Tentang rezeki, semua
sudah diatur Yang Maha Kuasa. Bukankah semua yang kita peroleh pada dasarnya
akan kembali kepada-Nya? Bukankah apa yang kita peroleh sekiranya jua dari Dia
yang Maha Pemberi? Kenapa harus ragu ketika menitipkan sebagian yang kita
miliki untuk memberikan secercah kebahagiaan kepada orang-orang yang
membutuhkannya. Kendati demikian, berbagi pun tidak harus melalui benda, bahkan
sekedar sapaan dan senyum sudah termasuk berbagi kepada sesama.
Janji-Nya selalu pasti
atas hamba-Nya yang tulus untuk berbagi dengan sesama makhluk-Nya. Halau
kegundahan dan keresehan akan pemikiran bahwa semua yang diberi akan mengurangi
yang telah dimilki. Sungguh pemikiran yang salah. Percaya dan yakini bahwa Dia
akan selalu mencukupkan dan bahkan akan Dia tambahkan atas apa-apa yang telah
kita slaurkan. Kenapa takut untuk berbagi?
Aku pernah menyaksikan
ketulusan saudaraku untuk berbagi kebahagiaan dengan saudaranya yang lain. Kejadian
ini sekitar tahun 2017, sebut saja namanya Candra. Dia sosok yang cukup dekat
denganku. Maklum, kami dulunya satu almamater saat kuliah. Hanya saja, dia
lebih memilih untuk menjalankan bisnis, sementara diriku lebih memfokuskan diri
untuk lanjut sekolah. Setelah sekian lama tidak berkomunikasi, tetiba dia
mengirimiku pesan terkait rencana dia untuk melakukan kegiatan sosial bersamaku
dan beberapa rekanku. Maka pertemuan pun kami lakukan.
“Dekat
rumahku ada panti asuhan. Aku sudah berkunjung kesana. Rupanya disana tidak ada
kakak asuh yang jaga panti tersebut. Aku pribadi sudah jumpa pemilik panti dan
pengurus panti tersebut. Kami bincang-bincang terkait kondisi panti dan
lain-lain. Trus, aku berniat untuk bantu adek-adek disana belajar dan
lain-lain. Nah, kalau sendiri, aku tidak sanggup. Makanya, aku butuh bantuan
teman-teman untuk membantu proses pendidikan dan belajar adik-adik disana.
Tapi, jujur saja, kegiatan ini hanya amal sahaja. Teman-teman tidak akan
mendapatkan pembayaran apa-apa atas apa yang teman-teman lakukan. Semua murni
dari ketulusan teman-teman. Aku pun melakukan ini pure untuk membantu adik-adik
disana.”
Aku kagum akan niatnya
yang begitu luar biasa. Perlu diketahui bahwa dia merupakan laki-laki yang
berbeda keyakinan dengan kami. Namun, ketulusan hatinya sungguh menggerakkan
hatiku untuk ikut andil dalam kegiatan tersebut. Maka, kami pun mulai
menjalankan rencana tersebut dimulai dengan perkenalan bersama pengurus panti
serta adik-adik panti tersebut. Total adik-adik panti hanya sebanyak 8 orang. Rerata
kelas II sampai V SD. Oleh karena itu, awalnya kami pikir cukup mudah untuk mendidik
dan membimbing mereka.
Pemikiran tersebut
akhirnya terbantahkan. Mereka sungguh riweh dan kami kewalahan mendidik mereka.
Kami memutuskan untuk memulai dengan mengajarkan terkait tata krama kepada
mereka. Sembari belajar, selalu tanamkan ilmu-ilmu terkait tata krama kepada
mereka. Maklum saja, komunikasi mereka masih sangat kacau. Sehingga kerapkali
mereka menyamakan untuk semua usia dalam hal komunikasi. Kami pun hanya bisa
geleng-geleng atas kelakuan mereka.
Pembelajaran berikutnya
terkait kewajiban sebagai seorang wanita karena kebetulan semua adik-adik di panti
perempuan. Candra sangat setuju saat salah seorang rekan menyarankan agar
adik-adik menjaga auratnya saat bertemu lawan jenis. Sejak hari itu mereka pun
diajarkan untuk membiasakan diri menjaga auratnya. Apakah semua berjalan
lancar? Tentu tidak. Meski demikian, semua butuh proses. Kami pun menikmati
semua itu sembari berbagi kebahagiaan bersama mereka.
Aku sungguh salut
dengan kepedulian Candra akan masa depan mereka. Pernah dia menghampiriku yang
kala itu sedang mengajari adik-adik mengerjakan pekerjaan rumah mereka.
“Wi,
menurutku adik-adik ini juga harus diajari untuk ibadah seperti yang kalian
lakukan. Jangan asal-asalan kalau soal ibadah. Nanti, kalau kalian butuh
apa-apa, aku meyanggupi untuk memenuhinya.”
Semenjak itu, aku dan
rekanku membiasakan adik-adik untuk shalat berjamaah, tak lupa membaca
Al-Qur’an selepas shalat. Memang, mereka sudah dianjurkan untuk shalat jamaah
sebelum kami datang, namun masih tetap perlu pembiasaan. Apalagi perkara soal
di awal waktu. Walau kadang ada dari mereka yang ogah-ogahan untuk melakukan
semua itu. Namun, kesabaran kami selalu ditempa untuk mengajak mereka
melakukannya. Lagi. Semua butuh proses agar mereka terbiasa.
Rupanya kepedulian
Candra terhadap pendidikan mereka tidak setengah-setengah. Dia bahkan rela
membuatkan mereka sebuah buku sejenis laporan harian untuk meninjau progres
pembelajaran mereka. Selanjutnya dia menemui guru wali kelas mereka untuk terus
memantau serta mengisi buku laporan tersebut sebagai bahan evaluasi. Setiap
ujian, Candra akan melakukan pemeriksaan akan hasil akhir mereka. Gunanya,
untuk melihat kelebihan dan kelemahan mereka dalam segi pembelajaran.
Candra mungkin seperti
bapak bagi mereka. Walau seringkali Candra memarahi dan menasehati mereka,
namun kedatangan Candra selalu dinanti oleh mereka. Mungkin. Mungkin ada
sebagian dari mereka yang tidak menyukai Candra karena sikap tegasnya si
Candra. Aku pun sering mengingatkan agar Candra tidak terlalu keras kepada
mereka karena mungkin terkadang mereka yang tidak akan paham maksud perlakuan
Candra tersebut. Dia menerima saranku. Jujur, kadang aku takut jika pada
akhirnya mereka malah takut akan perlakuan Candra. Satu hal, meski sedemikian
pedulinya Candra kepada mereka, Candra tidak pernah memanjakan mereka.
“Hidup
di masa depan itu keras. Kalau saat ini mereka selalu mendapatkan apa yang
didapatkan, maka mereka pasti akan manja dan tergantung terus kepada orang
lain. Mereka tidak akan mau berusaha untuk meraih apa yang menjadi hak mereka.
Aku nggak mau mereka loyo menjalani kehidupan ini. Kalau masanya senang-senang
atau liburan, ayuk aku bawa mereka main. Kalau masanya serius menghadapinya
ujian, ya musti belajar.”
Benar adanya. Candra
memberikan reward kepada mereka yang
berhak mendapatkannya. Walau mungkin terkesan tidak adil. Tapi Candra selalu
berharap itu menjadi motivasi mereka untuk lebih giat dalam belajar. Menurutku
cara Candra cukup unik saat memberikan reward.
Pernah suatu ketika dia membawa serta mereka semua ke Gramedia. Adik-adik tidak
tahu maksud Candra membawa mereka kesana, namun mereka tampak senang pergi “main”.
Yup, bagi mereka keluar panti berarti main atau jalan-jalan. Nah, rupanya saat
disana Candra mengizinkan adik-adik yang meraih nilai bagus saat ujian untuk
mengambil buku dan peralatan tulis yang disukai. Sementara adik-adik lain hanya
memperoleh buku saja.
Bagiku, apa yang
dilakukan Candra sungguh menakjubkan. Dia tidak pernah memikirkan berapa banyak
pengeluarannya. Dia tidak memikirkan hal tersebut. Ketulusannya untuk membantu
adik-adik tersebut sungguh menginspirasi. Baginya, menebar kebaikan serta
melihat senyum kebahagiaan dari adik-adik sudah mewakili apa yang
diharapkannya. Mungkin, kisah Candra tidak sebesar kisah saudara lain yang
perjuangannya lebih besar. Namun, setidaknya hal ini menjadikanku untuk lebih
peka akan sekeliling bahwa masih banyak orang yang membutuhkan bantuan
pemikiran atau sekedar waktu berbagi cerita.
Namun, jika sekiranya
kita tidak memiliki waktu luang yang cukup untuk bercengkerama atau berbagi
dengan saudara-saudara kita yang lain, maka bisa kita salurkan dengan berbagai
lembaga yang nantinya mampu mewakili niat baik kita. Saat ini, sudah begitu
banyak lembaga sosial yang tujuannya berbagi kebaikan dengan sesama. Salah satunya
adalah dompet dhuafa. Bagi teman-teman yang berminat bisa mengunjungi link donasi.dompetdhuafa.org
atau www.dompetdhuafa.org.
"Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Jangan Takut Berbagi yang diselenggarakan Dompet Dhuafa."
No comments:
Post a Comment