Sunday, March 9, 2014

PERSAHABATKU LEBIH PENTING DARIMU


Hari itu merupakan hari yang sangat mendebarkan bagi Dion. Mengapa tidak? Ini merupakan hari pertama ia masuk SMA. Hatinya sungguh bergembira ria. Bak seorang putri, ia merpesiapkan segala hal yang serba baru.  Ia mengenakan seragam, sepatu, tas dan topi baru ketika berangkat ke sekolah. Bahkan ia tak menghiraukan sarapan yang telah disuguhkan orang tuanya. “Ma, Dion berangkat dulu ya?” ujarnya tergesa-gesa. “Hati-hati ya?”
Ia berangkat dengan seyuman lebar di bibir mungilnya. Ia berharap mendapat teman-teman yang baik bak putri juga. Sungguh permintaan yang aneh.
Setibanya di sekolah, ia langsung melihat papan pengumuman mengenai pembagian kelas. “hore…aku masuk kelas X1.” Teriaknya kegirangan, dan tanpa sadar bahunya menyenggol seorang gadis yang sungguh rupawan.
“Maaf…aku tak sengaja.” Katanya sambil terbata-bata.
“Hmm…tak apa-apa.” Jawabnya santai.
Setelah itu, gadis itu berlalu didepannya tanpa salam penutup. Dion hanya terpaku melihat tingkah laku gadis nan rupawan itu. Tetapi, baginya gadis itu bagai tuan putri yang baru terjaga dari tidur panjangnya.
“Ok, sekarang pergi ke kelas dan memburu teman.” Ucapnya sambil tersenyum sendiri.
Sebelum masuk kelas, maka seluruh siswa-siswi yang baru harus mengikuti upacara penerimaan siswa-siswi baru. Upacaranya lumayan panjang, sehingga membuat seluruh persendian tubuh Dion menjadi letih dan lesu. Maklum saja, ia jarang sekali berolahraga.
Setelah beberapa menit, akhirnya upacara yang membosankan tersebut usai juga. Kemudian seluruh siswia-siswi diperkenankan masuk ke kelas masing-masing. Semuanya masuk bagai semut yag tak mempunyai rasa sabar.
Didalam kelas, mereka hanya dituntut untuk memperkenalkan diri masing-masing kepada teman-teman yang lain. Ketika perkenalan hampir selesai, tiba-tiba Dion dikejutkan oleh sebuah nama yang berasal dari gadis yang sungguh cantik parasnya. Semua mata tertuju padanya. “Perkenalkan, nama saya Ranti Mustika. Teman-teman bisa memanggil saya Ranti.” Perkenalan itu sungguh terasa singkat dalam pikiran semua orang.
Dion sendiri tercengang dan diam tanpa kata. Ternyata orang yang ia tabrak pagi tadi sekelas dengan dirinya. Sewaktu istirahat, Dion bergegas ketempat Ranti dan meminta maaf secara pribadi. Tetapi untuk mencapainya, ia harus bersusah payah melawan arus yang telah menerjangnya di dekat kursi Ranti.
Akhrnya Dion menyerah. Ia berniat untuk meminta maaf sewaktu pulang saja.
Jam pulang yang dinanti-nanti pun akhirnya datang juga. Semua murid berhamburan bak semut keluarsarangnya.
“Ran, tunggu aku!” desaknya.
“Kamu siapa?”
“Perkenalkan, aku Dion dari kelas X1. Kita sekelas loh!”
“Ooo…!!!”
“Oh ya, aku mau minta maaf atas kejadian tadi. Aku tak sengaja menabrak kamu. Maaf ya?”
“Tak apa-apa. Aku pulang ya?” Sahutnya.
“Bye.” Jawab Dion dengan semangat.
Awalnya ia mengira kalau Ranti adalah anak yang sombong tetapi setelah berbicara dengan dirinya secara terus-menerus, maka Imej buruk itu hilang. Sesunggunya Ranti anak yang baik, tetapi ia hanya tak bisa terlalu cepat dalam beradaptasi. Dion adalah anak yang pantang menyerah dalan berteman, otomatis ia selalu mengejar-ngejar Ranti. Akhirnya Ranti mulai merasa nyaman dengan Dion.
“Ran, besok kita pergi maun yuk!” ajak Dion.
“Kemana?”
“Pasar.” Jawabnya mantap.
“Kenapa harus ke sana?” Tanya Ranti heran.
“Aku mauu beli hadiah buat teman, besok dia ulang tahun.” Jawab Dion malu-malu.
“Teman atau teman?” Goda Ranti.
“Aku tak akan mungkin punya cowok, Ran. Aku tak secantik kamu.” Ucapnya pasrah.
“Jangan beranggapan seperti itu. Aku tak seperti yang kamu duga, Dion”
Ranti adalah anak yang populer dikalangan cowok. Tidak heran jika ia mempunyai cowok. Jika dibandingkan dengan Dion, jangankan berpacaran dekat dengan cowok saja ia takut.
Lama-kelamaan, Dion dan Ranti pun bertambah akrab. Sebenarnya Dion telah menganggap Ranti sebagai sahabatnya, tetapi ia tak tahu dengan perasaan Ranti sendiri. Suatu hari ia menyatakan hal yang tak terduga. “Ran, kamu mau menjadi sahabat aku? Karena aku mersa sangat nyaman dengan kamu, Ran.” Ujarnya tersipu-sipu. “Nggak mau.” Jawab Ranti ketus. 
Dion terperanjat kaget. Ia tak mengira jawaban dari Ranti begitu menyakitkan. Tiba-tiba Ranti mendekat dan memeluk Dion. Ia membisikkan sesuatu yang mmbuat Dion merasa geli. “Aku mau kok jadi sahabat Dion. Aku juga merasa sangat nyaman ketika bersama Dion. Hanya Dion seorang yang mau berteman dengan Ranti”
Sejak itu, persahabatan mereka semakin langgeng-langgeng saja. Semua keluh kesah ataupun masalah selalu dibicarakan anatara yang satu dengan yang lain. Ranti sering dijauhi teman lainnya karena ia terkenal sangat cantik sehingga teman yang lain merasa minder dengan hal itu. Banyak cowok yang menyatakan suka pada Ranti, tetapi ia selalu menolaknya. Hal itu, membuat cewek-cewek lain tambah kesal. Dion lah yang beranggapan bahwa pertemanan itu tanpa mengenal kecantikan, baginya yang terpenting perasaan kita pada teman tersebut.
Suatu hari, kelas X1 kedatangan tamu. Seorang murid baru telah berkunjung ke sekolah mereka. Rupanya dia bermaksud ingin pindah ke sekolah tersebut.
“Perkenalkan, nama saya Angga Anggara. Biasa dipanggil Angga.”
Semua teman-teman sekelas memandang takjud terhadap Angga. Dion sendiri tak merasakan apa-apa. Kemudian tanpa sengaja ia menoleh pada Ranti, ia begitu terpesona terhadap keperawakan Angga. Ketika Ranti sadar diperhatikan, Ranti lansung mengalihkan pandangannya. Dion merasa terheran-heran kepada sikap semua cewek. Ia akui Angga adalah anak yang tampan, tapi ia tak merasakan apa-apa. “Aneh, mereka semua memikirkan apa ya?” pikirnya.
Sejak saat itu Angga juga populer dikalangan cewek. Banyak cewek-cewek tergila-gila dengan ketampanannya. Termasuk Ranti yang merupakan pujaan cowok-cowok. Hal itu diketahui, karena sesekali Dion melihat Ranti memperhatikan Angga.
Suatu hari, tersiratlah kabar kalau Angga ternyata menyukai Ranti. Semua orang heboh bak pasar.
“Ran, bagaimana?” Tanya Dion ketika pulang sekolah.
“Apanya?” Tanya balik ranti dengan gaya pura-pra tak tahu.
“Angga suka sama Ranti. Aku pikir dia baik kok. Coba saja pacaran dengan dia.”
“Kenapa harus seperti itu?” Tanya Ranti dengan nada separuh kesal separuh senang.
“Hmm…aku tahu kalau Ranti suka Angga. Jangan bohong deh!” Goda Dion.
“Aku…Aku…” Jawabnya terbata-bata.
“Ok, tanpa Ranti jawab aku sudah tahu jawabannya. Baiklah, mulai besok aku akan menjadi mak comblang.”
Keesokan harinya, ketika pelajaran pertama akan di mulai, Dion sedang asyik bercanda dengan Ranti. Tiba-tiba tanpa sengaja Angga menabrak bahu Dion yang kebetulan lewat di depannya.
“Ah, hati-hati donk! Kamu punya matakan?” Dengus Dion marah, tanpa memperhatikan orang yang menabraknya.
“Kenapa aku yang disalahkan? Kamu sendiri yang cengar-cengir ketika berjalan.”Balas Angga kesal.
Ketika mendengar suara khas itu, Dion bak disambar petir. Ternyata orang yang dia ceramahi adalah orang yang akan ia pasangkan dengan sahabatnya.
“Aku…Aku…” Ucapnya gagap. Tak sempat ia berucap, Angga telah berlalu di depannya.
Dion langsung berwajah pucat seperti mau menangis. Ranti yang mengetahui hal itu langsung memeluk sahabatnya. “Sudahlah, nanti kita sama-sama minta maaf sama dia ya?” Hiburnya. “Kita masuk yuk.” Ajaknya setela menenangkan Dion.
Semejak kejadian itu, Dion dan Angga selalu terjebak dalam satukelompok yang sama. Seperti yang diduga, hubungan mereka menjadi tambah buruk. Pertengakaran hampir terjadi tiap harinya. Dion dan Angga selalu membesar-besarkan masalah yang kecil. Jadi, jangankan minta maaf, kesempatan untuk bicara baik-baik saja tidak ada.
“Jawabannya buka seperti ini!” Desak Dion, yang waktu itu mereka diberikan tugas kelompok Biologi.
“Mengapa kamu yakin? Kamu kan cewek bodoh. Jangan mengajari orang yang ahli seperti aku deh!” Jawab Angga dengan angkuhnya.
Waktu itu, Dion beda kelopok dengan Ranti, jadi tak ada yang menenangkannya. Tiba-tiba  setumpuk buku yang ada di atas meja melayang di atas kepala Angga. Dan sesegera mungkin Dion pergi ke toilet untuk menumpakan kekesalannya. Ranti yang mengetahui hal itu, bergegas menyusul Dion.
“Dion, kamu menangis?” Sapa Ranti sambil mengusap-usap kepala Dion.
“Aku nggak mau berteman dengannya. Bayangan tentang dia selama ini sangat berbeda dengan dugaanku. Ia selalu mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan hatiku.  Maaf, aku tak bisa menjdai mak comblang Ranti.” Isaknya.
“Siapa yang bilang kalau aku suka dia? Aku tak pernah memikirkan dia, Dion.”
Pernyataan ranti sangat mengejutkan batin Dion. Selama ini ia berpikir Ranti begitu menyukai Angga. Tetapi ternyata dugaannya salah. “Bagus, Ran. Kamu jangan sampai suka sama dia ya? Dia nggak baik, iblis!” Bujuk Dion. “Tentu.” Jawab Ranti simple.
Sebenarnya Dion tidak menyadari bahwa batin Ranti agak berat ketika mengucapkan kata-kata yang tak ia ingikan. Dalam lubuk hati Ranti yang paling dalam, ia begitu menyukai Angga. Baginya Angga sosok pria yang begitu mempesona.
“kembali ke kelas yuk!” Ajak Ranti. Kemudina mereka kembali ke kelas.
“Dion, Angga mau minta maaf. Dia menyesal.” Goda teman lain.
“Aku tidak butuh itu. Aku sumpahin kamu tidak akan  mempunyai pacar seumur hidup.”
“Sipa yang mau minta maaf sama anak yang cengeng seperti kamu? Oh ya, aku tidak peduli dengan sumpah palsu kamu, Dion!” Balasnya.
“Hati-hati ya, nanti kalian saling menyukai loh!” Goda teman-teman.
“Tidak akan.” Jawab Dion dan Angga serempak. Pertengkaran itu berakhir juga seiring berakhirnya jam pelajaran terakhir hari itu.
Pertengkaran seperti ini belangsung sepanjang hari. Suatu hari, Dion pergi sendirian tanpa Ranti, sahabat tercintanya. Ia baru saja menerima telepon kalau Ranti sakit. Ia berjalan gontai ketika mau memasuki area persekolahan. Ia merasa malas kalau sekolah tanpa Ranti. “kasihan…Sahabatnya mana?” Goda Angga. Tetapi ia tak mempedulikannya.
Dion hanya diam seribu kata sewaktu pelajaran berlangsung. Kemudian sewaktu jam istirahat, tiba-tiba Angga menarik tangannya dan menyeretnya ke area belakang sekolah.
“Hoi, apa-apaan ini?” Bentaknya sembari berusaha melepas genggaman tangan Angga.
“Ups, aku tak sengaja.” Perlahan melepas genggamannya.
“Ada apa?”
“Aku minta maaf atas perlakuan ku kemarin. Aku sudah menyakiti hatimu. Aku khilaf.” Ujarnya malu-malu.
“Hmm…Taka pa-apa lah. Aku sudah biasa kok!”
“Sebenarnya aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku hanya kesal karena selama ini, kamu selalu mengacuhkan aku. Kamu sadar tidak?” Balas Angga kesal.
“Hah? Aku mengacuhkan kamu? Sejak kapan?”
“Sejak masuk pertama kali ke sekolah ini. Aku selalu memperhatikan kamu.
 Aku merasa….”
“Tunggu…Jadi selama ini kamu memperhatikan aku? Bukan Ranti?” Tanya Dion terngangah-ngangah.
“Aku kenal dengan Ranti, tetapi aku tidak terlalu memperhatikannya. Sejak bertemu dengan kamu aku selalu mencari kesempatan untuk berbicara denganmu. Kupikir dengan bertengkar, aku bisa akrab denganmu. Ternyata perkiraanku salah, aku bahkan membuat kamu menangis.” Dion hanya terperangah dengan ujaran Angga. Hal itu sama seklai tak terbayangkan olehnya. “Jadi…Aku selama ini selalu memikirkan kamu, Dion.” Lanjutnya.
Bak di sambar petir, Dion cepat-cepat  meninggalkan Angga dengan kebengongannya. Selain itu, bel tanda masuk juga telah berbunyi. Perasaan muram Dion semakin bertambah. Ia hanya bengong sampai jam pelajaran terakhir usai.
Keesokan harinya, ia bertemu lagi dengan Ranti. Ia langsung memeluk sahabatnya itu. “Aku kangen kamu, Ranti.” Ujarnya sambil memeluk Ranti. “AKu juga, Dion.”
Tiba-tiba Angga masuk kedalam kelas. Tanpa sengaja mata Dion berpapasan dengan mata Angga. Ketika mengetahui hal itu, Dion cepat-cepat memalingkan matanya, begitu juga dengan Angga. Setelah menaruh tasnya di dalam laci meja, Angga bergegas keluar dari kelas. Ranti mencium kecurigaan atas perilaku mereka berdua.
“Ada apa? Biasanya kalian langsung bertengkar.” Tanya Ranti terheran-heran.
“Tak selamanya kami harus menjadi anak-anak, Ran.” Jawabnya sambil mengalihkan pandangannya ke papan tulis. Sejak itu, Ranti selalu mengintai gerak-gerik Dion, sampai jam pelajaran terakhir usai. Dion memang menyembunyikan sesuatu dari Ranti. Ia tak mau sahabatnya mengetahu hal memalukan ini.
“Maaf, Ran. Aku piket dulu ya?”
“Tidak apa-apa sendirian?”
“AKu wonderwoman loh.”
Akhirnya, Dion piket kelas sendiri. Ia lebih memilih piket sepulang sekolah dibanding esok paginya. Tiba-tiba matanya berhenti pada satu titik yang telah sangat ia kenal. Ia melihat sesuatu yang terselip dalam laci meja Ranti. Sesegera mungkin, ia membuka sesuatu itu, yang tak lain ialah Diary Ranti sendiri. Awalnya ia merasa berdosa jika membuka diary itu, namun rasa penasarannya telah mengalahkan rasa dosanya. Ketika membuka dan membaca isi diary tersebut, ia terbelalak. Hatinya remuk redam dihantam bumi. Ia sama sekali tak percaya bahwa ternyata sahabatnya menyukai orang yang menyukai dirinya, yang tak lain ialah Angga. Ia sungguh terpuruk dalam masalah yang satu ini. Tak ada yang bisa perbuat selain menolak pernyataan Angga kemarin.
Keesokan harinya, ia sesegera mungkin menyeret Ranti ke toilet dan mengeluarkan sesuatu yang dari tadi ingin keluar.
“Ini apa?” Tanya Dion sambil mendesak Ranti.
“Kamu mebacanya?” Ujarnya sambil menyambar diary yang sedang dipegang Dion.
“Maaf, Ran. Aku benar tak tahu kalau kamu…”
Stop! Aku tak mau mendengarnya.” Desak Ranti sambil menutup telinganya.
Dion serasa ingin menangis ketika melihat wajahnya sahabatnya. Ia memeluk Ranti dan meminta maaf.
Sewaktu istirahat yang kedua, ia langsung menyeret Angga dan memberikan pengakuan yang sungguh mengejutkan. Ia melakukannya sesegera mungkin agar tak diketahui Ranti.
“Aku ucapkan terima kasih atas perasaannya Angga. Akus enag, karena baru kali ini aku di tembak cowok.”
“Berarti…kamu…”
“Tapi maaf, aku tak bisa menerima perasaan itu. Aku lebih memilih persahabatan ini daripada pacar. Bagiku mendapatkan seorang cowok lebih gampang ketimbang mendapatkan persahabatan.”
Kemudian Dion berlalu tanpa sempat memberikan kesempatan kepada Angga untuk membalasnya. Di lain sisi, ternyata Ranti sibuk mencari Dion. “Darimana saja? Aku kecapekan tau!” Ujarnya sambil ngos-ngosan. “Tak ada, cari sensasi aja. Pergi yuk!” Ajak D

1 comment: