Hari ini hujan membasahi bumi.
Tetesan air yang jatuh membawa kesejukan selepas panasnya mentari yang menaungi
bumi di siang hari. Kulihat banyak orang yang memilih berdiam diri ataupun
sekedar duduk santai di teras rumah mereka. Pemandangan berbeda terlihat pada
sekumpulan anak-anak yang lebih memilih bermain dengan ceria di bawah guyuran
air hujan. Aku hanya tersenyum melihat kebahagiaan mereka.
Aku sendiri lebih memilih
memanjakan diri di atas tempat tidur. Selain tidak tahu apa yang harus
dilakukan, aku juga malas untuk pergi kemana-mana saat suasana hujan seperti
ini. Tiba-tiba ponselku berbunyi pertanda ada pesan yang masuk.
“Yades, waaah udah lama sekali
ya. Bagaimana kabarnya?”
Pesan singkat dari sahabat yang
sudah merantau jauh mengikuti sang suami. Seorang sahabat yang entah sejak kapan
dia mulai mengisi hati dan keseharianku. Seorang sahabat yang selalu
menghadirkan keceriaan karena sifatnya yang polos, penuh canda tawa dan ceria
serta mudah akrab dengan siapapun.
Syukurlah sekarang dia sudah
menemukan kebahagiaannya. Entah kenapa, tiba-tiba pikiranku melayang ketika dia
harus mengalami kisah yang menyedihkan. Mungkin akulah yang menyebabkan dia
harus menetaskan air mata demi seseorang yang tak pantas untuk ditangisi. Aku
hanya menghela nafas sembari memutar memori kisah yang dulu terjadi.
….
“Yades, lagi dimana?” Itulah
pesan singkat yang kuterima dari aichan. Sejujurnya aku tahu maksud dari pesan
tersebut. Sejenak kecemburuan hinggap dihatiku, tapi cepat-cepat kutepis karena
bagaimanapun dia sahabatku. Maka aku harus mendukungnya. Apalagi, akulah yang
menjadi dalang dibalik semua ini.
“Pasti mau jumpa dokun.”
Dia hanya tertawa ketika hal itu
kuutarakan. Aku sendiri tidak rela jika harus menghapus senyumannya. Apalagi
sangat jarang kusaksikan air mata jatuh dipelupuk matanya. Entah dia
benar-benar kuat atau malah begitu pandai menyembunyikan kesedihannya. Everyday
is happy sekiranya slogan yang selalu dia gunakan. Padahal, aku sangat
ingin jika dia berbagi semua yang dia rasakan.
Hingga suatu hari, tiba-tiba dia
meneleponku di tengah malam. Aku menduga pasti telah terjadi sesuatu. Seketika
telpon diangkat, tiada suara yang terdengar. Tiada sahutan sama sekali ketika
salam kuucapkan. Tak lama kemudian, dia bersuara memanggil namaku. Tapi hanya
satu kata itu saja. Kemudian suasana kembali sunyi.
“Ada apa? Aichan, ayo cerita.”
Kemudian tangisannya pecah. Itu
adalah kali pertama kumendengar isak tangisnya. Tapi, tak ada yang bisa
kulakukan selain tetap menenangkannya lewat kata-kata karena terpisah jarak.
Aku merasa gagal menjadi sahabat yang seharusnya merangkulnya, menghapus air
matanya atau memeluknya. Semua itu tak bisa kulakukan.
…
Aichan, tenanglah. Saat ini tidak
akan ada yang menyakitimu. Percayalah, seseorang yang ditakdirkan Allah
bersamamu merupakan orang pilihan yang akan selalu menemanimu dikala susah dan
senang. Percayalah, dia tidak akan membiarkan air mata membasahi pipimu. Walau dirundung
kesedihan sekalipun, maka dialah orang pertama yang akan memeluk dan
menenangkanmu.
#30DaysWritingChallenge
#30DWC
#Day24
No comments:
Post a Comment