Monday, July 3, 2017

(Cerpen) Ketika Penyesalan Menghampiri



Tak terasa sebulan sudah kejadian tersebut berlalu. Kini keadaanku sudah lebih membaik ketimbang bulan lalu. Walau kondisi hatiku sudah lebih tenang, namun tetap saja bayangan hari itu tak pernah hilang dari pemikiranku. Bahkan, hingga sekarang pun terkadang aku masih mengutuk sifat burukku tersebut. Iya, kerapkali aku menunda-nunda hingga kata terlambat dan penyeselan sering menghampiriku. Gegara hal ini juga, aku hampir stres dikala mengingat kejadian tersebut. Seringkali kuratapi penyesalan terdalamku. Satu-satunya cara untuk menyembuhkannya hanya dengan lebih mendekatkan diri kepadaNya. Tiap malam aku selalu berdo’a agar diberi ketenangan dalam menghadapi permasalahan ini. Tentu, do’a untuknya tak lupa juga untuk kukirimkan kepadaNya.
.....
Siang itu, aku sibuk menyiapkan paper yang harus dipresentasikan dikelas dua hari lagi. aku lebih memilih untuk mengerjakannya diruang tengah, sebab jika kukerjakan dalam kamar maka seringkali setan kantuk menyerangku. Saat aku sibuk mengetik di depan laptopku, tiba-tiba pernyataan pamanku yang sedari tadi hanya menonton tv mengangetkanku.
“Masih ingat dengn Putra teman semasa SD dulu?”
aku berpikir keras mencari dan mengingatkan nama yang disebutkan paman tersebut.
“Oo...tentu saja.”
“Tahun lalu dia kecelakaan, namun tampaknya Allah belum memberikan kesembuhannya kepada dia.”
“Maksudnya?”
“Mungkin Sri tak tahu bahwa dia sepertinya sekarang tak bisa berjalan lagi.”
Sebenanrnya saat itu agak kaget dengan hal tersebut, namun karena masih sibuk dengan tugas akhirnya cerita tersebut hanya sampai disitu saja. Ku akui bahwa saat itu aku hanya cuek begitu saja dikala mendengar kabar duka tersebut.
....
beberapa hari berlalu, malam itu aku iseng stalking facebook dia, Putra teman semasa SMP yang diceritakan pamanku. Astaqfirullah. Rupanya dia telah terbaring sakit selama 1.5 lebih. Saat itulah, timbul perasaan iba dan sedih yang mendalam ketika melihat satu per satu fotonya. Semenjak kejadian itulah, kerapkali aku ingin pulang kampung dan menjenguknya. Namun, aku harus bersabar karena masih ada kewajiban yang harus kukerjakan disini.
Sebulan kemudian, akhirnya waktu pulang kampung pun tiba. Rasanya aku sudah tidak sabar untuk menjenguknya. setibanya di kampung, aku bingung musti pergi dengan siapa. Sebab, kebanyakan teman-teman sudah pergi kuliah dan aku sama sekali tak tahu rumah Putra ada dimana. Namun, Allah selalu berbaik hati untuk membantu hambaNya yang sedang kesusahan. Rupanya teman SMP ku, Ningsih, sudah di kampung karena kuliahnya sudah selesai. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi dengannya. Kami akan berangkat ba’da isya.
....
Hari itu, cuaca sangat tidak bersahabat, sebab seharian ini kampungku diguyur hujan hingga sore hari. Sesungguhnya kala itu aku sangat khawatir jika rencanaku untuk menjenguk Putra batal. Padahal ini kesempatan terakhir untuk menjenguknya, sebab aku sudah harus kembali lagi ke kota. Dalam hati aku berharap Allah meridhoi niat baikku untuk menjenguknya. Rupanya Allah benar-benar membantu. Menjelang isya, Alhamdulillah hujan sudah reda.
....
Aku hanya bisa terdiam saat melihat keadaannya. Jika saat itu hanya ada aku dan dia, mungkin air mataku sudah mengalir. Namun, kala itu aku hanya bisa terdiam dan berusaha untuk tetap tersenyum. Pada malam itu, aku menyaksikan seorang laku-laki tampan yang kurus dan hanya bisa duduk. Kulihat sesekali wajahnya tampak menahan rasa sakit. Rupanya rasa sakt tersebut berasal dari penyakit dekabitus yang dideritanya. Iya, Putra tampaknya memang tak bisa berjalan lagi. Namun, tidak hanya itu yang dia rasakan. Allah lagi-lagi mengujinya dengan dititipkan penyakit dekabitus tersebut. Sungguh pemandangan yang membuatku ingin menangis. Tapi, dia tampak kuat dan tabah menghadapi cobaan tersebut. Sesekali dia tertawa dengan ceritaku. Aku juga masih sempat melihat senyumnya.
Disudut ruangan tersebut, tampak ibunya yang sesekali menghapus air mata yang jatuh dipelupuk matanya. Aku paham akan perasaan sang ibu. Kini, keadaan anaknya tak lagi seperti dulu. Dari cerita sang ibu, sepertinya yang mengurus semua keperluan anaknya dilakukan sang ibu dan sang kakak. Mulai dari mandi, makan, membantu menaiki kursi roda, dan hal-hal pribadi lainnya. Semua hal tersebut dilakukan sang ibu tanpa mengeluh sembari berdo’a agar anaknya diberi kesembuhan.
Ibunya bercerita bahwa dulu keadaannya tak separah ini. Dulu, dia masih bisa mandi sendiri di atas kursi roda. dia juga sering naik dikursi roda sekedar mencari suasana baru di luar rumah. Namun, semenjak penyakit dekabitusnya makin parah, untuk duduk saja dia kesusahan apalagi menaiki kursi roda. Jika dulu dia sering mandi, sekarang untuk mandi saja harus dipikir ulang sebab kerapkali badanya menggigil ketika badannya tersentuh air. Badannya juga sudah sangat kurus ketimbang dulu karena dia sama sekali tak bernafsu makan. Iya, mungkin ini pengarh tekanan atau kesedihan yang mendalam hingga membuat mentalnya terpukul. Oleh sebab itu, hal tersebut malah membuat anggota tubuh lainnya kesakitan juga.

 Aku dapat melihat bahwa dia mengalami kesedihan yang sangat mendalam. Pancaran kesedihan begitu tampak dari tutur kata dan pandangan matanya. Namun, aku tak dapat berbuat banyak. Setiap kata kuucapkan dengan sangat hati-hati agar tidak menyinggung perasaannya. Kusadari bahwa perasaan orang yang sedang ditimpa kesedihan akan berkali-kali lipat sensitif. Rasanya pemandangan yang kulihat malam itu sungguh membuat hatiku menangis.
“Aku bawa Al-Qur’an untuk Putra. Selalu dibaca ya, walau hanya satu-dua ayat. InsyaAllah jika kita mendekatkan diri kepadaNya maka Allah akan memberi kedamaian dan ketenangan pada jiwa yang sedang bersedih.”
Sekiranya hanya kata-kata seperti itulah yang mampu kuucapkan. Aku benar-benar kehilangan kata-kata penyemangat yang lain. Walau demikian, aku masih tetap berusaha menenangkan ibunya yang kala itu sudah bercucuran air mata. Kulihat dia hanya bisa terdiam melihat ibunya menangis demikian. Mungkin sebenarnya hatinya pun ikut teriris melihat air mata ibunya, namun karena cobaan yang ditanggungnya telah lama dia alami maka dia sudah agak mampu mengendalikan emosinya.
...
Akhirnya aku kembali ke kota tempatku menuntut ilmu. Walau jarak memisahkan kami, tapi hati dan pikiranku masih tertuju kepadanya. Aku sempat bingung bagaimana cara menghubunginya. Namun, bukankah Allah Maha Baik? Maka, aku pun mendapatkan nomor temannya dari pamanku. Aku nekat menanyakan nomor dia kepadanya. Aku bersyukur dia bersedia memberikannya. Tapi, rupanya nomor tersebut tak aktif lagi. Kemudian aku menanyakan lagi nomor yang lain, dia pun memberikan nomor kakak Putra. Malam itu juga, kenekatanku tak pernah berhenti. Aku memberanikan diri untuk menelfon kakaknya dan menanyai kabarnya.
“Selamat malam kakak. Perkenalkan ini Sri kak, teman Putra. Oh ya, bagaimana kabar Putra sekarang kak?”
kakaknya bercerita bahwa tidak ada perubahan sama sekali. Bahkan, saat itu Putra sama sekali tidak mau makan. Tentunya aku makin khawatir akan keadannya. Sebenarnya, aku ingin sekali mendengar suaranya tapi apalah daya jika dia belum sanggup untuk memegang handphone. Sedih rasanya ketika mendengar hal tersebut. Akan tetapi, aku tidak bisa berbuat banyak.
.....
Sebulan kemudian, aku kembali pulang ke kampung sebab perkuliahanku sudah usai. Tapi, apakah aku menjenguknya? Tidak. Aku mencari-cari alasan untuk tidak melihat keadaannya. Terasa sangat aneh, bukan? Di satu sisi aku sangat ingin menuju rumahnya, namun di sisi lain aku takut jika perbuatanku ini malah menimbulkan kecurigaan. Sebab, aku sudah pernah menjenguknya bulan kemarin. Jadi, entah karena apa, aku takut keluargakku curiga kalau terlalu sering menjenguknya. Aneh. Sangat aneh. Itu bukanlah alasan yang tepat. Tapi, sekiranya itulah yang kupikirkan saat itu.
...
Malam itu, aku sempatkan untuk melihat dirinya. Aku pergi dengan paman yang kebetulan teman seangkatan dia. Seperti biasa, emak kerapkali menyuruhku untuk membawa sesuatu untuk dibawa ke rumahnya. Hatiku deg-degan ketika akan berjumpa dengannya. Benar-benar tak terduga bahwa pertemuan kami akan berlangsung. Rasanya tidak sabar untuk melihat wajahnya yang sudah bisa lebih santai dan tenang untuk menghadapi rasa sakitnya.
Aku melihatnya masih terbaring dengan selimut panjang yang hampir menutupi seluruh tubuhnya. Tapi, wajahnya telah ditutupi jilbab. Dia pun berbaring ditengah-tengah ruangan tengah rumah. Kali ini aku benar-benar hanya melihat tubuh yang terbujur kaku. Tiada suara dan senyumnya lagi. Iya, dia sudah dipanggil Allah. Sepertinya Allah lebih sayang kepadanya hingga Allah menjemputNya. Dia telah kembali kesisiNya. Dia telah istirahat untuk selama-lamanya. Dia telah bebas dari rasa sakitnya. Aku menangis meratapi kepergiannya. Aku menyesali dikala diri ini tak sempat untuk menjenguknya. Tapi, itu semua tiada berguna lagi. Sekarang, aku hanya bisa mendoakannya agar tenang disana dan dijauhkan dari siksaan api neraka.
....
Jika kau ingin melakukan kebaikan, maka jangan pernah menundanya. Sebab, kita tidak pernah tahu takdir apa yang akan dihadapi. Penyesalan kemudian hari tiada berguna. Meratapi yang telah pergi hanya akan menimbulkan kesedihan yang tiada hilang. Ikhlaskan semua takdir yang menimpa diri kita.”

No comments:

Post a Comment