Monday, February 25, 2019

Cerita Tentang Ayah



Malam itu, ketika hendak merebahkan tubuh setelah beraktivitas seharian, tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah buku kecil yang terselip di antara buku kuliah. Dengan langkah gontai, kuraih buku tersebut.. Seketika saja ingatanku melayang ke kisah yang sekiranya sudah sangat lama berlalu. Lembaran ingatan mengenai sosok ayah yang kusayangi. He is my real first love ever.
Bagiku, dulu ayah merupakan sosok yang tegas dan suka melarang ketika aku menginginkan ini-itu. Beliau selalu ingin menjaga anak-anaknya agar kami tidak salah arah. Dulu saat masih SD, disaat siang hari adalah waktu bermain, ayah malah memasukkan kami ke sekolah agama (MDA). Aku tidak protes namun hatiku merasa kesal dengan tindakan ayah tersebut. Padahal, tidak ada satupun temanku memasuki sekolah tersebut, sehingga kami harus melewati dua desa menuju sekolah tersebut. Selain itu, ayah juga seringkali marah kami ketika rasa malas untuk belajar mengaji menghampiri. Begitu pula dengan privat bahasa inggris yang ayah atur tepat pada hari Minggu. Kami benar-benar kesal tapi tetap menjalaninya demi memenuhi harapan ayah.

Dulu, aku selalu menggerutu saat kupikir ayah terlalu overprotective. Ayah selalu memutuskan sendiri tanpa bertanya terlebih dahulu kepada kami. Sehingga seringkali kesalahpahaman menghampiri. Namun, bukankah dulu aku terlalu kecil untuk memahami tindakan ayah tersebut? Rupanya Allah SWT sudah mengatur semua skenario tersebut. Benar adanya jika setiap kisah menyimpan banyak makna.

Seiring waktu, semua baru kupahami. Mungkin, dulu hatiku terlalu kaku untuk memahami kasih sayang ayah. Mungkin, dulu aku terlalu enggan untuk mengakuinya. Mungkin, dulu aku terlalu acuh untuk menerima perhatian ayah. Itulah perkara dulu yang menghiasa hatiku.

Setelah beranjak dewasa, kusadari bahwa kasih sayang yang ayah berikan mungkin tidak senyata yang ibu beri. Beliau kerapkali menunjukkannya dengan cara yang berbeda. Maka, jika bercerita tentang kebaikan ayah, tidak cukup dengan untaian 100 atau bahkan ribuan kalimat. Sebagus apapun kalimat yang kususun, tidak akan mencerminkan kebaikan mereka -ayah dan ibu- sesungguhnya kepada kami.

Kusadari bahwa ayah adalah laki-laki yang sangat perhatian kepada ibu dan anak-anaknya. Mungkin, aku yang dulu tidak akan pernah menyadarinya. Namun, seiring waktu kutahu bahwa ayah sangat menyayangi kami.

Pernah suatu ketika, aku berniat membeli sesuatu namun hanya sepintas kuutarakan. Kebetulan saat itu si bungsu ingin ke pasar, maka akupun ikut serta. Ketika keperluan si bungsu sudah terpenuhi, ayah tak langsung memutar balik arah motornya. Beliau malah mengajakku untuk membeli apa yang kubutuhkan. Beliau bahkan rela mengunjungi beberapa toko agar aku menemukan harga yang cocok. Mungkin sudah 5-6 toko telah kami kunjungi.

Begitu pula saat penyakit bell’s pansy menyerangku. Beliau tidak pernah bosan untuk menanyakan kesehatan walau via telepon karena pendidikan mengharuskanku untuk merantau. Beliau senantiasa menasehatiku ketika kegalauan menghampiri hatiku. Kalimatnya memang selalu singkat, akan tetapi selalu menenangkan.

Kusadari bahwa ayah merupakan sosok yang takkan pernah mengeluh. Beliau pekerja keras hingga mampu menyekolahkanku sampai pascasarjana dan adikku yang jurusan kedokteran. Ayah kerapkali marah ketika perihal biaya kurisaukan.

Kusadari bahwa ayah adalah sosok yang kurang peka. Unik memang. Ketidak-pekaan ayah baru kusadari setelah beranjak dewasa. Ayah butuh penjelasan, bukan dimengerti. Sekiranya itulah kalimat yang tepat untuk menggambarkannya.

“Ayah, Ai pengen bikin passport.”
“Wah, bagus itu.”

Sekiranya hanya kalimat itu yang beliau sampaikan. Padahal aku sangat berharap ayah menimpali pertanyaan mengenai “Berapa uang yang Ai butuhkan?”

Mungkin, saat ini aku sangat beruntung karena memiliki superhero like him. Aku tak bisa membayangkan ketika pulang kampung, tidak ada ayah yang menyambutku, tidak ada yang mendengar kisahku, tidak ada ayah yang selalu menemaniku kemana-mana, tidak ada ayah yang berusaha memenuhi semua keinginanku, tidak ada ayah yang mengisi rumah dengan suara lantangnya. Jujur, aku benar-benar belum siap menerima itu semua.

Ayah, aku masih butuh ayah untuk selalu menasehati dan memotivasiku dikala kegagalan menghampirku. Ayah, aku masih butuh ayah yang selalu memanjakan kami, anak-anakmu. Ayah, jika suatu saat ada laki-laki yang menghiasi hari-hariku, percayalah bahwa cintaku kepada ayah tidakkan pernah hilang. Bahkan, ayah akan selalu menjadi nomor satu dihatiku. Sejauh apapun jarak yang kelak memisahkan kita, percayalah bahwa ayah akan selalu kurindukan dan kukenang.

No comments:

Post a Comment