Malam itu, ketika hendak merebahkan tubuh setelah beraktivitas
seharian, tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah buku kecil yang terselip di
antara buku kuliah. Dengan langkah gontai, kuraih buku tersebut.. Seketika saja
ingatanku melayang ke kisah yang sekiranya sudah sangat lama berlalu. Lembaran
ingatan mengenai sosok ayah yang kusayangi. He is my real first love ever.
…
Bagiku, dulu ayah merupakan sosok yang tegas dan suka melarang
ketika aku menginginkan ini-itu. Beliau selalu ingin menjaga anak-anaknya agar
kami tidak salah arah. Dulu saat masih SD, disaat siang hari adalah waktu
bermain, ayah malah memasukkan kami ke sekolah agama (MDA). Aku tidak protes
namun hatiku merasa kesal dengan tindakan ayah tersebut. Padahal, tidak ada
satupun temanku memasuki sekolah tersebut, sehingga kami harus melewati dua
desa menuju sekolah tersebut. Selain itu, ayah juga seringkali marah kami
ketika rasa malas untuk belajar mengaji menghampiri. Begitu pula dengan privat
bahasa inggris yang ayah atur tepat pada hari Minggu. Kami benar-benar kesal
tapi tetap menjalaninya demi memenuhi harapan ayah.
Dulu, aku selalu menggerutu saat kupikir ayah terlalu overprotective.
Ayah selalu memutuskan sendiri tanpa bertanya terlebih dahulu kepada kami. Sehingga
seringkali kesalahpahaman menghampiri. Namun, bukankah dulu aku terlalu kecil
untuk memahami tindakan ayah tersebut? Rupanya Allah SWT sudah mengatur semua
skenario tersebut. Benar adanya jika setiap kisah menyimpan banyak makna.
Seiring waktu, semua baru kupahami. Mungkin, dulu hatiku terlalu
kaku untuk memahami kasih sayang ayah. Mungkin, dulu aku terlalu enggan untuk
mengakuinya. Mungkin, dulu aku terlalu acuh untuk menerima perhatian ayah.
Itulah perkara dulu yang menghiasa hatiku.
Setelah beranjak dewasa, kusadari bahwa kasih sayang yang ayah
berikan mungkin tidak senyata yang ibu beri. Beliau kerapkali menunjukkannya
dengan cara yang berbeda. Maka, jika bercerita tentang kebaikan ayah, tidak
cukup dengan untaian 100 atau bahkan ribuan kalimat. Sebagus apapun kalimat
yang kususun, tidak akan mencerminkan kebaikan mereka -ayah dan ibu- sesungguhnya
kepada kami.
Kusadari bahwa ayah adalah laki-laki yang sangat perhatian kepada
ibu dan anak-anaknya. Mungkin, aku yang dulu tidak akan pernah menyadarinya.
Namun, seiring waktu kutahu bahwa ayah sangat menyayangi kami.
Pernah suatu ketika, aku berniat membeli sesuatu namun hanya
sepintas kuutarakan. Kebetulan saat itu si bungsu ingin ke pasar, maka akupun
ikut serta. Ketika keperluan si bungsu sudah terpenuhi, ayah tak langsung
memutar balik arah motornya. Beliau malah mengajakku untuk membeli apa yang
kubutuhkan. Beliau bahkan rela mengunjungi beberapa toko agar aku menemukan
harga yang cocok. Mungkin sudah 5-6 toko telah kami kunjungi.
Begitu pula saat penyakit bell’s pansy menyerangku. Beliau
tidak pernah bosan untuk menanyakan kesehatan walau via telepon karena
pendidikan mengharuskanku untuk merantau. Beliau senantiasa menasehatiku ketika
kegalauan menghampiri hatiku. Kalimatnya memang selalu singkat, akan tetapi
selalu menenangkan.
Kusadari bahwa ayah merupakan sosok yang takkan pernah mengeluh.
Beliau pekerja keras hingga mampu menyekolahkanku sampai pascasarjana dan
adikku yang jurusan kedokteran. Ayah kerapkali marah ketika perihal biaya kurisaukan.
Kusadari bahwa ayah adalah sosok yang kurang peka. Unik memang. Ketidak-pekaan
ayah baru kusadari setelah beranjak dewasa. Ayah butuh penjelasan, bukan
dimengerti. Sekiranya itulah kalimat yang tepat untuk menggambarkannya.
“Ayah, Ai pengen bikin passport.”
“Wah, bagus itu.”
Sekiranya hanya kalimat itu yang beliau sampaikan. Padahal aku
sangat berharap ayah menimpali pertanyaan mengenai “Berapa uang yang Ai
butuhkan?”
Mungkin, saat ini aku sangat beruntung karena memiliki superhero
like him. Aku tak bisa membayangkan ketika pulang kampung, tidak ada ayah
yang menyambutku, tidak ada yang mendengar kisahku, tidak ada ayah yang selalu
menemaniku kemana-mana, tidak ada ayah yang berusaha memenuhi semua
keinginanku, tidak ada ayah yang mengisi rumah dengan suara lantangnya. Jujur,
aku benar-benar belum siap menerima itu semua.
Ayah, aku masih butuh ayah untuk selalu menasehati dan memotivasiku
dikala kegagalan menghampirku. Ayah, aku masih butuh ayah yang selalu
memanjakan kami, anak-anakmu. Ayah, jika suatu saat ada laki-laki yang
menghiasi hari-hariku, percayalah bahwa cintaku kepada ayah tidakkan pernah
hilang. Bahkan, ayah akan selalu menjadi nomor satu dihatiku. Sejauh apapun
jarak yang kelak memisahkan kita, percayalah bahwa ayah akan selalu kurindukan
dan kukenang.
No comments:
Post a Comment