Hari itu
merupakan hari yang sangat mendebarkan bagi Dion. Mengapa tidak? Ini merupakan
hari pertama ia masuk SMA. Hatinya sungguh bergembira ria. Bak seorang putri,
ia merpesiapkan segala hal yang serba baru.
Ia mengenakan seragam, sepatu, tas dan topi baru ketika berangkat ke
sekolah. Bahkan ia tak menghiraukan sarapan yang telah disuguhkan orang tuanya.
“Ma, Dion berangkat dulu ya?” ujarnya tergesa-gesa. “Hati-hati ya?”
Ia berangkat
dengan seyuman lebar di bibir mungilnya. Ia berharap mendapat teman-teman yang
baik bak putri juga. Sungguh permintaan yang aneh.
Setibanya di
sekolah, ia langsung melihat papan pengumuman mengenai pembagian kelas.
“hore…aku masuk kelas X1.” Teriaknya kegirangan, dan tanpa sadar bahunya
menyenggol seorang gadis yang sungguh rupawan.
“Maaf…aku tak
sengaja.” Katanya sambil terbata-bata.
“Hmm…tak
apa-apa.” Jawabnya santai.
Setelah itu,
gadis itu berlalu didepannya tanpa salam penutup. Dion hanya terpaku melihat
tingkah laku gadis nan rupawan itu. Tetapi, baginya gadis itu bagai tuan putri
yang baru terjaga dari tidur panjangnya.
“Ok, sekarang
pergi ke kelas dan memburu teman.” Ucapnya sambil tersenyum sendiri.
Sebelum masuk kelas,
maka seluruh siswa-siswi yang baru harus mengikuti upacara penerimaan
siswa-siswi baru. Upacaranya lumayan panjang, sehingga membuat seluruh
persendian tubuh Dion menjadi letih dan lesu. Maklum saja, ia jarang sekali
berolahraga.
Setelah
beberapa menit, akhirnya upacara yang membosankan tersebut usai juga. Kemudian
seluruh siswia-siswi diperkenankan masuk ke kelas masing-masing. Semuanya masuk
bagai semut yag tak mempunyai rasa sabar.
Didalam kelas,
mereka hanya dituntut untuk memperkenalkan diri masing-masing kepada
teman-teman yang lain. Ketika perkenalan hampir selesai, tiba-tiba Dion
dikejutkan oleh sebuah nama yang berasal dari gadis yang sungguh cantik
parasnya. Semua mata tertuju padanya. “Perkenalkan, nama saya Ranti Mustika.
Teman-teman bisa memanggil saya Ranti.” Perkenalan itu sungguh terasa singkat
dalam pikiran semua orang.
Dion sendiri
tercengang dan diam tanpa kata. Ternyata orang yang ia tabrak pagi tadi sekelas
dengan dirinya. Sewaktu istirahat, Dion bergegas ketempat Ranti dan meminta
maaf secara pribadi. Tetapi untuk mencapainya, ia harus bersusah payah melawan
arus yang telah menerjangnya di dekat kursi Ranti.
Akhrnya Dion
menyerah. Ia berniat untuk meminta maaf sewaktu pulang saja.
Jam pulang yang
dinanti-nanti pun akhirnya datang juga. Semua murid berhamburan bak semut
keluarsarangnya.
“Ran, tunggu
aku!” desaknya.
“Kamu siapa?”
“Perkenalkan,
aku Dion dari kelas X1. Kita sekelas loh!”
“Ooo…!!!”
“Oh ya, aku
mau minta maaf atas kejadian tadi. Aku tak sengaja menabrak kamu. Maaf ya?”
“Tak apa-apa.
Aku pulang ya?” Sahutnya.
“Bye.” Jawab
Dion dengan semangat.
Awalnya ia
mengira kalau Ranti adalah anak yang sombong tetapi setelah berbicara dengan
dirinya secara terus-menerus, maka Imej
buruk itu hilang. Sesunggunya Ranti anak yang baik, tetapi ia hanya tak bisa
terlalu cepat dalam beradaptasi. Dion adalah anak yang pantang menyerah dalan
berteman, otomatis ia selalu mengejar-ngejar Ranti. Akhirnya Ranti mulai merasa
nyaman dengan Dion.
“Ran, besok
kita pergi maun yuk!” ajak Dion.
“Kemana?”
“Pasar.”
Jawabnya mantap.
“Kenapa harus
ke sana?” Tanya Ranti heran.
“Aku mauu beli
hadiah buat teman, besok dia ulang tahun.” Jawab Dion malu-malu.
“Teman atau teman?”
Goda Ranti.
“Aku tak akan
mungkin punya cowok, Ran. Aku tak secantik kamu.” Ucapnya pasrah.
“Jangan
beranggapan seperti itu. Aku tak seperti yang kamu duga, Dion”
Ranti adalah
anak yang populer dikalangan cowok. Tidak heran jika ia mempunyai cowok. Jika
dibandingkan dengan Dion, jangankan berpacaran dekat dengan cowok saja ia
takut.
Lama-kelamaan,
Dion dan Ranti pun bertambah akrab. Sebenarnya Dion telah menganggap Ranti
sebagai sahabatnya, tetapi ia tak tahu dengan perasaan Ranti sendiri. Suatu
hari ia menyatakan hal yang tak terduga. “Ran, kamu mau menjadi sahabat aku?
Karena aku mersa sangat nyaman dengan kamu, Ran.” Ujarnya tersipu-sipu. “Nggak mau.” Jawab Ranti ketus.
Dion
terperanjat kaget. Ia tak mengira jawaban dari Ranti begitu menyakitkan.
Tiba-tiba Ranti mendekat dan memeluk Dion. Ia membisikkan sesuatu yang mmbuat
Dion merasa geli. “Aku mau kok jadi
sahabat Dion. Aku juga merasa sangat nyaman ketika bersama Dion. Hanya Dion
seorang yang mau berteman dengan Ranti”
Sejak itu,
persahabatan mereka semakin langgeng-langgeng saja. Semua keluh kesah ataupun
masalah selalu dibicarakan anatara yang satu dengan yang lain. Ranti sering
dijauhi teman lainnya karena ia terkenal sangat cantik sehingga teman yang lain
merasa minder dengan hal itu. Banyak cowok yang menyatakan suka pada Ranti,
tetapi ia selalu menolaknya. Hal itu, membuat cewek-cewek lain tambah kesal.
Dion lah yang beranggapan bahwa pertemanan itu tanpa mengenal kecantikan,
baginya yang terpenting perasaan kita pada teman tersebut.
Suatu hari,
kelas X1 kedatangan tamu. Seorang murid baru telah berkunjung ke sekolah
mereka. Rupanya dia bermaksud ingin pindah ke sekolah tersebut.
“Perkenalkan,
nama saya Angga Anggara. Biasa dipanggil Angga.”
Semua
teman-teman sekelas memandang takjud terhadap Angga. Dion sendiri tak merasakan
apa-apa. Kemudian tanpa sengaja ia menoleh pada Ranti, ia begitu terpesona
terhadap keperawakan Angga. Ketika Ranti sadar diperhatikan, Ranti lansung
mengalihkan pandangannya. Dion merasa terheran-heran kepada sikap semua cewek.
Ia akui Angga adalah anak yang tampan, tapi ia tak merasakan apa-apa. “Aneh,
mereka semua memikirkan apa ya?” pikirnya.
Sejak saat itu
Angga juga populer dikalangan cewek. Banyak cewek-cewek tergila-gila dengan
ketampanannya. Termasuk Ranti yang merupakan pujaan cowok-cowok. Hal itu
diketahui, karena sesekali Dion melihat Ranti memperhatikan Angga.
Suatu hari,
tersiratlah kabar kalau Angga ternyata menyukai Ranti. Semua orang heboh bak
pasar.
“Ran,
bagaimana?” Tanya Dion ketika pulang sekolah.
“Apanya?” Tanya
balik ranti dengan gaya pura-pra tak tahu.
“Angga suka
sama Ranti. Aku pikir dia baik kok. Coba saja pacaran dengan dia.”
“Kenapa harus
seperti itu?” Tanya Ranti dengan nada separuh kesal separuh senang.
“Hmm…aku tahu
kalau Ranti suka Angga. Jangan bohong deh!” Goda Dion.
“Aku…Aku…”
Jawabnya terbata-bata.
“Ok, tanpa
Ranti jawab aku sudah tahu jawabannya. Baiklah, mulai besok aku akan menjadi mak comblang.”
Keesokan
harinya, ketika pelajaran pertama akan di mulai, Dion sedang asyik bercanda
dengan Ranti. Tiba-tiba tanpa sengaja Angga menabrak bahu Dion yang kebetulan
lewat di depannya.
“Ah, hati-hati
donk! Kamu punya matakan?” Dengus
Dion marah, tanpa memperhatikan orang yang menabraknya.
“Kenapa aku
yang disalahkan? Kamu sendiri yang cengar-cengir ketika berjalan.”Balas Angga
kesal.
Ketika
mendengar suara khas itu, Dion bak disambar petir. Ternyata orang yang dia
ceramahi adalah orang yang akan ia pasangkan dengan sahabatnya.
“Aku…Aku…”
Ucapnya gagap. Tak sempat ia berucap, Angga telah berlalu di depannya.
Dion langsung
berwajah pucat seperti mau menangis. Ranti yang mengetahui hal itu langsung
memeluk sahabatnya. “Sudahlah, nanti kita sama-sama minta maaf sama dia ya?”
Hiburnya. “Kita masuk yuk.” Ajaknya setela menenangkan Dion.
Semejak
kejadian itu, Dion dan Angga selalu terjebak dalam satukelompok yang sama.
Seperti yang diduga, hubungan mereka menjadi tambah buruk. Pertengakaran hampir
terjadi tiap harinya. Dion dan Angga selalu membesar-besarkan masalah yang
kecil. Jadi, jangankan minta maaf, kesempatan untuk bicara baik-baik saja tidak
ada.
“Jawabannya
buka seperti ini!” Desak Dion, yang waktu itu mereka diberikan tugas kelompok
Biologi.
“Mengapa kamu yakin? Kamu kan
cewek bodoh. Jangan mengajari orang yang ahli seperti aku deh!” Jawab Angga dengan angkuhnya.
Waktu itu,
Dion beda kelopok dengan Ranti, jadi tak ada yang menenangkannya. Tiba-tiba setumpuk buku yang ada di atas meja melayang
di atas kepala Angga. Dan sesegera mungkin Dion pergi ke toilet untuk
menumpakan kekesalannya. Ranti yang mengetahui hal itu, bergegas menyusul Dion.
“Dion, kamu
menangis?” Sapa Ranti sambil mengusap-usap kepala Dion.
“Aku nggak mau berteman dengannya. Bayangan
tentang dia selama ini sangat berbeda dengan dugaanku. Ia selalu mengeluarkan
kata-kata yang menyakitkan hatiku. Maaf,
aku tak bisa menjdai mak comblang
Ranti.” Isaknya.
“Siapa yang
bilang kalau aku suka dia? Aku tak pernah memikirkan dia, Dion.”
Pernyataan
ranti sangat mengejutkan batin Dion. Selama ini ia berpikir Ranti begitu
menyukai Angga. Tetapi ternyata dugaannya salah. “Bagus, Ran. Kamu jangan
sampai suka sama dia ya? Dia nggak baik, iblis!” Bujuk Dion. “Tentu.” Jawab
Ranti simple.
Sebenarnya Dion
tidak menyadari bahwa batin Ranti agak berat ketika mengucapkan kata-kata yang
tak ia ingikan. Dalam lubuk hati Ranti yang paling dalam, ia begitu menyukai
Angga. Baginya Angga sosok pria yang begitu mempesona.
“kembali ke
kelas yuk!” Ajak Ranti. Kemudina mereka kembali ke kelas.
“Dion, Angga
mau minta maaf. Dia menyesal.” Goda teman lain.
“Aku tidak butuh
itu. Aku sumpahin kamu tidak akan
mempunyai pacar seumur hidup.”
“Sipa yang mau
minta maaf sama anak yang cengeng seperti kamu? Oh ya, aku tidak peduli dengan sumpah
palsu kamu, Dion!” Balasnya.
“Hati-hati ya,
nanti kalian saling menyukai loh!”
Goda teman-teman.
“Tidak akan.”
Jawab Dion dan Angga serempak. Pertengkaran itu berakhir juga seiring
berakhirnya jam pelajaran terakhir hari itu.
Pertengkaran
seperti ini belangsung sepanjang hari. Suatu hari, Dion pergi sendirian tanpa
Ranti, sahabat tercintanya. Ia baru saja menerima telepon kalau Ranti sakit. Ia
berjalan gontai ketika mau memasuki area persekolahan. Ia merasa malas kalau
sekolah tanpa Ranti. “kasihan…Sahabatnya mana?” Goda Angga. Tetapi ia tak
mempedulikannya.
Dion hanya
diam seribu kata sewaktu pelajaran berlangsung. Kemudian sewaktu jam istirahat,
tiba-tiba Angga menarik tangannya dan menyeretnya ke area belakang sekolah.
“Hoi,
apa-apaan ini?” Bentaknya sembari berusaha melepas genggaman tangan Angga.
“Ups, aku tak
sengaja.” Perlahan melepas genggamannya.
“Ada apa?”
“Aku minta
maaf atas perlakuan ku kemarin. Aku sudah menyakiti hatimu. Aku khilaf.” Ujarnya
malu-malu.
“Hmm…Taka
pa-apa lah. Aku sudah biasa kok!”
“Sebenarnya
aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku hanya kesal karena selama ini, kamu selalu
mengacuhkan aku. Kamu sadar tidak?” Balas Angga kesal.
“Hah? Aku
mengacuhkan kamu? Sejak kapan?”
“Sejak masuk
pertama kali ke sekolah ini. Aku selalu memperhatikan kamu.
Aku merasa….”
“Tunggu…Jadi
selama ini kamu memperhatikan aku? Bukan Ranti?” Tanya Dion terngangah-ngangah.
“Aku kenal
dengan Ranti, tetapi aku tidak terlalu memperhatikannya. Sejak bertemu dengan
kamu aku selalu mencari kesempatan untuk berbicara denganmu. Kupikir dengan
bertengkar, aku bisa akrab denganmu. Ternyata perkiraanku salah, aku bahkan
membuat kamu menangis.” Dion hanya terperangah dengan ujaran Angga. Hal itu
sama seklai tak terbayangkan olehnya. “Jadi…Aku selama ini selalu memikirkan
kamu, Dion.” Lanjutnya.
Bak di sambar
petir, Dion cepat-cepat meninggalkan
Angga dengan kebengongannya. Selain itu, bel tanda masuk juga telah berbunyi.
Perasaan muram Dion semakin bertambah. Ia hanya bengong sampai jam pelajaran
terakhir usai.
Keesokan
harinya, ia bertemu lagi dengan Ranti. Ia langsung memeluk sahabatnya itu. “Aku
kangen kamu, Ranti.” Ujarnya sambil
memeluk Ranti. “AKu juga, Dion.”
Tiba-tiba
Angga masuk kedalam kelas. Tanpa sengaja mata Dion berpapasan dengan mata Angga.
Ketika mengetahui hal itu, Dion cepat-cepat memalingkan matanya, begitu juga
dengan Angga. Setelah menaruh tasnya di dalam laci meja, Angga bergegas keluar
dari kelas. Ranti mencium kecurigaan atas perilaku mereka berdua.
“Ada apa?
Biasanya kalian langsung bertengkar.” Tanya Ranti terheran-heran.
“Tak selamanya
kami harus menjadi anak-anak, Ran.” Jawabnya sambil mengalihkan pandangannya ke
papan tulis. Sejak itu, Ranti selalu mengintai gerak-gerik Dion, sampai jam pelajaran
terakhir usai. Dion memang menyembunyikan sesuatu dari Ranti. Ia tak mau
sahabatnya mengetahu hal memalukan ini.
“Maaf, Ran.
Aku piket dulu ya?”
“Tidak apa-apa
sendirian?”
“AKu wonderwoman loh.”
Akhirnya, Dion
piket kelas sendiri. Ia lebih memilih piket sepulang sekolah dibanding esok
paginya. Tiba-tiba matanya berhenti pada satu titik yang telah sangat ia kenal.
Ia melihat sesuatu yang terselip dalam laci meja Ranti. Sesegera mungkin, ia
membuka sesuatu itu, yang tak lain ialah Diary
Ranti sendiri. Awalnya ia merasa berdosa jika membuka diary itu, namun rasa penasarannya telah mengalahkan rasa dosanya.
Ketika membuka dan membaca isi diary tersebut, ia terbelalak. Hatinya remuk
redam dihantam bumi. Ia sama sekali tak percaya bahwa ternyata sahabatnya
menyukai orang yang menyukai dirinya, yang tak lain ialah Angga. Ia sungguh
terpuruk dalam masalah yang satu ini. Tak ada yang bisa perbuat selain menolak
pernyataan Angga kemarin.
Keesokan
harinya, ia sesegera mungkin menyeret Ranti ke toilet dan mengeluarkan sesuatu
yang dari tadi ingin keluar.
“Ini apa?” Tanya Dion sambil mendesak Ranti.
“Kamu mebacanya?” Ujarnya sambil menyambar diary yang
sedang dipegang Dion.
“Maaf, Ran. Aku benar tak tahu kalau kamu…”
“Stop! Aku
tak mau mendengarnya.” Desak Ranti sambil menutup telinganya.
Dion serasa ingin menangis ketika melihat wajahnya
sahabatnya. Ia memeluk Ranti dan meminta maaf.
Sewaktu istirahat yang kedua, ia langsung menyeret
Angga dan memberikan pengakuan yang sungguh mengejutkan. Ia melakukannya sesegera
mungkin agar tak diketahui Ranti.
“Aku ucapkan terima kasih atas perasaannya Angga. Akus
enag, karena baru kali ini aku di tembak cowok.”
“Berarti…kamu…”
“Tapi maaf, aku tak bisa menerima perasaan itu. Aku
lebih memilih persahabatan ini daripada pacar. Bagiku mendapatkan seorang cowok
lebih gampang ketimbang mendapatkan persahabatan.”
Kemudian Dion berlalu tanpa sempat memberikan
kesempatan kepada Angga untuk membalasnya. Di lain sisi, ternyata Ranti sibuk
mencari Dion. “Darimana saja? Aku kecapekan tau!”
Ujarnya sambil ngos-ngosan. “Tak ada,
cari sensasi aja. Pergi yuk!” Ajak D
siiip ^.^
ReplyDelete