“Bu, malam ini kita makan malam di luar ya. Boleh ajak
teman, bu? Tapi cewek.”
Kegugupan sedikit menghampiri ketika kalimat tersebut
terlontar dimulutku. Mungkin, ini kali pertama aku membicarakan hal ini kepada
orang tua terutama ibu yang kebetulan kala itu sedang di Bandung bersamaku. Ibu
menemaniku beberapa hari sebelum keberangkatanku ke Amerika untuk melakukan kunjungan kerja.
Itulah kali pertama dirinya jumpa ibuku. Dia sedikit gugup
tapi aku berusaha membuatnya tetap rileks saat komunikasi dengan ibu. Satu
masalah yang kuhadapi saat itu hanyalah kendala bahasa. Ibu sangat pemalu
ketika kusarankan berbahasa Indonesia, hingga seringkali harus ditranslate agar
dirinya paham apa yang dimaksud ibu.
Pertemuan malam ini berakhir dengan sangat baik. Kulihat ibu
menyukainya. Syukurlah. Jadi, setidaknya aku bisa melangkah maju untuk ke tahap
selanjutnya. Jujur saja, usiaku saat ini sudah sangat mapan untuk membina rumah
tangga. Ditambah lagi pertanyaan ayah yang kerapkali menghantuiku. Sudah banyak
perempuan yang ditawarkan kepadaku, hanya saja saat itu aku belum menemukan yang cocok dan sesuai dengan
pilihanku. Mungkin, dirinya satu-satu wanita yang bisa mencapai hatiku.
…..
Lebaran tahun ini aku berniat untuk membicarakan perihal
wanita tersebut ke ayah agar beliau tidak risau lagi dengan kehidupanku selama
single di Bandung. Beliau memang sangat prihatin dengan kondisiku yang tiap
pulang rumah tidak ada yang menyambut, tidak ada yang membantuku memasak dan
hal-hal lain. Beliau sangat tahu bahwa pekerjaan kantor kerapkali membuatku
sering lembur hingga pulang dalam keadaan letih. Tentunya, ayah berharap jika
saat pulang sudah ada yang menyambutku.
“Ayah, aku berniat menikahi seorang wanita.”
“MasyaAllah. Benarkan nak? Orang mana?”
“Orang Bogor, yah.”
Sesaat ayah terdiam lalu melanjutkan pembicaraannya.
“Kapan kita bisa jumpa keluarganya?”
“Agus masih menunggu kepastian dari dia, yah. Segera mungkin
akan Agus kabari ke Ayah.”
Tampak sedikit keraguan diwajah ayah saat kumengatakan asal
sang wanita. Tapi, cepat-cepat kutepis perasaan curiga tersebut. Ibu sudah
menyetujuinya sebab bagi beliau jika sang wanita baik dan shaleha maka tidak
ada masalah sama sekali.
….
Waktu semakin berlalu, namun lagi-lagi sang wanita
menyuruhku untuk menunggu. Aku sendiri tidak pernah tahu sampai kapan aku harus
menunggu kepastian dari dia. Sementara itu, keluargaku sudah seringkali
menanyakan kejelasannya agar mereka bisa
segera ke rumah keluarga sang wanita.
Saat itu, semua keputusan kuserahkan kepada Allah. Aku lebih
mendekatkan diri kepada-Nya agar Dia segera mempertemukan dengan jodohku. Sudah
lelah rasanya melakukan berbagai pertemuan dengan seseorang yang sekiranya bisa
membuat hatiku condong kepadanya. Saat sudah menemukannya, malah Allah
lagi-lagi menyuruhku untuk bersabar.
Hubunganku dengan sang wanita masih baik-baik saja.
Komunikasi kami masih berjalan hingga idul adha menghampiri. Idul adha tahun
ini kusempatkan untuk pulang kampung karena kondisi ayah yang lagi-lagi ambruk.
Penyakit ayah memang sering kambuh, makanya tahun ini kusempatkan untuk melihat
keadaannya.
“Bagaimana dengan dia, nak?”
“Sabar ya, ayah. Dia masih menunggu keputusan dari
keluarganya, yah.”
Sebisa mungkin aku berusaha menenangkan hati ayah agar tidak
terbebani dengan permasalahan yang kuhadapi.
Sebulan kemudian, komunikasiku dengan dirinya benar-benar
tidak seperti dulu lagi. Aku sendiri tidak tahu penyebabnya. Saat kutanyai apa
yang salah dengan sikapku, dia hanya mengatakan bahwa tidak terjadi apa-apa.
Semua baik-baik saja.
Aku tahu bahwa dia berbohong. Aku tahu bahwa keadaan
baik-baik saja. Tapi, dia tidak pernah memberikan alasan yang membuatku bisa
menerima perlakukannya kepadaku. Saat itu, aku benar-benar sudah pasrah untuk
menemukan calon pendamping hidupku. aku mengadukan semua yang kurasakan kepada
Allah dan kuceritakan kepada ibu. Syukurlah beliau seorang wanita yang sangat
tegar dan selalu memberikanku semangat.
“Berarti Allah akan mempertemukanmu dengan yang lebih baik,
nak. Percayalah bahwa doa ibu selalu menyertaimu.”
…
Sebulan kemudian, lagi-lagi aku pulang kampung untuk melihat
keadaan ayah yang ambruk. Tampaknya akhir-akhir ini keadaan ayah sangat tidak
stabil. Mungkin, hal ini juga karena memikirkan diriku. Sungguh aku merasa
bersalah kepada ayah yang sampai sekarang masih menyusahkan dirinya. Namun, ada
kisah yang Allah ciptakan untukku saat kepulanganku kali ini.
“Agus, coba makan siang sama abang di Rumah Makan ya.”
Entah kenapa siang itu abang minta ditemankan makan siang.
Tapi, karena sedang senggang, maka kusempatkan untuk menerima ajakannya. Tapi rupanya,
abang bohong sebab tak lama kemudian ada seorang wanita yang datang menghampiri
kami.
Rupanya inilah maksud abang untuk menyuruhku makan
bersamanya. Ada usah dibalik bakwan. Aku hanya diam sebab diriku memang pribadi
yang agak tertutup dan tak terbiasa berakrab ria dengan orang yang baru
kukenal. Mungkin, saat itu handphone adalah pilihanku untuk tetap stay cool.
…
Sesampainya di rumah, tiba-tiba abang mengirimi pesan.
“Agus, bagaimana dengan wanita tadi? “InsyaAllah dia baik.”
Pertanyaan abangku sempat membuatku kaget. Tidak langsung
kujawab. Aku meminta waktu untuk memikirkannya sebab masih ada trauma ketika
sebulan lalu dirikku harus menerima kepahitan dari seseorang yang hendak kulamar.
“Kapan balek Bandung?”
“Dua hari lagi insyaAllah.”
“Pikirlah dalam waktu sesingkat itu ya. Minta sama Allah
agar diberi petunjuk.”
Maka, aku semakin lekat dengan-Nya. Aku benar-benar minta
petunjuk dari Allah mengenai seseorang yang hendak abang kenalkan kepadaku. Maka,
Allah menggerakkan hatiku mencoba menemuinya kembali. Maka, sesegera mungkin
aku menghubungi abang agar bisa dipertemukan kembali dengannya. Namun, kali ini
dengan persiapan mental yang lebih bagus agar aku bisa sedikit mengenalnya.
…
Seminggu sudah pertemuan tersebut terjadi. aku tidak tau
takdir seperti apa yang akan kami alami, namun dalam menemukan pendamping
hidup, maka usaha kita harus ekstra sembari berdoa agar Allah berikan yang
terbaik. Tak lama kemudian, pesan darinya menghiasi layar handphone.
“Abang, bisa abang jumpa keluarga adek? Papa ingin berjumpa
dengan abang.”
Mungkin, Allahlah yang menguatkanku hingga dengan gagah kujawab bahwa aku siap menjumpai keluarganya. Maka, dua minggu kemudian aku
kembali pulang kampung karena kebetulan keluarganya tetanggaan dengan rumahku.
Malam itu, keluarga kedua belah pihak dipertemukan. Aku sempat deg-degan ketika
pertanyaan tersebut diajukan.
“Nak Agus, apakah serius dengan anak saya?”
“InsyaAllah pak.”
….
Allah sudah mengatur sebaik-baiknya suatu episode kehidupan
yang kita jalani. Aku tak pernah menyangka bahwa perkenalan selama seminggu
saja bisa membawaku pada suatu pernikahan yang telah lama kuimpikan. Bahkan,
aku sendiri tidak pernah menyangka dia adalah wanita yang selama ini menjadi
tetanggaku. Rencana Allah memang selalu indah.
No comments:
Post a Comment