Cuaca cerah
siang sama sekali tak menggubrik hatiku. Senyuman sang mentari dan awan tak
bisa menghampiri diriku yang hampa. Aku masih saja tertegun di depan batu nisan.
Hembusan angin sesekali menjatuhkan rambutku yang semakin panjang semenjak saat
itu, dan tentu saja tak kuurus lagi.
“ah…semua itu takkan kembali.”
Kenangku.
Tiba-tiba seseorang memanggilku.
“Alif ada telpon dari Ibumu.”
“baik, saya akan ke sana.”
Jawabku sesegera mungkin dan meninggalkan peristirahatan terakhir dirinya.
…
“bu, Alif pergi cari kerja dulu.”
Pamitku pada ibu yang sudah memasuki usia tuanya.
“jangan terlalu dipaksakan
anakku.”
“tidak apa-apa, bu. Tidak
selamanya ALif menggantungkan hidup ALif
pada ibu. Sekarang sudah saatnya Alif membalas jasa-jasa ibu.”
Ibu Halimah
adalah ibu angkatku dinegeri Minangkabau ini. Orang tuaku sendiri sudah lama
menghadap sang Khalik. Separuh hidupku ditanggung ibu Halimah. Hanya beliau
satu-satunya yang mau mengurusku. Sementara keluargaku yang lain, jauh dari
harapan. Jangankan untuk mengurusiku, memandangku saja tidak mau.
“ibu masih mampu mengurusimu,
nak.” Lanjutnya
“Alif tahu, bu. Namun tak
selamanya hal itu akan terjadi.” Balasku sambil meyakinkan ibu. Setelah itu aku
pun bergegas mencari pekerjaan. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, tak ada
satu pun yang menerimaku. Aku hampir saja berputus asa. Tiba-tiba pada suatu
hari ibu mengajukan hal yang sama sekali tak terpikirkan olehku.
“Alif, kemarin orang tua Friska
datang kesini.”
“hah? Mereka mau apa, bu?”
tanyaku penasaran
“kamu kan tahu kalau Friska orang yang terpandang
didesa kita, selain itu, dia juga anak yang baik dan berbakti kepda kedua orang
tuanya.” Jelas ibu panjang lebar.
“maksud ibu apa?”
“mereka mau meminang kamu, nak.”
“apa?” jawabku seraya tak
percaya.
Sungguh
aku tak pernah memikirkan hal itu. Dinegeri ini, hal meminang hanyalah hal
biasa, tak memandang bulu mau mulai dari mana. Aku benar-benar terkejut dan tak
mampu berujar lebih lanjut. Aku tahu benar kalu ibu menyuruhku untuk menerima
pinangan itu, karena ibu tak mau lagi melihatku seorang diri. Namun, hal itu
tak bisa kuterima begitu saja. Perkara pernikahan bukan hal sepele. Ini
menyangkut kehidupan seumur hidup.
“bu, Alif sangat mengerti
keadaannya. Namun, biarkan Alif untuk berpikir terlebih dahulu, bu.” Kataku
untuk menenangkan perasaan ibu.
Setelah berhari-hari, akhirnya
aku membulatkan tekad untuk menolak pinangan karena masih ingin menghidupi
keluargaku dengan usahaku dan menunda perkawinan untuk terlebih dahulu.
“bu, Alif sangat mengerti persaan
ibu. Namun, Alif akan mencari cara lain untuk memperbaiki perekonomian kita,
bu. Lagian, Alif belum mau menikah,bu. Biarlah Alif cari pekerjaan dulu.
Setelah baru Alif akan memenuhi keinginan ibu.”
“lakulan apa yang kau mau, Lif.
Yang terpenting sekarang, kamu mersa bahagia dan mendapat berkah yang di
ridhoi-Nya, tanpa paksaan apapun.” Balas ibu dedngan mata yang berkaca-kaca.
Akupun
pergi kedaerah yang tak pernah sekalipun ku kunjungi sebelumnya. Keluarga, satu
orang pun tak punya. Hanya bermodal nekat ku menuju kota
Jakarta ini.
Namun, rupanya, Allah menunjukkanku jalan kebaikan. Seorang paman yang berhati
baik mau menumpangiku tempat tinggal, dengan syarat mau menutupi kekurangan
karyawan dipabrik yang beliau kelola. Akupun memulai aktivitas sebagai karyawan
pabrik semen.
“nak Alif rajin ya.” Goda Pak
Makmur, teman sekerjaku.
“ah, biasa saja, pak.” jawabku
sambil malu-malu.
“oh ya, katanya kamu dari Sumbar
ya? Kok mau jauh-jauh datang kesini hanya untuk kerja sebagai buruh semen?”
“mau menbantu keluarga,pak.”
“ngomong-ngomong, istrinya gimana nih sekarang?” ejek Pak Makmur.
“saya belum beristri, pak”
jawablku seadanya.
“serius? Bapak tidak percaya
kalau dik Alif belum beristri. Padahal dik Alif ganteng loh.”
Aku hanya tersenyum mendengar
pyujian dari pak Makmur. Bukannya aku tak mau menikah, namun bagiku yang
terpenting sekarang adalah mebuat ibu di kampung kembali tersenyum dan
memperbaiki masalah ekonomi keluarga dikampung..
Suatu
hari, aku pergi kepasar karena pada saat itu kebetulan kami libur. Jadi, aku pun
menyempatkan diri untuk pergi ke pasar. Pada saat memasuki sebuah toko, tanpa
sengaja aku menyenggol bahu seorang perempuan. Sesegera mungkin aku minta maaf
dan membantunya memunguti barang belanjaannya yang jatuh.
“maaf, aku tak sengaja.” Kataku
dengan rasa bersalah yang amat sangat sambil memunguti barang-barangnya.
“tidak apa-apa. Kalau begitu saya
permisi ya?” jawabnya seraya meninggalkanku. Namun belum sempat dia pergi aku
menghadangnya terlebih dahulu.
“ada apa, mas?” katanya seraya
terkejut melihat tindakanku.
“maaf, nama adik siapa ya?”
Dia tak menjawab pertanyaanku,
melainkan berlalu di depanku seraya tersenyum simpul padaku. Aku yang berdiri
kaku hanya melongo menyaksikan tindakannya itu. Semenjak saat itulah, aku
semakin penasaran dengan perempuan itu. Aku pun memberanikan diri untuk
menanyakan identitasnya kepada pak Makmur.
“ooo…namanya sukma, Lif.
Memangnya ada apa? Kamu suka? Menurut bapak janganlah, Lif. Dia itu anak
konglomerat. Orang tuanya sudah menjodohkan anaknya. Mereka ndak bakal mau sama rakyat jelata kayak kita ini.” Jelas pak
Makmur panjang lebar.
“bapak ini bagaiman? Alif Cuma
ingin tahu saja kok, pak.” jawabku
untuk menutupi perasaanku yang sudah duluan terbaca. Namun, rupanya aku samasekali
tak bisa mengingkari perasaan itu.
Semenjak
itu, aku kerapkali mencari sukma di sela-sela libur. Rupanya, sukma pun
merespon dengan sangat baik. Sejak itu, aku pun mulai dekat denganya. Namun,
aku tetap tak bisa mengungkapkan perasaanku. Sampai pada suatu hari aku
dihampiri secara tiba-tiba oleh seorang bapak yang tak kukenal.
“Mana yang bernama Alif Darma?”
bentak bapak tersebut.
“saya, pak.” jawabku takut-takut.
“kamu jangan pernah sekali-kali
mendekati putriku.”
Maksud bapak?”
“jangan berpura-pura bodoh kamu.
Sukma itu sudah bertunangan dan kamu hanya akan menjadi benalu dalam ikatan
pertunangan Sukma dan Dirto.”
“saya tidak mempunyai hubungan
khusus dengan Sukma, pak”
“aku tak butuh jawabanmu. Saat
ini Sukma akan melakukan persiapan pernikahannya dengna Dirto. Jadi, selama itu
juga kau jangan mendekati Sukma.” Katanya seraya menunjuk-nunjuk muka Alif.
“kamu itu anak jelata. Orang seperti kamu tak dibutuhkan dalam keluarga kami.”
Semenjak
itu, Alif tak pernah lagi menemui Sukma. Disisi lain, Sukma merasa heran,
kenapa tiba-tiba Alif menjauhinya. Sukma samasekali tidak tahu kalau ayahnya
telah mengancam Alif jikalau dia tetap berani menemui Sukam, maka hidupnya akan
dihancurkan.
Awalnya,
Alif merasa biasa-biasa saja, namun semakin dia menahan perasaannya semakin
sulit dia melupakan Sukma. Maka beberapa jam sebelum pernikahan Sukma, Alif
nekat menemui Sukma dan mengajaknya kabur.
“aku tidak bisa melakukan itu
semua, Lif. Aku tak bisa pergi tanpa restu orang tua.” Balas Sukma dengan nada
sedih.
“kita bisa mengatsi semua itu, kalau
kita saling percaya.”
“tapi…”
“ahhh…mengapa perbedaan status
selalu menjadi kendala. Aku tidak habis pikir, kau juga termasuk di dalamnya,
Sukma.”
“bukan maksudku seperti itu, Lif.
Tapi, sebagai anak aku tidak ingin mengecewakan orang tua, aku tak mau jadi anak durhaka.”
“oohh…jadi kau memilih siapa
sekarang?”
Tanpa
jawaban, Sukma berlalu meninggalkan Alif dengan senyuman yang telah dibasahi
airmata.
No comments:
Post a Comment