagi sang wanita menyuruhku untuk menunggu. Aku sendiri tidak pernah tahu sampai kapan aku harus menunggu kepastian dari dia. Sementara itu, keluargaku sudah seringkali menanyakan kejelasannya agar  mereka bisa segera ke rumah keluarga sang wanita.

Saat itu, semua keputusan kuserahkan kepada Allah. Aku lebih mendekatkan diri kepada-Nya agar Dia segera mempertemukan dengan jodohku. Sudah lelah rasanya melakukan berbagai pertemuan dengan seseorang yang sekiranya bisa membuat hatiku condong kepadanya. Saat sudah menemukannya, malah Allah lagi-lagi menyuruhku untuk bersabar.

Hubunganku dengan sang wanita masih baik-baik saja. Komunikasi kami masih berjalan hingga idul adha menghampiri. Idul adha tahun ini kusempatkan untuk pulang kampung karena kondisi ayah yang lagi-lagi ambruk. Penyakit ayah memang sering kambuh, makanya tahun ini kusempatkan untuk melihat keadaannya.

“Bagaimana dengan dia, nak?”

“Sabar ya, ayah. Dia masih menunggu keputusan dari keluarganya, yah.”

Sebisa mungkin aku berusaha menenangkan hati ayah agar tidak terbebani dengan permasalahan yang kuhadapi.

Sebulan kemudian, komunikasiku dengan dirinya benar-benar tidak seperti dulu lagi. Aku sendiri tidak tahu penyebabnya. Saat kutanyai apa yang salah dengan sikapku, dia hanya mengatakan bahwa tidak terjadi apa-apa. Semua baik-baik saja.

Aku tahu bahwa dia berbohong. Aku tahu bahwa keadaan baik-baik saja. Tapi, dia tidak pernah memberikan alasan yang membuatku bisa menerima perlakukannya kepadaku. Saat itu, aku benar-benar sudah pasrah untuk menemukan calon pendamping hidupku. aku mengadukan semua yang kurasakan kepada Allah dan kuceritakan kepada ibu. Syukurlah beliau seorang wanita yang sangat tegar dan selalu memberikanku semangat.

“Berarti Allah akan mempertemukanmu dengan yang lebih baik, nak. Percayalah bahwa doa ibu selalu menyertaimu.”
Sebulan kemudian, lagi-lagi aku pulang kampung untuk melihat keadaan ayah yang ambruk. Tampaknya akhir-akhir ini keadaan ayah sangat tidak stabil. Mungkin, hal ini juga karena memikirkan diriku. Sungguh aku merasa bersalah kepada ayah yang sampai sekarang masih menyusahkan dirinya. Namun, ada kisah yang Allah ciptakan untukku saat kepulanganku kali ini.

“Agus, coba makan siang sama abang di Rumah Makan ya.”

Entah kenapa siang itu abang minta ditemankan makan siang. Tapi, karena sedang senggang, maka kusempatkan untuk menerima ajakannya. Tapi rupanya, abang bohong sebab tak lama kemudian ada seorang wanita yang datang menghampiri kami.

Rupanya inilah maksud abang untuk menyuruhku makan bersamanya. Ada usah dibalik bakwan. Aku hanya diam sebab diriku memang pribadi yang agak tertutup dan tak terbiasa berakrab ria dengan orang yang baru kukenal. Mungkin, saat itu handphone adalah pilihanku untuk tetap stay cool.
Sesampainya di rumah, tiba-tiba abang mengirimi pesan.

“Agus, bagaimana dengan wanita tadi? “InsyaAllah dia baik.”

Pertanyaan abangku sempat membuatku kaget. Tidak langsung kujawab. Aku meminta waktu untuk memikirkannya sebab masih ada trauma ketika sebulan lalu dirikku harus menerima kepahitan dari seseorang yang hendak kulamar.

“Kapan balek Bandung?”

“Dua hari lagi insyaAllah.”

“Pikirlah dalam waktu sesingkat itu ya. Minta sama Allah agar diberi petunjuk.”

Maka, aku semakin lekat dengan-Nya. Aku benar-benar minta petunjuk dari Allah mengenai seseorang yang hendak abang kenalkan kepadaku. Maka, Allah menggerakkan hatiku mencoba menemuinya kembali. Maka, sesegera mungkin aku menghubungi abang agar bisa dipertemukan kembali dengannya. Namun, kali ini dengan persiapan mental yang lebih bagus agar aku bisa sedikit mengenalnya.
Seminggu sudah pertemuan tersebut terjadi. aku tidak tau takdir seperti apa yang akan kami alami, namun dalam menemukan pendamping hidup, maka usaha kita harus ekstra sembari berdoa agar Allah berikan yang terbaik. Tak lama kemudian, pesan darinya menghiasi layar handphone.

“Abang, bisa abang jumpa keluarga adek? Papa ingin berjumpa dengan abang.”

Mungkin, Allahlah yang menguatkanku hingga dengan gagah kujawab bahwa aku siap menjumpai keluarganya. Maka, dua minggu kemudian aku kembali pulang kampung karena kebetulan keluarganya tetanggaan dengan rumahku. Malam itu, keluarga kedua belah pihak dipertemukan. Aku sempat deg-degan ketika pertanyaan tersebut diajukan.

“Nak Agus, apakah serius dengan anak saya?”

“InsyaAllah pak.”
….
Allah sudah mengatur sebaik-baiknya suatu episode kehidupan yang kita jalani. Aku tak pernah menyangka bahwa perkenalan selama seminggu saja bisa membawaku pada suatu pernikahan yang telah lama kuimpikan. Bahkan, aku sendiri tidak pernah menyangka dia adalah wanita yang selama ini menjadi tetanggaku. Rencana Allah memang selalu indah.






No comments:

Post a Comment