Saturday, November 18, 2017

Cerpen : Cinta Tak Musti Bersama (Part I)

Kehidupan ini benar-benar sesuatu yang tidak terduga. Kenapa demikian? Kita tidak pernah tahu kapan kita akan bahagia, kapan kita akan mendapatkan kesedihan, semuanya benar-benar tidak kita ketahui. Sesunggunya aku bukanlah orang yang pandai dalam merangkai kata-kata. Apa yang aku pikirkan dan aku rasakan, semuanya diungkapkan dengan kata-kata yang begitu sederhana tanpa harus merangkai sebuah kalimat yang bermakna dalam. kehidupan yang aku lalui tak obahnya dengan setiap untaian kalimat yang keluar dari mulut ini. Aku merasa seperti itu sebenarnya, tapi kenyataan berkata lain. Kisah cintaku bisa dikatakan menyedihkan karena pertama kalinya aku alami, walau mungkin saja orang lain telah terlebih dahulu merasakannya. Jujur saja bingung untuk mengatakannya, tapi aku merasa sangat sangat sedih.

Berikut segenlintir kisah yang dituangkan dalam bentuk cerpen.

“bagaimana scorenya?” kataku.

“yaaah, kelas Gea kalah, Ki.” Katanya dengan nada lesu. Gea adalah sahabatku semenjak SMA, sekarang dia kuliah di universitas yang berbeda denganku. Sempat sedih mendengar perpisahan ini, tapi setidaknya kami masih berada dikota yang sama. Itu sudah cukup menghiburku.

“ya uda, kita pulang lagi yuk, bosan juga kalau nungguin orang-orang ini pulang.” Katanya sembari mengajakku pulang.

“ha? Niki pulang sama siapa? Niki kan tidak bawa motor.”

Maka Geapun menghampiri temannya yang kebetulan tidak membonceng orang lain.

“pulang sama Rehan ya? Kebetulan dia sendiri.” Sembari memperkenalkan Rehan padaku.

Itulah awal pertemuaku dengan seseorang yang nantinya akan membawa kisah tersendiri untukku. Aku benar-benar tidak menyangka awal pertemuan ini menjadi kesedihan seumur hidupku. Kemudian kamipun pulang bersama. Aku yang biasanya begitu ceria, cerewet, sesaat hanya diam terpaku dibangku belakang. Tak banyak kata yang keluar. hanya menikmati semilir angin yang menerpa kami.
….
Beberapa minggu kemudian…

“Niki nggak ada komunikasi lagi sama Rehan?” Tanya Gea tiba-tiba yang tentu saja membuatku terkejut.

“loh? Ada apa Gea? Kok tiba-tiba?” tanyaku terheran-heran.

“houh…Gea kira Niki udah berteman sama dia.”

Sesungguhnya setelah kejadian kemarin kita tidak pernah berkomunikasi lagi, karena aku tidak sendiri awalnya memang tidak tertarik. Bukan berarti tidak tertarik sama Rehannya, tetapi memang tidak ada niat untuk dekat dengan siapapun.

Sebenarnya sewaktu aku bermalam ditempat Gea dia sempat main bareng temannya, tetapi aku menanggapi biasa saja. Tidak ada yang special dengan pertemuan itu. Suatu malam, teman-teman cowok Gea, si Paji dan  Seno datang untuk belajar bersama atau lebih tepatnya nyontek pr. Tak lama kemudian, si Rehan juga datang. Aku sebenarnya sudah kenal Paji, walau tidak dekat sewaktu kami SD dulu. Nah, karena kejadian inilah, aku sempat membuat kehebohan lantaran candaanku yang kelewat batas, yang ujung-ujungnya aku harus minta maaf sama mereka bertiga. Awalnya aku minta nomor ketiga orang ini melalui Gea. Tentu saja aku utarakan tujuanku sebenarnya.

Semenak itulah aku mulai sering sms-an dengan Rehan. Memang pada awalnya aku yang mulai duluan, namun lambat laun dia mulai yang duluan sms aku. Perasaanku pada saat itu mungkin senang, malahan kelewat senang. Karena aku mulai tertarik pada dia.
….
“ya Ampun, bagaimana ini? Niki harus nonton parade tari yang diadain sanggar malam ini. Gea mau menemani, Niki?” pintaku sambil memelas

“kenapa tidak sama Rehan saja?” jawabnya sembari menggodaku.

“tapi…”

“udah. Sms aja dia. Dia pasti mau.”

Akupun mengirim pesan singkat, dan aku bersyukur ternyata dia menyanggupinya. Kemudia kamipun pergi melihat parade tari tersebut. Semenjak kejadian itu, mungkin hanya perasaanku saja, kami mulai semakin dekat. Bahkan dia memintaku untuk membangunkannya sholat subuh.

Dari hari ke hari, kami mulai diejek oleh teman-temannya. Aku sebenarnya senang tapi terkadang perasaan malu juga bercampur.

“Gea yakin si Rehan suka Niki” katanya tiba-tiba

“ah, jangan berpikiran yang tidak-tidak, Gea”

“hmm…nggak percaya anak ini”

Aku sebenarnya dengan mungkin tingkat percaya diri yang melebihi batas, meyakini kalau dia juga suka. Tapi buru-buru menepisnya. Kemudian ejekan dan godaan lainnya semakin menghantui. Bahkan salah seorang saudara jauh Rehan mengatakan kalau dia benar-benar suka padaku. Tentu saja sebagai cewek tak dapat aku pungkiri kalau aku senang karena cintaku tak bertepuk sebelah tangan.



“baiklah nanti akan aku pastikan kepada dia” tekadku bulat.

Tapi tahukah kalian apa yang terjadi? Aku hanya dianggap teman semata, tak lebih. Aku sedih, sangat sedih. Bahkan menganggap dia sebagai cowok yang suka memberi harapan palsu. Aku kesal sama Rehan tapi aku tak bisa membencinya. Aku tak bisa melupakan perasaan ini. Sebenarnya aku akan terus bertahan dengan perasaan seperti ini, tapi kenyataan berkata lain. Dia mulai menjauh dan bahkan cuek kepadaku. Betapa bertambahnya kesedihanku pada saat  itu.

Bersambung...

No comments:

Post a Comment