Monday, April 24, 2017

(Cerpen) Untuk Dia yang Telah Berlalu

Setiap manusia tentunya mempunyai berbagai masalah dalam kehidupannya. Begitu pula diriku. Hal yang patut disyukuri bahwa rupanya aku mampu untuk mengatasi hal tersebut. Tak dapat dipungkiri pula bahwa Allah memainkan peran di dalamnya. Saat ini, kehidupanku jauh lebih baik ketimbang beberapa tahun lalu. Eit, bukan berarti sebuah dosa besar –yang seperti kalian pikirkan- telah kulakukan. Ini hanyalah kisah asam manis ketika Allah menguji keteguhan imanku. Ketika hal ini kuingat kembali, rasanya ingin tertawa dan menasehati habis-habisan diriku dikala itu. Namun, itu hanyalah masa lalu, setidaknya membawa pengaruh postif untuk masa sekarang. Ya, semoga saja menjadi buah manis di masa depan antara aku dan dirimu wahai pujaan hatiku yang masih Allah rahasiakan.


Saat itu, begitu lama kupandangi sebuah kertas kosong di atas mejaku. Berbagai macam pikiran berkecamuk dikepalaku. Kebimbangan menghantui untuk tetap melakukannya atau malah harus mengatakannya secara langsung. Sebenarnya untuk apa aku melakukannya? Bukankah dia sudah tidak peduli lagi kepadaku? Namun, disatu sisi, aku merasa harus melakukannya agar dia tak melakukan kesalahan yang sama. Entahlah, aku benar-benar bimbang. Pada akhirnya, menuangkannya dalam bentuk tulisan dikomputerku adalah pilihan yang paling tepat. Walau mungkin, entah kapan akan kukirim kepadanya.


Sebelumnya, lagi-lagi aku harus mengucapkan maaf untuk pembukanya. jika melihat ke belakang, begitu banyak kebodohan yang telah kuperbuat kepada Putra, bukan? Ada yang terjadi secara alami, ada juga yang sengaja kulakukan. Secara alamiah, aku memang tipe cerewet dan keras kepala. sepertinya sudah turunan. Sementara yang lainnya, sengaja kulakukan karena suatu hal? Pada awal pertemanan kita, kuyakin jika dirimu merasa aku tipe yang menyenangkan. Yah, itulah diriku yang sebenarnya. tapi lama-kelamaan, aku mulai berubah menjadi jahat (Ya ampun, memangnya aku power ranger ya?) kenapa demikian?


Awalnya aku sungguh tak percaya jika dirimu memiliki sesuatu yang “lain” terhadap. Sungguh aku tak bisa meyakinkankan hatiku. Bahkan dirimu pernah bilang bahwa memiliki niat untuk mendatangi rumah orang tua kelak karna merasa aku orang yang tepat. Waw sesuatu yang luar biasa untuk dipercaya. karena hal inilah, aku menjadi semakin tidak yakin. Walau sempat terpana. karena hal inilah, aku mulai berubah. Perilaku dan sikapku pun tak lagi sama seperti di awal-awal kita jumpa.


Dulu, aku pernah menyatakan bahwa aku tak ingin terlalu dekat karena takut terlalu menyukainya kelak, padahal si dia belum mampu menghalalkanku. Jika hal ini terjadi, apakah dirimu mampu bertanggung jawab atas perasaanku? Dirimu mengatakan akan bertanggung jawab. kemudian, aku pun melakukan percobaan “kecil” selama beberapa minggu.


Aku mulai bersikap semena-mena, aku mulai suka memaksa, aku mulai tidak peduli dengan kesulitan dirimu hadapi. Ya, aku sengaja mengeluarkan semua sifat buruk tersebut. Walau terkadang, adakalanya aku bersikap sok perhatian, tetapi tidak banyak hehe. Alasanku sederhana karena aku ingin menguji seberapa jauh perasaanmu akan bertahan dengan sifat yang demikian. Aku pun memang berniat untuk membuatmu membenciku. Apakah terkesan aneh?


Kusadari bahwa Putra tak mampu. Kusadari itu setelah kumenjalaninya. Tapi tak apa. Aku tak sedih. Aku tak sedih ketika Putra mengabaikan dan mengacuhkanku. Jujur saja, dari awal perkenalan kita, entah bagaimana, feelingku mengatakan bahwa perasaan yang dirimu miliki hanyalah perasaan sesaat.


Aku akui jika dalam hal ini, aku melakukan banyak kesalahan. Aku dengan entengnya menyatakan dalam hati bahwa yang kita lakukan “tidak apa-apa”, karena toh pada kenyataannya kita memang tak pernah melakukan hal-hal negatif. Kita hanya komunikasi, telfonan, dan berjumpa satu kali saja. Diluar tampak biasa, tapi kenyataannya tidak. Setan telah bermain di dalamnya. Aku tau dan sadar akan itu, tapi entah bagaimana aku malah tak bisa mengatasinya. Namun, lama kelamaan aku kembali “ditampar” bahwa ini salah. Maka aku memutusakan untuk membatasinya. Walau sesekali aku tetap berinterakksi untuk hal-hal yang serasanya sangat perlu.


Putra, sebenarnya aku malu sama diriku sendiri dan Allah atas semua hal yang telah kulakukan selama dekat denganmu. Aku tahu sekali bahwa yang kulakukan salah besar dengan dalih “Kan nggak apa-apa, wong cuman teman dan nggak lakuin apa-apa”. Aku kesal dan kecewa kepada diriku yang tak mampu melawan godaan setan. Rupanya benar ya, setan selalu ikut serta ketika kita berusaha untuk memperbaiki diri. Buktinya telah kualami sendiri. Aku sedih karena pada kenyataannya aku sama dengan diriku saat dizaman jahiliah dulu. Bedanya hanyalah aku telah berjilbab lebar saja.


Rupanya Allah sayang kepadaku. Putra mulai menjauhi dan mengabaikanku. Aku yakin jika dirimu tak lagi menyukaiku. Dirimu pun telah dekat dengan seseorang. Aku tau itu. Selamat ya Putra.
Putra, ada yang nak kusampaikan ketika dirimu dekat lagi dengan seseorang.


Jika dirimu belum mapu untuk menghalalkannya dalam waktu dekat, maka bertemanlah ala kadarnya saja. Jangan sampai Putra berujar bahwa Putra sudah yakin akan dirinya untuk menjadi pendamping hidup kelak sebab Allah maha membolak-balikkan perasaan manusia. Putra, terkadang aku heran. Kenapa Putra begitu membutuhkan support dari lawan jenis? Ya, aku akui jika aku terserert dulunya. Ku akui aku telah memilih jalan yang salah. Ada juga hal lainnya yang membuatku terheran-heran dengan perilaku Putra. Kemudian aku bertanya kepada diriku sendiri. Bukankah Putra telah ikut banyak kajian, ikut kegiatan remaja mesjid dan hal-hal lainnya? Tapi maaf, kenapa Putra hanya sekedar tau saja tapi tidak berusaha mengaplikasiknnya?  Aku sadar, aku pun mengalami hal yang sama. Tapi, aku berusaha untuk melawannya walau kerapkali gagal.


Putra, temanku yang sangat berharga. Apakah Putra tak malu kepada Allah? Putra, kita kerapkali berujar bahwa kita ingin tetap istiqomah dijalan Allah, tapi coba kita perhatikan. Apakah telah kita lakukan? Belum Putra. Kita kerapkali melalaikan hal ini. Iya, kita acuh atas dosa yang satu ini. Dosa yang kita anggap tidak apa-apa karena toh tak melakukan apa-apa. Salah Putra. Kita telah melakukan zina mata, zina hati, zina lisan dan lainnya. Aku yakin Putra lebih tahu akan hal itu? bukankah hal ini lebih berdosa ketika mengetahui hhal tsb salah maah kita langgar?


Putra, apakah memang hubungan yang seperti yang ini Putra inginkan sebelum menuju pernikahan? bukankah ini tak obahnya dengan pacaran yang berdalih islami? Maafkan aku yang terlalu lancang berujar sperti ini, Putra. aku sadar aku bukanlah orang yang sempurna. Aku sadar aku pun dulu melakukan hal itu bahkan setelah hijrah ku lakukan.


Alngkah baiknya jika kita tetap diam akan perasaan yang terpendam ini. Bukankah kita disuruh untuk menjaga pandangan kita? Sebab pandangan saja dapat menimbulka dosa. Maaf jika aku yang lemah ini lancang, Putra.


Putra, ini merupakan tamparan kerasa untukku dari Allah. kenapa demikian? Sebab dikala aku menasehati salah seorang sahabatku, aku sendiri malah melakukannya. Betapa khilafnya aku. Tapi,sekarang aku lega karena Allah menjauhkanku dari dosa yang nantinya akan berlanjut jika ini diteruskan. Terima kasih atas pembelajarannya Putra. Maafkan aku yang lemah malah sok memberikan nasehat, padahal dirinya sendiri melakukannya.


Putra, jika menurut Putra tidak apa menjalani kehidupan yang demikian, ielakan Putra lanjutkan. Ssmua pilihan dan risiko memang Putra sendiri yang menanggungnya. Aku hanya berharap kita tak lagi jatuh ke lubang yang sama. Semoga langgeng ya hubungannya.


Silakan Putra lupakan apa yang telah kita lalui. Ya tanpa kubilang pun Putra telah melakukannya. Maafkan sikapku yang keterlaluan ya, Putra.


Aku tak pernah menyesali pertemuan kita, aku malah bersyukur bahwa bertemu denganmu adalah ujian dari proses hijarhku dan aku rupanya takk mampu melewatinya. Tapi Allah maha baik, DIA menunjukkannya dengan cara yang unik."


No comments:

Post a Comment