Saturday, July 29, 2017

(Cerpen) Aichan, Jangan Menangis

Hari ini hujan membasahi bumi. Tetesan air yang jatuh membawa kesejukan selepas panasnya mentari yang menaungi bumi di siang hari. Kulihat banyak orang yang memilih berdiam diri ataupun sekedar duduk santai di teras rumah mereka. Pemandangan berbeda terlihat pada sekumpulan anak-anak yang lebih memilih bermain dengan ceria di bawah guyuran air hujan. Aku hanya tersenyum melihat kebahagiaan mereka.

Aku sendiri lebih memilih memanjakan diri di atas tempat tidur. Selain tidak tahu apa yang harus dilakukan, aku juga malas untuk pergi kemana-mana saat suasana hujan seperti ini. Tiba-tiba ponselku berbunyi pertanda ada pesan yang masuk.

“Yades, waaah udah lama sekali ya. Bagaimana kabarnya?”

Pesan singkat dari sahabat yang sudah merantau jauh mengikuti sang suami. Seorang sahabat yang entah sejak kapan dia mulai mengisi hati dan keseharianku. Seorang sahabat yang selalu menghadirkan keceriaan karena sifatnya yang polos, penuh canda tawa dan ceria serta mudah akrab dengan siapapun.

Syukurlah sekarang dia sudah menemukan kebahagiaannya. Entah kenapa, tiba-tiba pikiranku melayang ketika dia harus mengalami kisah yang menyedihkan. Mungkin akulah yang menyebabkan dia harus menetaskan air mata demi seseorang yang tak pantas untuk ditangisi. Aku hanya menghela nafas sembari memutar memori kisah yang dulu terjadi.
….
“Yades, lagi dimana?” Itulah pesan singkat yang kuterima dari aichan. Sejujurnya aku tahu maksud dari pesan tersebut. Sejenak kecemburuan hinggap dihatiku, tapi cepat-cepat kutepis karena bagaimanapun dia sahabatku. Maka aku harus mendukungnya. Apalagi, akulah yang menjadi dalang dibalik semua ini.

“Pasti mau jumpa dokun.”

Dia hanya tertawa ketika hal itu kuutarakan. Aku sendiri tidak rela jika harus menghapus senyumannya. Apalagi sangat jarang kusaksikan air mata jatuh dipelupuk matanya. Entah dia benar-benar kuat atau malah begitu pandai menyembunyikan kesedihannya. Everyday is happy sekiranya slogan yang selalu dia gunakan. Padahal, aku sangat ingin jika dia berbagi semua yang dia rasakan.  

Hingga suatu hari, tiba-tiba dia meneleponku di tengah malam. Aku menduga pasti telah terjadi sesuatu. Seketika telpon diangkat, tiada suara yang terdengar. Tiada sahutan sama sekali ketika salam kuucapkan. Tak lama kemudian, dia bersuara memanggil namaku. Tapi hanya satu kata itu saja. Kemudian suasana kembali sunyi.

“Ada apa? Aichan, ayo cerita.”

Kemudian tangisannya pecah. Itu adalah kali pertama kumendengar isak tangisnya. Tapi, tak ada yang bisa kulakukan selain tetap menenangkannya lewat kata-kata karena terpisah jarak. Aku merasa gagal menjadi sahabat yang seharusnya merangkulnya, menghapus air matanya atau memeluknya. Semua itu tak bisa kulakukan.

Aichan, tenanglah. Saat ini tidak akan ada yang menyakitimu. Percayalah, seseorang yang ditakdirkan Allah bersamamu merupakan orang pilihan yang akan selalu menemanimu dikala susah dan senang. Percayalah, dia tidak akan membiarkan air mata membasahi pipimu. Walau dirundung kesedihan sekalipun, maka dialah orang pertama yang akan memeluk dan menenangkanmu. 

#30DaysWritingChallenge
#30DWC
#Day24

No comments:

Post a Comment