Thursday, July 13, 2017

Cerita tentang aba : Maaf aba, saya egois

Kepingan cerita mengenai aba masih berlanjut. Kali ini akan saya ceritakan mengenai kisah yang membuat aba sedih. Mungkin, bagi sebagian orang ini hanyalah kisah biasa-biasa saja. Namun, bagi saya hari itu merupakan hari-hari yang sangat berat karena dihantui rasa bersalah serta penyesalan yang begitu besar kepada aba. 

Saat itu, setamat dari SMA aba menyarankan untuk ikut BPUD dengan jurusan kedokteran, salah satu jalur masuk perguruan tinggi negeri di Riau. Beliau menyarankan demikian mengingat betapa sulitnya masuk perguruan tinggi. Namun, karena mungkin terlalu sombong, saya menolak mentah-mentah saran tersebut. Walau sudah dibujuk guru-guru pun, tetap keukeh untuk tidak menerima keputusan tersebut. Saya mengatakan bahwa keingingan saya bukanlah kuliah di Riau, melainkan Yogyakarta. Ada satu universitas yang menjadi impian sedari dulu. Mungkin, itu kali pertama saya bersikap sangat sangat egois kepada aba. Bagi saya, rasanya tidak masalah jika sesekali menyatakan dan mengungkapkan keinginan hati saya. 

Pada saat itu, aba hanya menuruti keinginan saya. Beliau tidak terlalu banyak berkomentar atas keputusan tersebut. Namun, apa yang terjadi? Setelah menjalani 6-7 tes perguruan tinggi, tak satupun kelulusan menghampiri. Tentu saja, telah begitu banyak biaya yang dikeluarkan orang tua saat menjalani berbagai macam tes. Selain itu, sebelumnya saya juga sudah membujuk aba agar mengizinkan saya mengikuti bimbel di Kota. Tetapi, rupanya usaha saya masih sangat kurang sehingga belum diizinkan untuk memperoleh kelulusan.

Hal lain yang membuat saya sedih ketika aba yang seringkali bertanya perihal kelulusan tes-tes tersebut. Maka, saya hanya bisa menggelengkan kepala, diam dan membisu yang menandakan bahwa sekiranya keberuntungan belum menghampiri. Aba dan emak berusaha menghibur dengan mengajak kami makan bersama. Tentunya tidak ada canda tawa yang hadir dalam suasana yang demikian. 

Pernah suatu malam saya menyaksikan aba yang berbaring sembari termenung lama. Sangat lama. Entah apa yang beliau pikirkan, tapi saya yakin kalau aba memikirkan nasib saya yang masih belum lulus tes perguruan tinggi. Padahal, sudah banyak keluarga yang menanyakan mengenai tempat kuliah saya.

Akhirnya saya mengikuti keputusan yang aba berikan untuk mengikuti Ujian Mandiri di salah satu perguruan tinggi di Pekanbaru. Kali ini saya hanya menurut sembari tetap berusaha belajar. Alhamdulillah Allah memberikan jawaban atas doa saya. Mungkin, Allah merasa inilah waktu yang tepat untuk memberi kelulusan sembari memberikan pembelajaran kehidupan.

Ketika kabar tersebut sampai ditelinga aba, betapa bahagianya beliau mendengarnya. Semua keluarga ditelfon untuk menyebarkan kabar bahagia tersebut. Wajah bahagia aba saat itu tidak akan pernah saya lupakan. Beliau berkata, “Rasanya  beban aba menjadi sangat ringan ketika mendengar ayi sudah lulus.” Saya hanya bisa menangis, meminta maaf sembari memeluk aba dan emak atas keegoisan yang telah diperbuat.

“Saudariku, terkadang kita merasa bahwa keputusan yang dibuat orang tua tidak adil karena bersimpangan dengan keinginan hati. Namun, sebelum menolaknya cobalah renungi dan tenangkan hati serta curhat kepadaNya agar Dia memberikan jawaban terbaik. Kedekatan denganNya sangat berarti agar jawaban akhir yang kita berikan tidak menyisakan penyesalan.”

#30DaysWritingChallenge
#30DWC
#Day8

No comments:

Post a Comment