Tak terasa sebulan sudah kejadian
tersebut berlalu. Kini keadaanku sudah lebih membaik ketimbang bulan lalu.
Walau kondisi hatiku sudah lebih tenang, namun tetap saja bayangan hari itu tak
pernah hilang dari pemikiranku. Bahkan, hingga sekarang pun terkadang aku masih
mengutuk sifat burukku tersebut. Iya, kerapkali aku menunda-nunda hingga kata
terlambat dan penyeselan sering menghampiriku. Gegara hal ini juga, aku hampir
stres dikala mengingat kejadian tersebut. Seringkali kuratapi penyesalan terdalamku.
Satu-satunya cara untuk menyembuhkannya hanya dengan lebih mendekatkan diri
kepadaNya. Tiap malam aku selalu berdo’a agar diberi ketenangan dalam
menghadapi permasalahan ini. Tentu, do’a untuknya tak lupa juga untuk
kukirimkan kepadaNya.
.....
Siang itu, aku sibuk menyiapkan
paper yang harus dipresentasikan dikelas dua hari lagi. aku lebih memilih untuk
mengerjakannya diruang tengah, sebab jika kukerjakan dalam kamar maka
seringkali setan kantuk menyerangku. Saat aku sibuk mengetik di depan laptopku,
tiba-tiba pernyataan pamanku yang sedari tadi hanya menonton tv mengangetkanku.
“Masih ingat dengn Putra teman
semasa SD dulu?”
aku berpikir keras mencari dan
mengingatkan nama yang disebutkan paman tersebut.
“Oo...tentu saja.”
“Tahun lalu dia kecelakaan, namun
tampaknya Allah belum memberikan kesembuhannya kepada dia.”
“Maksudnya?”
“Mungkin Sri tak tahu bahwa dia
sepertinya sekarang tak bisa berjalan lagi.”
Sebenanrnya saat itu agak kaget
dengan hal tersebut, namun karena masih sibuk dengan tugas akhirnya cerita
tersebut hanya sampai disitu saja. Ku akui bahwa saat itu aku hanya cuek begitu
saja dikala mendengar kabar duka tersebut.
....
beberapa hari berlalu, malam itu
aku iseng stalking facebook dia, Putra teman semasa SMP yang diceritakan
pamanku. Astaqfirullah. Rupanya dia telah terbaring sakit selama 1.5 lebih.
Saat itulah, timbul perasaan iba dan sedih yang mendalam ketika melihat satu
per satu fotonya. Semenjak kejadian itulah, kerapkali aku ingin pulang kampung
dan menjenguknya. Namun, aku harus bersabar karena masih ada kewajiban yang
harus kukerjakan disini.
Sebulan kemudian, akhirnya waktu
pulang kampung pun tiba. Rasanya aku sudah tidak sabar untuk menjenguknya.
setibanya di kampung, aku bingung musti pergi dengan siapa. Sebab, kebanyakan
teman-teman sudah pergi kuliah dan aku sama sekali tak tahu rumah Putra ada
dimana. Namun, Allah selalu berbaik hati untuk membantu hambaNya yang sedang
kesusahan. Rupanya teman SMP ku, Ningsih, sudah di kampung karena kuliahnya
sudah selesai. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi dengannya. Kami akan
berangkat ba’da isya.
....
Hari itu, cuaca sangat tidak
bersahabat, sebab seharian ini kampungku diguyur hujan hingga sore hari.
Sesungguhnya kala itu aku sangat khawatir jika rencanaku untuk menjenguk Putra
batal. Padahal ini kesempatan terakhir untuk menjenguknya, sebab aku sudah
harus kembali lagi ke kota. Dalam hati aku berharap Allah meridhoi niat baikku
untuk menjenguknya. Rupanya Allah benar-benar membantu. Menjelang isya,
Alhamdulillah hujan sudah reda.
....
Aku hanya bisa terdiam saat
melihat keadaannya. Jika saat itu hanya ada aku dan dia, mungkin air mataku
sudah mengalir. Namun, kala itu aku hanya bisa terdiam dan berusaha untuk tetap
tersenyum. Pada malam itu, aku menyaksikan seorang laku-laki tampan yang kurus
dan hanya bisa duduk. Kulihat sesekali wajahnya tampak menahan rasa sakit. Rupanya
rasa sakt tersebut berasal dari penyakit dekabitus yang dideritanya. Iya, Putra
tampaknya memang tak bisa berjalan lagi. Namun, tidak hanya itu yang dia
rasakan. Allah lagi-lagi mengujinya dengan dititipkan penyakit dekabitus
tersebut. Sungguh pemandangan yang membuatku ingin menangis. Tapi, dia tampak
kuat dan tabah menghadapi cobaan tersebut. Sesekali dia tertawa dengan
ceritaku. Aku juga masih sempat melihat senyumnya.
Disudut ruangan tersebut, tampak
ibunya yang sesekali menghapus air mata yang jatuh dipelupuk matanya. Aku paham
akan perasaan sang ibu. Kini, keadaan anaknya tak lagi seperti dulu. Dari
cerita sang ibu, sepertinya yang mengurus semua keperluan anaknya dilakukan
sang ibu dan sang kakak. Mulai dari mandi, makan, membantu menaiki kursi roda,
dan hal-hal pribadi lainnya. Semua hal tersebut dilakukan sang ibu tanpa
mengeluh sembari berdo’a agar anaknya diberi kesembuhan.
Ibunya bercerita bahwa dulu keadaannya
tak separah ini. Dulu, dia masih bisa mandi sendiri di atas kursi roda. dia
juga sering naik dikursi roda sekedar mencari suasana baru di luar rumah.
Namun, semenjak penyakit dekabitusnya makin parah, untuk duduk saja dia
kesusahan apalagi menaiki kursi roda. Jika dulu dia sering mandi, sekarang
untuk mandi saja harus dipikir ulang sebab kerapkali badanya menggigil ketika
badannya tersentuh air. Badannya juga sudah sangat kurus ketimbang dulu karena
dia sama sekali tak bernafsu makan. Iya, mungkin ini pengarh tekanan atau
kesedihan yang mendalam hingga membuat mentalnya terpukul. Oleh sebab itu, hal
tersebut malah membuat anggota tubuh lainnya kesakitan juga.
Aku dapat melihat bahwa dia mengalami kesedihan yang sangat mendalam. Pancaran kesedihan begitu tampak dari tutur kata dan pandangan matanya. Namun, aku tak dapat berbuat banyak. Setiap kata kuucapkan dengan sangat hati-hati agar tidak menyinggung perasaannya. Kusadari bahwa perasaan orang yang sedang ditimpa kesedihan akan berkali-kali lipat sensitif. Rasanya pemandangan yang kulihat malam itu sungguh membuat hatiku menangis.
Aku dapat melihat bahwa dia mengalami kesedihan yang sangat mendalam. Pancaran kesedihan begitu tampak dari tutur kata dan pandangan matanya. Namun, aku tak dapat berbuat banyak. Setiap kata kuucapkan dengan sangat hati-hati agar tidak menyinggung perasaannya. Kusadari bahwa perasaan orang yang sedang ditimpa kesedihan akan berkali-kali lipat sensitif. Rasanya pemandangan yang kulihat malam itu sungguh membuat hatiku menangis.
“Aku bawa Al-Qur’an untuk Putra.
Selalu dibaca ya, walau hanya satu-dua ayat. InsyaAllah jika kita mendekatkan
diri kepadaNya maka Allah akan memberi kedamaian dan ketenangan pada jiwa yang
sedang bersedih.”
Sekiranya hanya kata-kata seperti
itulah yang mampu kuucapkan. Aku benar-benar kehilangan kata-kata penyemangat
yang lain. Walau demikian, aku masih tetap berusaha menenangkan ibunya yang
kala itu sudah bercucuran air mata. Kulihat dia hanya bisa terdiam melihat
ibunya menangis demikian. Mungkin sebenarnya hatinya pun ikut teriris melihat
air mata ibunya, namun karena cobaan yang ditanggungnya telah lama dia alami
maka dia sudah agak mampu mengendalikan emosinya.
...
Akhirnya aku kembali ke kota
tempatku menuntut ilmu. Walau jarak memisahkan kami, tapi hati dan pikiranku
masih tertuju kepadanya. Aku sempat bingung bagaimana cara menghubunginya.
Namun, bukankah Allah Maha Baik? Maka, aku pun mendapatkan nomor temannya dari
pamanku. Aku nekat menanyakan nomor dia kepadanya. Aku bersyukur dia bersedia
memberikannya. Tapi, rupanya nomor tersebut tak aktif lagi. Kemudian aku
menanyakan lagi nomor yang lain, dia pun memberikan nomor kakak Putra. Malam
itu juga, kenekatanku tak pernah berhenti. Aku memberanikan diri untuk menelfon
kakaknya dan menanyai kabarnya.
“Selamat malam kakak. Perkenalkan
ini Sri kak, teman Putra. Oh ya, bagaimana kabar Putra sekarang kak?”
kakaknya bercerita bahwa tidak
ada perubahan sama sekali. Bahkan, saat itu Putra sama sekali tidak mau makan.
Tentunya aku makin khawatir akan keadannya. Sebenarnya, aku ingin sekali
mendengar suaranya tapi apalah daya jika dia belum sanggup untuk memegang
handphone. Sedih rasanya ketika mendengar hal tersebut. Akan tetapi, aku tidak
bisa berbuat banyak.
.....
Sebulan kemudian, aku kembali
pulang ke kampung sebab perkuliahanku sudah usai. Tapi, apakah aku
menjenguknya? Tidak. Aku mencari-cari alasan untuk tidak melihat keadaannya.
Terasa sangat aneh, bukan? Di satu sisi aku sangat ingin menuju rumahnya, namun
di sisi lain aku takut jika perbuatanku ini malah menimbulkan kecurigaan.
Sebab, aku sudah pernah menjenguknya bulan kemarin. Jadi, entah karena apa, aku
takut keluargakku curiga kalau terlalu sering menjenguknya. Aneh. Sangat aneh.
Itu bukanlah alasan yang tepat. Tapi, sekiranya itulah yang kupikirkan saat
itu.
...
Malam itu, aku sempatkan untuk
melihat dirinya. Aku pergi dengan paman yang kebetulan teman seangkatan dia.
Seperti biasa, emak kerapkali menyuruhku untuk membawa sesuatu untuk dibawa ke
rumahnya. Hatiku deg-degan ketika akan berjumpa dengannya. Benar-benar tak
terduga bahwa pertemuan kami akan berlangsung. Rasanya tidak sabar untuk
melihat wajahnya yang sudah bisa lebih santai dan tenang untuk menghadapi rasa
sakitnya.
Aku melihatnya masih terbaring
dengan selimut panjang yang hampir menutupi seluruh tubuhnya. Tapi, wajahnya
telah ditutupi jilbab. Dia pun berbaring ditengah-tengah ruangan tengah rumah.
Kali ini aku benar-benar hanya melihat tubuh yang terbujur kaku. Tiada suara
dan senyumnya lagi. Iya, dia sudah dipanggil Allah. Sepertinya Allah lebih
sayang kepadanya hingga Allah menjemputNya. Dia telah kembali kesisiNya. Dia
telah istirahat untuk selama-lamanya. Dia telah bebas dari rasa sakitnya. Aku
menangis meratapi kepergiannya. Aku menyesali dikala diri ini tak sempat untuk
menjenguknya. Tapi, itu semua tiada berguna lagi. Sekarang, aku hanya bisa
mendoakannya agar tenang disana dan dijauhkan dari siksaan api neraka.
....
“Jika kau ingin melakukan
kebaikan, maka jangan pernah menundanya. Sebab, kita tidak pernah tahu takdir
apa yang akan dihadapi. Penyesalan kemudian hari tiada berguna. Meratapi yang
telah pergi hanya akan menimbulkan kesedihan yang tiada hilang. Ikhlaskan semua
takdir yang menimpa diri kita.”
No comments:
Post a Comment